Dunia medis identik dengan keseriusan. Kalau anda meragukannya, mungkin anda akan dibilang kurang waras. Bahkan kalau anda menanyakannya langsung pada mereka, barangkali jawaban ketus akan anda terima. “Profesi yang menyangkut nyawa orang, kau anggap main-main?”
Kejadian berikut bisa jadi gambaran yang gamblang dari pernyataan di atas.
Pada saat saya kuliah dulu, saya sempat membaca sebuah survey tingkat kelucuan mahasiswa sebuah perguruan tinggi. Saya lupa mahasiswa jurusan apa yang dianggap mempunyai selera humor yang tinggi, dan saya juga tak mendalami metode apa yang dipakai sehingga didapatkan kesimpulan tersebut.
Yang saya ingat dengan jelas, bahwa mahasiswa fakultas kedokteran menempati urutan paling buncit dalam hal tingkat selera humor tersebut. Saya yang sejak SMA suka baca buku humor, misalnya Mati Ketawa Cara Rusia, dsb-nya. Dan juga menggemari acara Bagito Show di stasiun TV swasta saat itu, merasa selera humor saya masih dalam taraf yang wajar, artinya tidak rendah rendah amat.
Akhirnya sampai pada titik tertentu saya harus menerima kenyataan bahwa kami mahasiswa muda FK memang terlalu disibukkan dengan kuliah, praktikum dan sebagainya. Sehingga kami lupa meng-upgrade pengetahuan humor kami.
Kejadiannya seperti ini. Saat itu kami menerima kuliah Pengantar Ilmu Penyakit Dalamdari seorang dosen yang senior, yang bahkan saat ini sudah bergelar guru besar di bidang penyakit dalam.
Begini katanya:
“Dalam menentukan penyakit seseorang kita harus melakukan pemeriksaan fisik sederhana, dan untuk mendiagnose adanya infeksi awal, kita bisa melakukan pengukuran suhu tubuh orang tersebut.
Pengukuran suhu tubuh bisa dilakukan dengan tiga cara, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Yaitu diukur di mulut, ketiak dan dubur.
Pengukuran di ketiak paling lazim kita lakukan, karena sederhana dan nyaman untuk pasien. Tapi yang paling akurat adalah pengukuran suhu di mulut pasien. Kendalanya pengukuran di mulut sangat sulit dilakukan pada dua kategori pasien. Pertama pada balita karena mereka biasanya kurang kooperatif.
Dan yang sulit kedua adalah pengukuran pada pemain kuda lumping.”
Saya tertawa terbahak mendengar guyonan ini, dan baru sadar ternyata saya tertawa sendiri, dan seisi ruangan tetap hening. Berarti ada dua pesakitan di ruang kuliah itu, saya yang tertawa sendiri, dan dosen saya yang hendak membuat lelucon tapi belum cukup memancing tawa pendengarnya.
Dan yang paling tragis, beberapa minggu kemudian , saya meminjam catatan kuliah penyakit dalam dari pacar saya. Di sana jelas tertulis, kontra indikasi pemeriksaan suhu badan secara oral adalah pada bayi dan pemain kuda lumping.
Ternyata memang benar, kami adalah orang-orang yang ditakdirkan untuk selalu serius memandang hidup.
Kembali ke pernyataan pada judul, kami yang memang golongan orang yang super serius itu, apakah otomatis juga pembaca sastra yang tekun? Saya jawab tidak, dengan tegas. Karena dari status-status di media social, percakapan di grup pertemanan, jarang sekali kami membabahas karya sastra, baik tulisan, buku maupun penulis sastra, sekali sebulan saya rasa tidak. Kalaupun dibicarakan, yang terlibat aktif mungkin cuma satu dua orang.
Dan ini terus terang cukup membuat jengah, untuk kita yang ingin generasi kita ke depan tak lupa pada hasil karya anak bangsa, sehingga saya selalu berusaha menyelipkan pesan-pesan berbau sastra pada setiap kesempatan berbicara di depan orang banyak.
Kesempatan pertama hadir saat survey akreditasi puskesmas, yang mendatangkan tim surveyor dari luar Bali dengan level nasional. Pada saat penerimaan mereka, dengan kapasitas saya sebagai kepala puskesmas, saya berkesempatan memberikan sambutan pembukaan.
Saat itu pidato saya tutup dengan sebuah kutipan dari tulisan Goenawan Muhammad (saya kurang yakin mereka membaca GM).
“Harapan, layaknya jalan setapak di tengah rimba, dia terlihat saat makin banyak orang yang melaluinya.“
Lalu, saya melanjutkan: “Bersama bapak dan ibu tim surveyor, mari bimbing kami melewati jalan itu, agar semakin jelas harapan di depan untuk puskesmas yang terakreditasi, yang ujungnya nanti adalah pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.”
Dan saya tak terlalu terkejut, saat sebulan kemudian hadir pemberitahuan bahwa puskesmas kami lulus akreditasi dengan status memuaskan
Kesempatan lainnya datang kemudian. Momen pelatihan kepala puskesmas tingkat provinsi menjadi ajang unjuk gigi. Dalam setiap kesempatan diskusi selalu saya aktif mengajukan pertanyaan yang beraroma sastra. Pemaparan materi tentang kepemimpinan yang efektif, menggunakan teori dan konsep konsep asing, yang saya rasa juga terlalu usang dan tak cukup membumi.
Iseng saya mendebat, “Dalam budaya minang ada sebuah pepatah, pemimpin itu semestinya cuma dimajukan selangkah,dan ditinggikan sedahan, dan itu konsep yang ada di bumi nusantara, mengapa tidak kita belajar dari sana?”
“Selama ini pemimpin kita selau berjarak dengan yang dipimpin, dan benar kata bijaksana, bahwasanya seorang pemimpin adalah cerminan masyarakat yang dipimpinnya,” begitu lanjut saya.
Sang fasilititator tergugun, dan terkesan sependapat dengan ide tersebut.
Aksi terakhir hadir saat perpisahan. Pelatihan selama sepuluh hari tak terasa panjang bagi semua peserta, termasuk fasilitator kami yang jujur mengaku sangat berkesan karena keragaman kelompok ini dengan beragam inisiatif dari anggotanya.
“Ayo siapa yang mewakili grup ini untuk memberikan kesan dan pesan setelah mengikuti pelatihan yang lama dan melelahkan ini?” tantang koordinator fasilitator pelatihan.
“Ayo Tut, kita Buleleng peserta paling banyak, masak kalah dengan Denpasar yang cuma seorang?” begitu provokasi teman-teman saya.
Baiklah saya terima tantangan ini, kata saya di depan peserta pelatihan dan segenap fasilitator yang sempat hadir. Tetapi barangkail gaya saya, tak bisa disamakan dengan rekan dari Bangli, Denpasar, yang saya rasa memang penggiat multi level.
“Gaya saya lebih sebagai pencerita,” begitu saya membuka pidato. “Tapi bagaimanapun, seperti kata Chairil Anwar, “Semua dicatat, semua dapat tempat”…bukan begitu teman-teman?”
Penonton terdiam, tak ada yang merespons pernyataan saya.
“Sepuluh hari kebersamaan kita, dalam suka dan duka, sedih senang, makan bersama, bercanda bersama sudah cukup menumbuhkan “cinta” di antara kita. Untuk merayakannya, saya persembahkan sebuah puisi, karya Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin…”
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya arang
Aku ingi mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Terdengar sorakan keras di penjuru kelas, menanggapi puisi wajib bagi penyuka puisi Indonesia ini.
“Biar saya tak melebar ke mana-mana, akhirnya saya ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh fasilitator yang telah membimbing kami dalam sepuluh hari yang kita lewatkan bersama.
Seperti kata bijak dari Cina.”Anda bisa menemukan seratus orang pandai dalam jarak seratus li, tapi untuk menemukan satu orang bijak, anda mungkin harus mencari sejauh seribu li.
Mudah mudahan setelah pelatihan ini, kita bisa menjadi orang orang bijak , minimal di tempat kerja kita, dan di wilayah kerja yang menjadi tanggung jawab kita.
Seperti dalam sajak Sapardi yang lain, Hujan Bulan Juni:
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak kakinya yang ragu ragu di jalan itu
Terlihat wajah-wajah bingung menagggapi puisi yang saya bacakan itu. Sebelum mereka melempari saya dengan buku, saya lanjutkan:
“Hujan Bulan Juni adalah hujan sisa sisa, hujan penghabisan. Dia turun sebentar untuk sekedar memadamkan debu, lalu bekasnya akan segera hilang. Kita harus bisa seperti itu. Saat menggerakkkan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka, kita terlibat secara langsung , dan saat mereka berhasil, mari kita tinggalkan , dan biarkan mereka merasakan itu sebagai keberhasilan mereka sendiri.”
Terdengar desahan puas dari pendengar puisi, atas interpretasi sederhana saya itu.
Dan akhirnya sekali, untuk menutup pidato kebudayaan saya selama sepuluh menit ini, saya coba menyentuh sisi nasionalisme teman-teman seprofesi saya.
“Para pendiri bangsa ini telah memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mesti kita junjung bersama. Tugas kitalah untuk menggunakannya dengan baik, salah satunya dengan membaca karya-karya sastra yang berbahasa Indonesia. Mari mulai dari diri kita sendiri, untuk memberi contoh pada lingkungan terdekat, keluarga, pasien, tetangga dan seterusnya. Jangan nanti kita baru terkejut kalau saat nanti ada yang mengakui bahwa Chairil Anwar adalah orang Malaysia”.
Saya menutup pidato dengan berapi api.
Sepi menyelimuti kelas sesaat, baru dilanjutkan tepuk tangan, yang entah karena kagum atau karena kasihan dengan saya yang berbicara sendiri di depan kelas seperti orang tak waras.
Dari hati kecil saya berharap mereka tergerak untuk membaca karya sastra anak bangsa, walaupun saya rasa harapan itu agak kejauhan. Tapi satu yang bisa saya pastikan, suatu saat ketika mereka yang ada di kelas itu mendengar nama saya, mereka akan segera teringat, “Ooo, dokter dari pelosok Buleleng yang merangkap pujanggaitu!?” [T]