Konflik berbasis identitas agama di dunia menjadi sorotan para pemikir. Tak terkecuali Amartya Sen, seorang ekonom, filsuf peraih hadiah nobel ekonomi. Sen mengkritik peneliti yang berupaya mengklasifikasi warga dunia hanya berdasarkan identitas agama saja.
Kritik yang dilayangkan Sen dalam bukunya Identity and Violence ini salah satunya ditujukan kepada Samuel P. Huntington, penulis The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Dalam pandangan Huntington, benturan antarperadaban di masa depan akan terjadi karena tiga hal: hegemoni barat, intoleransi Islam dan fanatisme Konfusius. Pandangan Huntington yang mengklasifikasi peradaban berdasarkan kategorisasi identitas tunggal dianggap sebagai kekeliruan konseptual oleh Sen. Seperti misalnya “dunia barat”, “dunia Islam”, “dunia Hindu”, “dunia Budha”.
Kelemahan konseptual yang diidap dalam upaya pemahaman tunggal atas warga dunia ini melalui kategorisari peradaban tidak hanya dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan, namun menafikkan kemajemukan identitas yang dimiliki. “Penggambaran yang ngawur dan konsepsi yang keliru bisa membuat dunia jauh lebih rapuh daripada semestinya”, kata Sen.
Di sini Sen ingin menegaskan bahwa warga dunia tidak bisa disimplifikasi hanya didasarkan pada kategori identitas agama, padahal meskipun sama-sama beragama Islam, orang bisa saja memiliki hobi yang berbeda, minat sains yang berbeda, pandangan filosofis yang berbeda, ketertarikan terhadap busana yang berbeda, termasuk kemampuan diri yang berbeda. Kemajemukan identitas ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
Salah satu kekeliruan yang dimaksud oleh Amartya Sen adalah upaya mengkategorisasi India sebagai “dunia Hindu” meskipun di dalamnya terdapat hampir 150 juta umat Islam. Artinya kategorisasi keagamaan tidak bisa dengan pas masuk ke dalam klasifikasi negara dan peradaban.
Kecenderungan klasifikasi warga dunia berdasarkan agamanya juga semakin membuat respon barat terhadap terorisme dan konflik global menjadi ganjil dan janggal. Termasuk upaya pemerintah dalam menangani konflik sosial horizontal.
Kita sering menyaksikan, misalnya upaya negara dalam menangani konflik atau kekerasan berbasis agama dengan mengundang pemuka agama yang dianggap cenderung moderat untuk mengenyahkan kaum ekstremis dalam perang agama internal, daripada penguatan masyarakat sipil.
Tidak mengherankan jika hubungan pemuka agama dan kekuasaan menjadi semakin dekat. Apalagi jika si pemuka agama memiliki basis masa agama yang kuat. Di sini kaum sektarian pengobar kebencian dalam sekejap bisa menjadi tokoh politik yang sangat berkuasa, bahkan diperhitungkan dalam politik elektoral.
Jangan heran jika konflik yang dianggap berbasis identitas agama seolah-olah terawat keberadaannya. Mungkin saja, bisa dinikmati secara politik. Di Indonesia, basis massa agama sangat rentan dipolitisasi. Emosi kolektif penganut agama ‘dipanaskan’ melalui isu-isu agamis. Kasus Ahok misalnya.
Kembali ke soal klasifikasi tunggal warga dunia berdasarkan agama yang dikritik Sen, tidak bisa dijadikan referensi utama dalam memetakan persoalan-persoalan sosial dunia. Tidak bisa diklasifikasi jika ia Barat maka anti Islam, jika ia Islam maka anti Hindu, atau sebaliknya.
Sultan Salahudin yang bertarung di pihak Islam dalam perang salib abad ke 12, bersedia menawarkan, tanpa sedikit konflik, satu posisi terhormat di Istana Mesir kepada Maimonides, ketika filsuf Yahudi itu melarikan diri dari Eropa yang tidak toleran.
Sikap seorang yang sama-sama Muslim terhadap toleransi pun berbeda. Sikap mereka juga cenderung bervariasi. Contoh saja, Kaisar Aurangzeb yang menaiki tahta Mogul di India pada akhir abad ke 17 dikenal sebagai penguasa intoleran. Bahkan penduduk non Islam dibebankan pajak khusus.
Sikap berbeda justru tampak pada diri kakak laki-lakinya, Dara Shikoh, anak tertua dari Kaisar Shah Kahan dan Mumtaz Mahal. Dara Sikhoh justru tertarik mempelajari bahasa Sansekerta dan menjadi ahli dalam mengkaji Hinduisme. Paul Deussen yang menulis Sixty Upanisads of The Veda, menyebut Dara Sehakoh (Dara Shikoh) orang yang menerjemahkan kitab-kitab Upanisad dari bahasa Sanskrit ke bahasa Persia.
Terjemahan yang dilakukan oleh Dara Shikoh ini oleh Amartya Sen disebut sebagai landasan utama ketertarikan Eropa terhadap filsafat keagamaan Hindu.
Kakek buyut Dara dan Aurangzeb adalah penjunjung tinggi toleransi beragama. Dia bahkan menetapkan bahwa salah satu kewajiban negara adalah memastikan bahwa tak seorang pun boleh diganggi terkait agamanya dan setiap orang diperbolehkan memeluk yang berkenan bagi dirinya.
Jadi antara dua orang yang hidup dalam keluarga dengan identitas agama yang sama saja punya sikap dan kertertarikan yang berbeda. Lho!
Di Indonesia, antropolog beken, Clifford Geertz mengklasifikasi Agama Jawa menjadi tiga varian yakni Abangan, Santri dan Priyayi. Organisasi-organisasi Islam juga sangat beragam: ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Front Pembela Islam dan sebagainya.
Sementara di Bali, meskipun mayoritas umat Hindu, namun masing-masing memiliki ekspresi keagamaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sini lantas muncul istilah Desa Kala Patra dan Desa Mawacara, sebagai upaya merumuskan kemajemukan ekspresi kultural tersebut.
Bentuk dan ekspresi aktivitas keagamaan bisa berbeda ketika berada di dalam tempat, waktu, dan keadaan yang berbeda. Inilah sebab, seorang peneliti Bali menghadapi kerumitan ketika melihat Bali yang sangat majemuk secara kultural. Bahkan tak sedikit yang tersesat. Lalu apa yang bisa kita pelajari dari diskusi ini? Sekali lagi, klasifikasi tunggal warga dunia hanya berdasarkan identitas agama sangat rentan secara politik, sekaligus menyesatkan! [T]