Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkerja sama dengan Bentara Budaya Bali mengetengahkan Pentas Cantrik Maestro 2019.
Ini merupakan sebentuk presentasi hasil program Belajar Bersama Maestro (BBM) 2019, khusus di Bali diikuti 45 peserta siswa SMA/SMK dari berbagai penjuru nusantara. Adapun maestro dari Bali yang menjadi bagian dari program ini yakni Ni Luh Menek (maestro seni tari), I Made Sidia (maestro seni pertunjukan) dan Ayu Laksmi (maestro seni musik).
Tiga maestro itu, masing-masing bersama 15 siswa yang bersama mereka selama dua minggu ini akan mementaskan karya-karya mereka dalam Gelar Cantrik Maestro 2019 di Bentara Budaya Bali, Sabtu, 13 Juli 2019, pukul 19.00 WITA.
Belajar Bersama Maestro merupakan sebuah wadah bagi para peserta didik untuk terlibat langsung dalam proses kreatif dan keseharian para seniman Indonesia. Melalui kegiatan ini, peserta didik akan memiliki kesempatan untuk berinteraksi tatap muka dan memperoleh pelajaran hidup yang berharga dari kehidupan para Maestro.
BBM sebagai wahana belajar di mana para peserta didik akan menjadi bagian dari proses kreatif yang dijalankan para maestro sebagai wahana ruang pemahaman seni budaya dalam spektrum yang lebih luas untuk memperkuat pembentukan karakter para peserta didik.
Jadi, program ini tidak bertujuan “mencetak” peserta menjadi seniman, melainkan untuk menyerap segala pengetahuan dan pengalaman maestro, sehingga dapat memahami dan menghayati spirit kesenian sebagai bekal dalam menjalani masa depan, serta sebagai apresiasi dari pemerintah terhadap pencapaian dan dedikasi maestro di bidang kesenian.
Kegiatan Belajar Bersama Maestro tahun 2019 melibatkan 20 Maestro seni dari 8 provinsi di Indonesia dan 300 peserta didik kelas X dan XI SMA/SMK/se-derajat baik negeri maupun swasta dari 34 (tiga puluh empat) provinsi.
Adapun para maestro yang terlibat pada BBM 2019 antara lain:Maestro Seni Rupa; Hanafi, Tisna Sanjaya, dan Putu Sutawijaya.Maestro Seni Pertunjukan; Ki Manteb Soedharsono, Iman Soleh, Iswadi Pratama, Bahar Merdu, dan Made Sidia.Maestro Seni Tari; Didi Nini Thowok, Miroto, Wangi Indriya, Ni Luh Menek, dan Jose Rizal Firdaus.Maestro Seni Media; Fendi Siregar dan Angki Purbandono.Maestro Seni Musik; Djaduk Ferianto, Irwansyah Harahap, Ayu Laksmi, Purwacaraka, dan Addie MS. Program ini telah diselenggarakan rutin setiap tahun sejak tahun 2015.
Ni Luh Menek merupakan maestro tari bali yang dikenal juga sebagai penari kesukaan Bung Karno. Ni Luh Menek telah menekuni tari sejak usia dini melalui bimbingan Wanres dan I Gede Manik yang dikenal sebagai pencipta tari kebyar. Ni Luh Menek mulai dikenal sebagai penari ahli ketika dirinya membawakan tari “Teruna Jaya” pada tahun 1954 saat usianya menginjak 15 tahun.
Karena dedikasinya terhadap tarian klasik Bali Ni Luh Menek berhasil mengangkat nama desa (Tejakula) tempat tinggal beliau sebagai ikon yang identik dengan desa spesialis tari. Karakter tari Ni Luh Menek yang sangat kentara adalah kekhasan gaya tari Buleleng dengan menonjolkan gerak-gerak enerjik dan agresif yang dipadu dengan unsur kelembutan membuatnya menjadi Maestro tari klasik Bali.
Selain sebagai penari profesional Ni Luh Menek juga mendedikasikan dirinya pada tari klasik Bali dengan memberikan pengajaran dan pelatihan kepada anak muda dan wisatawan asing.
Atas dedikasinya bagi kesenian, khususnya seni tari, Luh Menek telah memeroleh sejumlah penghargaan, antara lain: Juara 1 Tari Teruna Jaya di Kabupaten Buleleng (1985), Penghargaan Seni Wijayakusuma dari Bupati Buleleng (1988), Juara 1 Tari Margapati di Kabupaten Buleleng (1960), Penghargaan dari Bupati Buleleng untuk Terunajaya dan Palewakya (2001), penghargaan Seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali (2011), serta anugerah dari Desa Tejakula sebagai pelestari dan seniman tari (2013) dan Penghargaan Pengabdi Seni Budaya dari Bentara Budaya (2017).
I Made Sidia adalah salah satu seniman wayang multimedia yang sangat terkenal di Bali. Pada awalnya, ia dilatih oleh orang tuanya, Bapak I Made Sija, sebagai Dalang klasik, penari Topeng (topeng), dan pemain gamelan. Dia lulus pada tahun 1992 dengan gelar sarjana Seni Pedalangan Bali (Pedalangan) dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar Bali.
Pendidikan selanjutnya pada tahun 2010, ia tamat S2 dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (ISI) Solo/Surakarta dengan jurusan Teater.
Made Sidia saat ini merupakan eksponen utama Wayang Kulit kontemporer di Bali, serta Wayang Kontemporer yang menambahkan pencahayaan listrik, atau disebut “Wayang Listrik“, dengan proyeksi video, art dan animasi. Kini ia dosen senior di ISI Denpasar, juga Ketua Sanggar Seni Paripurna, di Banjar Dana, Desa Bona, Gianyar.
Di sanggar inilah ia melatih berbagai macam seniman, seni tari, seni pedalangan, seni gamelan dan membuat berbagai alat keperluan seni pertunjukan. Pengalaman mengajar made Sidia dari lokakarya, seminar, workshop hampir di belahan dunia dalam bentuk seni tradisional Bali termasuk wayang kulit, topeng dan tari.
Made telah diakui di seluruh dunia atas kontribusinya terhadap budaya Bali, dan merupakan pemrakarsa untuk menggabungkan seni tradisional dan kontemporer. Dia telah bekerja dengan seniman-seniman penting di seluruh Indonesia dan internasional termasuk Larry Reed dari Shadowlight Theatre (AS), dan produksi The Thef of Sita yang diakui secara internasional dengan Peter Wilson dan Nigel Jamieson (Aus/UK) dan Visible Region dengan Kent Devereux (AS).
Saat ini Made Sidia adalah Direktur Associate dari produksi Bali Agung Show yang sudah berjalan pentas selama 8 tahun di Bali Safari & Marine Park Gianyar, dengan melibatkan 200 dalang, penari, dan pemain gamelan, juga satwa dan para pawangnya.
I Made Sidia tidak henti-hentinya berinovasi untuk mengembangkan seni tradisi agar tidak mengalami kepunahan bersama anak-anak Sanggar Seni Paripurna yang berjumlah kurang lebih 500. Dengan anggota sanggar secara terus menerus melakukan penggalian, pelestarian, pembinaan dan pengembangan Seni Tradisional yang dipadu dengan konsep kekinian.
Ayu Laksmi adalah seorang seniman kelahiran Singaraja, Buleleng, Bali, 25 November 1967. Pada era 1990-an, Ayu dikenal penyanyi asal Pulau Dewata pertama yang berhasil menembus industri musik nasional. Ia juga dijuluki sebagai Lady Rocker dan sempat berlayar menjelajah lautan Karibia.
Nama Ayu mulai dikenal setelah menjadi juara pertama BRTV tingkat Provinsi Bali bersama kakak-kakaknya, Ayu Weda dan Ayu Partiwi tahun 1983. Mereka bertiga membentuk trio dengan nama Ayu Sisters. Di bawah arahan sutradara kenamaan Garin Nugroho dalam film “Under The Tree”, Ayu sempat menjajal seni peran, film pertama yang dibintangi ini Ayu Laksmi memperoleh penghargaan sebagai salah satu nominator pemeran utama wanita terbaik FFI tahun 2008. Film Under The Tree juga masuk dalam daftar nominasi International Film Festival di Tokyo, serta pada tahun 2017 terlibat menjadi pemain dalam film Pengabdi Setan.
Album Svara Semesta juga berhasil mengantarkan Ayu sebagai nominator 20 Album 2011 dan nominasi Desain Grafis Terbaik AMI Awards 2012. Syair-syair dari lagu Ayu Laksmi dalam Album Svara Semesta ditulis dalam 5 Bahasa yaitu Sanskrit, Kawi, Bali, Indonesia, Inggris.
Dalam album ini, Ayu sekaligus berperan menjadi produser, penulis lagu, juga menciptakan sendiri komposisi musik dasar di awal proses penciptaan. Bersama dengan group Svara Semesta melalui aliran World Music bersama grup inilah Ayu Laksmi kembali menjelajah panggung panggung besar festival seni budaya baik di Indonesia juga dunia internasional. [T] [*]