Aku pernah mengasuh satu acara di Radio Guntur FM yang bermarkas di Singaraja. Acaranya setiap hari Kamis, jam 18.00-20.00 wita. Acaranya aku beri nama DeWaTa, singkatan dari DEteksi jiWA kiTA. Isi acaranya, ya, seputaran masalah gangguan jiwa, sesuai profesiku sebagai psikiater.
Misi acara itu adalah mensosialisasikan kepada masyarakat tentang gejala-gejala gangguan kejiwaan, sehingga dengan mengetahui gejala-gejalanya, masyarakat akan dapat mendeteksi dirinya, saudaranya, keluarganya, temannya, dan orang-orang di sekitarnya, sudah termasuk mengalami gangguan jiwa atau tidak. Kalau memang terganggu jiwanya, maka akan lebih cepat mendapatkan bantuan profesional.
Format acaranya interaktif. Aku ambil suatu topik dan bahas dengan hostnya. Lalu setelah beberapa saat, pendengar boleh bertanya melalui telepon tentang topik itu atau topik lain tentang kejiwaan yang mereka ingin tanyakan.
Tidak jarang dalam interaksi acara tersebut, banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan keluar dari konteksnya, misalnya ada yang nanya, “Dok, udah punya istri belum?” atau “Kalau denger suaranya, kayaknya dokter bisa nyanyi nih.”
Hal-hal seperti itu sering terjadi. Dan ini dimungkinkan terjadi karena durasi acaranya cukup lama, dua jam.
Satu kejadian yang paling bikin aku sempat grogi dari 8 tahun aku mengasuh acara itu adalah saat menginjak bulan pertama, Kamis minggu terakhir, saat jarum jam tanganku menunjuk pada angka 19.45 wita, tepat sebelum aku harus membuat closing statement.
Saat injury time, ada seorang pendengar acara yang menelepon, suara seorang ibu, dia memulai percakapan.
“Dok, sebelum acara ditutup, boleh nggak saya nebak kebiasaan dokter, begini-begini saya juga punya kelebihan lho Dok?”
Karena untuk menghargai dia dan biar cepat selesai siarannya, aku bilang, “Ya bu, tapi jangan panjang-panjang ya.”
“Ya Dok, pendek kok!”
“Silahkan, Bu!”
Lalu dia mulai nyeroscos dengan tebakannya. “Dokter itu punya kebiasaan kalau tidur ngorok, suka ngemil saat malam nonton TV, sambil ngerogoh-ngerogoh celananya. Benar kan, Dok?”
“Nggak ah. Tebakan ibu ngawur, lain kali tebakannya harus tepat lho.” Sambarku cepat.
Lalu acara ditutup. Dalam perjalanan pulang, di mobil aku mikir-mikir, kok tebakannya si ibu itu 99,99% tepat ya?
Sampai di rumah langsung aku ceritakan kejadian itu pada istriku. Bukannya dia heran, eh, malah tertawa ngakak. Ternyata dia yang tadi nelepon.. Sialan! [T]