Dewa Indra disebut bahu locana, artinya bermata banyak. Banyak itu berapa, tidak dijelaskan lebih lanjut. Meski banyak matanya, Indra yang konon menjadi dewa perang, dalam banyak cerita selalu meminta pertolongan jika kerajaannya hendak digempur musuh.
Karena demikian, keberaniannya sekaligus diragukan. Konon juga, buah zakarnya hanya satu. Benar atau tidak, saya tidak tahu, tidak pernah saya memeriksanya. Tapi begitu kata Nitisastra.
Sang Hyang Rembulan yang cahayanya konon indah itu, bukannya tanpa cacat. Keindahannya terganggu oleh sosok Sasa. Siapa Sasa? Ialah kelinci. Ada bayangan kelinci di dalam bulan. Ada juga yang menyebutnya seperti seorang nenek bungkuk yang sedang menenun.
Sang Hyang Matahari? Juga ada cacatnya. Cahaya matahari yang terang itu, sekaligus panas. Karena sangat panas, tidak ada yang bisa hidup jika terlalu dekat dengannya. Karena panasnya, matahari disebut cacat. Karena panas itu juga, banyak orang yang menghindarinya. Takut hitam, takut terbakar, dan takut-takut lainnya.
Jangan tanyakan kepada kaum spiritual. Karena jawabannya bisa berbeda. Ada sebuah rumus aneh tentang matahari, konon menurut rumusnya tidak ada yang lebih dingin dari panasnya matahari.
Sang Hyang Siwa yang dijadikan dewa utama, juga ada cacatnya. Kan Siwa juga disebut Nila Kanta. Artinya, yang berleher hitam. Jika membaca teks Adi Parwa, hitam di leher Siwa disebabkan oleh racun hala-hala yang muncul ketika pemutaran Gunung Mandara untuk mencari amerta. Agar dunia selamat, maka Siwa merelakan dirinya meminum racun itu.
Sang Hyang Wisnu juga tidak tanpa cacat. Cacatnya Wisnu karena pernah menjadi Pasupala. Pasupala adalah sebutan bagi pengembala. Karena pernah menjadi pengembala, maka Wisnu dianggap cacat. Tidak dijelaskan kenapa dewa yang menjadi pengembala dianggap cacat. Saya hanya yakin, pasti ada penjelasan untuk sebuah sebutan semacam itu. Masalahnya hanya satu, penjelasan itu belum ditemukan.
Dari beberapa penjelasan tersebut, diketahuilah bahwa ada dewa-dewa yang cacat. Cacat artinya memiliki kekurangan. Tapi tidak banyak yang mau melihat sisi ini, oleh sebab itu para dewa selalu dijunjung setinggi-tingginya. Mungkin memang begitu, bagi mereka yang terlanjut tinggi, kekurangannya ditutupi oleh ketinggian.
Oleh sebab itu, sangat tidak dianjurkan jika ada manusia yang mencela manusia lainnya di semesta ini hanya karena cacatnya. Tidak ada yang ingin hidup demikian. Tidak ada yang ingin kelahirannya begitu. Hidup tidak berhenti hanya karena kekurangan. Justru kekurangan adalah kekuatan.
Bukankah karena matanya yang banyak, Indra dapat melihat ke segala arah dan jadi lebih waspada? Justru karena ada sosok kelinci atau nenek menenun di bulan, kita tidak bosan memandanginya lalu menafsir-nafsir maknanya. Karena panas matahari dalam porsi yang tepat, manusia diberinya kehidupan.
Malah saya ingin berterimakasih kepada Siwa, karena rela meminum racun untuk menyelamatkan semesta. Terimakasih juga kepada Wisnu yang rela jadi pengembala, karenanya saya bisa minum susu dan melihat sapi-sapi gembalaannya dijadikan caru yang konon bertujuan mengharmoniskan bumi.
Dengan begitu, mari kita lihat sesuatu dari banyak sudut. Kita ini manusia, bukan kuda yang pakai kacamata. Jika tidak demikian, maka percumalah banyak buku yang telah dibaca. Karena ia berhenti hanya sebagai bacaan, bukan sebagai perlakuan, bukan tindakan.
Cara pikir itu juga yang dibangga-banggakan oleh manusia. Konon pikiranlah yang membedakan manusia dari tumbuhan dan hewan. Artinya, pikiran adalah power, kekuatan. Ada tiga kekuatan dasar yang dimiliki manusia. Pertama adalah pikiran yang disebut Idhӗp. Kedua adalah suara [sabdha]. Ketiga adalah tenaga [bayu].
Tenaga memang kekuatan. Menurut shastra tentang tenaga, ia berasal dari darah yang dipompa jantung. Bahkan saat tidur pun, jantung masih berdenyut tanpa disuruh. Itu terjadi karena saat tidur, seluruh tenaga berkumpul di jantung. Disebutnya papupulaning sarwa bayu.
Nafas yang menjaga dan memberitahu kalau tubuh ini masih hidup. Nafas pula yang memungkinkan jantung masih berdenyut dan mengalirkan darah. Karena darah mengalir, tubuh masih mendapatkan kehidupan. Bagian-bagian tubuh yang tidak dialiri darah, bisa jadi kesemutan. Bahkan tidak bisa digerakkan. Terimakasih kepada nafas dan darah!
Suara adalah kekuatan. Ia juga dihasilkan oleh bayu yang bergerak. Jadi suara berakar dari bayu. Maka mengendalikan bayu adalah cara mengendalikan sabda. Jika diibaratkan sebagai lilin, maka kendalikan anginnya, teguhlah apinya.
Tapi tidak semudah itu kawan. Mengendalikan angin tidak semudah membual tentang pengendaliannya yang diibaratkan seperti memegang batang teratai agar bunganya tenang. Melepaskannya juga tidak seromantis pengandaian tentang menyatunya udara di dalam bambu dengan udara di luarnya.
Metafora seromantis itu hanya ada dalam kata-kata. Kalau tidak percaya, cobalah. Tarik nafas dalam lima hitungan, tahan selama tiga hitungan, dan hembuskan selama tujuh hitungan. Terus begitu selama sejam penuh. Selamat mencoba.
Idӗp adalah kekuatan. Karena satu negara bisa hancur dan berkembang, hanya dikarenakan olehnya. Bayangkan berapa contoh negara yang hancur karena diliciki? Kita mesti menerima kenyataan pahit bahwa kelicikan adalah produk pikiran. Karena pikiran adalah kebanggaan, maka kelicikan dihasilkan oleh sesuatu yang dibanggakan.
Bukan rahasia lagi, banyak yang meyakini kalau pikiran bisa dikembangkan dan dikendalikan, ia akan menjadi kekuatan super. Kalau tidak, entah untuk apa banyak orang yang belajar ini dan itu sampai mati. Diberinya pikiran makanan berupa objek-objek material yang bisa direnungkan. Setelah semuanya melebar dan besar, lalu dibuatlah rumus-rumus untuk menyederhanakannya. Jadi produk puncak dari pikiran adalah penyederhanaan. Sama seperti mantra yang banyak itu, diringkas, disederhanakan menjadi kuta mantra.
Kalau orang adil sudah dari pikirannya, maka ia juga akan adil pada pengetahuan umum yang ia dapat. Banyak yang menerima bahwa gelombang pikiran yang dikendalikan membuat mereka tenang, tapi pada saat bersamaan mereka tidak menyetujui bahwa pikiran bisa balik mengendalikan ketenangannya. Selalu ingin mengendalikan, dan menolak dikendalikan. Itu sifat dasarnya.
Makanya jangan bilang aneh, kalau orang Bali diwarisi tentang pikiran-pikiran besar untuk mengendalikan gunung-gunung, danau-danau, para bhuta kala, bahkan para dewa. Bayangkan tentang mengendalikan para Dewa. Saya hanya bisa takjub sendiri sampai disana. Para dewa yang dipuja-puja itu, konon bisa dikendalikan. Tidak cukup hanya dikendalikan, bahkan para dewa itu disebutnya sebagai saudara. Kalau para dewa itu adalah saudara, jadi manusia itu siapa? [T]