Sampai beberapa hari, bahkan seminggu setelahnya, saya masih merasakan nyeri bekas suntikan di lengan atas ini. Saya harus menerima, total empat botol suntikan VAR (vaksin anti rabies), dalam tiga kali penyuntikan berselang sepekan. Ini lantaran saya sempat kontak dengan pasien terduga rabies.
Awalnya pasien itu masuk ke bagian penyakit dalam dengan keluhan demam dan penurunan nafsu makan. Namun saat saya evaluasi di ruang perawatan, saya temukan pasien demam dengan gejala gelisah yang sangat menonjol. Saya curiga, wanita lansia itu telah mengalami radang otak (ensefalitis). Lalu saya membuat konsultasi yang ditujukan kepada sejawat ahli saraf (neurolog).
Belum berselang satu jam, siang itu ia langsung menelpon saya, dalam nada bicaranya yang saya dapat rasakan penuh kecemasan, ia menyimpulkan pasien itu suspek rabies. Sekitar tiga bulan sebelumnya, ia digigit anjing piaraannya sendiri. Seekor anjing muda yang sangat lucu.
Kami terkejut. Saya berusaha mengembalikan semua ingatan saat memeriksa pasien itu, adakah kemungkinan darinya saya telah terkontaminasi cairan tubuh terutama liurnya? Rasanya tidak. Terbayang dalam ingatan saya, ia hanya begitu gelisah, mulutnya mengecap-kecap, tatapan matanya yang tak terkoordinasi sebagaimana mestinya.
Melompat pula ingatan saya, sekitar sepuluh tahun lalu, saat merawat pasien rabies di ruang Nusa Indah RSUP Sanglah Denpasar. Laki-laki paruh baya itu betul-betul menunjukkan gejala yang begitu mngerikan, ia meraung-raung layaknya seperti seekor anjing marah dan sekarat. Virus rabies telah menghancurkan sistem saraf pusatnya. Saya berusaha tenang, kembali kepada pasien yang beberapa jam lalu saya periksa. Tak ada raungan dari mulut ibu itu, tak ada gejala agitasi yang terlihat horor.
Namun, malam sekitar jam 11, ibu malang itu dilaporkan tewas. Maka saya, sejawat ahli saraf, semua paramedis dan petugas serta keluarga pasien itu harus menerima suntikan VAR. Tragedi ini datang dari seekor anjing piaraan yang sangat lucu, yang telah terinfeksi entah di mana, lalu membawa teror rabies kepada pemiliknya.
Pandangan orang-orang bijak, yang mengemukakan bahwa, sesungguhnya kebaikan berjarak sedemikian dekat dengan keburukan, agaknya benar. Mungkin saja mereka berada pada satu titik, namun saling membelakangi atau menampik. Mereka, bagai siang dan malam atau hitam dan putih.
Meski kita ingin meniadakan eksistensi keburukan, toh ia bergeming. Masyarakat Bali menyebutnya dengan istilah Rwa Bhineda. Kebaikan dan keburukan adalah sepasang keniscayaan. Tanpa salah satu darinya, mungkin saja takkan ada alam semesta ini. Bukankah bumi kita dikawal oleh medan magnet positif dan negatif yang berlawanan dari kutubnya masing-masing?
Itulah mungkin, kenapa virus rabies hingga kini tak juga hengkang dari kehidupan damai kita. Ia, satu eksistensi keburukan yang harus tetap ada. Secara biologis, sejak lama telah diketahui setiap organisme punya insting untuk bertahan hidup, tak terkecuali virus Rabies. Seakan terdorong untuk melestarikan kerajaan keburukan, yang mungkin saja sebuah misteri berkabut, fenomena penjaga keseimbangan alam semesta.
Melihat dalam perspektif seperti ini telah membawa rasa ngeri yang masuk ke dalam setiap tarikan nafas dan denyut nadi kita. Karena ia mengantarkan kita untuk melihat ke masa depan, saat juga misalnya virus HIV yang tak usai membunuh manusia, atau segala bencana alam yang merenggutkan jiwa-jiwa manusia. Keburukan dan kengerian selalu berbaur di sekitar kehidupan damai kita.
Kata rabies berasal dari bahasa Sanskerta kuno, rabhas, yang artinya melakukan kekerasan atau kejahatan. Ilmuwan Yunani kuno, Aristotle (400 SM) dalam Natural of Animals, menulis “…anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif dan semua binatang yang digigitnya juga akan mengalami sakit yang sama”.
Lalu, horor itu pun kemudian meneror umat manusia. Seseorang yang tergigit anjing pengidap rabies, tanpa penanganan yang tepat dipastikan akan tewas. Gejala rabies pada manusia yang terinfeksi akan muncul sekitar 30 atau lebih sejak menerima gigitan. Gejala awal tidaklah spesifik, mirip seperti demam akibat infeksi virus pada umumnya. Lalu ia masuk pada gejala yang lebih khas yaitu berliur berlebihan.
Kemudian diikuti oleh gejala yang lebih berat karena virus rabies telah merusak bagian otak yang mengendalikan pusat pernafasan dan menelan. Gelisah, mudah kaget, bahkan kejang-kejang saat ada rangsangan dari luar. Itulah kenapa ia fobia pada cahaya dan juga air, karena ada rasa nyeri saat menelan. Pada akhirnya penderita akan tewas akibat kelumpuhan tubuh yang progresif.
Kematian telah mengintai di sekitar kita. Virus rabies yang menolak punah demi kelestariannya secara sporadis telah bermigrasi dari satu anjing ke anjing yang lain. Sesekali singgah pada tubuh manusia yang akan membawanya pada maut. Dokter dan petugas kesehatan tak dapat diharapkan menuntaskan sendiri persoalan yang seakan sederhana namun begitu rumit ini.
Setiap orang punya tanggung jawab penuh untuk memastikan anjing piaraannya tetap sehat dan tak berkeliaran saat sakit untuk mencegah penularan rabies yang fatal. Anjing seharusnya tetap binatang piaraan yang lucu bukan monster. [T]