15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mudik ke Bali

Raudal Tanjung BanuabyRaudal Tanjung Banua
June 7, 2019
inEsai
Mudik ke Bali

Rumah panggung di Kampung Loloan, Jembrana, Bali

80
SHARES

Dalam urusan mudik Lebaran Idul Fitri, saya termasuknyantai, agak bertolak belakang dengan kebiasaan saudara senasib lainnya yang sama-sama hidup di perantauan. Saya tidak tahu ini keberuntungan atau kebetulan. Yang jelas, sikap santai saya itu ada hubungannya dengan setidaknya dua momok mudik: macet dan tiket.  

Macet, kita tahu, itu ritual wajib para pemudik, utamanya mereka yang bertolak dari ibukota Jakarta menuju kampungnya masing-masing nun di sana. Jakarta merupakan titik episentrum “gempa” kultural bernama mudik. Jurnalisme mudik, terutama di televisi, pada hakikatnya adalah laporan orang ke luar Jakarta (saat mudik) dan perjalanan kembali masuk Jakarta (saat hilir), ditandai titik-titik persimpangan krodit di Jawa Barat, Jawa Tengah atau Banten, sehingga laporan itu tampak sebagai dislokasi sebab nyaris melupakan tradisi yang sama di berbagai wilayah tanah air.


Masjid Raya Pasuruan, tempat yg sayang dilewatkan saat mudik ke Bali

Kadang saya bayangkan, kalau ibukota Republik kelak pindah ke Kalimantan, barulah mungkin dislokasi mudik beralih ke Surabaya atau Semarang. Sebab moda transportasi terbesarnya akan beralih dari bis dan kereta, ke kapal laut di pelabuhan atau dermaga.

Selanjutnya masalah tiket. Bukan hanya harganya yang bersayap, namun juga perjuangan mendapatkannya. Ibarat menangkap burung liar. Meski sudah ada tiket tambahan, kereta tambahan dan armada bis tambahan, termasuk program mudik gratis, toh persediaan tiket tetap ludes mendekati hari H. Maklum semua tumplek-blekpada waktu berdekatan. Tiket kereta api dari Jakarta ke Jawa  (orang Jakarta biasa menyebut “pulang ke Jawa”) sudah habis bahkan sebulan sebelum Lebaran.

Anehnya, di sini tak berlaku hukum ekonomi yang kita pelajari secara amatir di sekolah dulu. Kata guru ekonomi kita, makin tinggi permintaan makin murah harga barang. Ternyata dalam urusan mudik sebaliknya. Makin tinggi permintaan makin membubung tinggi tiketnya. Belum lagi Dishub secara resmi merestui kenaikan tiket yang dengan mahfum kita sebut tuslah. Sementara tiket pesawat jauh lebih mahal. Apalagi Lebaran tahun ini, seperti ada drama gong yang memaksa kita untuk tertawa. Bayangkan, hari biasa saja harga tiket sudah begitu mahal, apalagi Hari Raya. Konon ada yang mencapai puluhan juta untuk sekali jalan meskipun penumpang dibawa moter-muter dulu di atas langit Nusantara.

Ajaib! Bandung-Medan, misalnya, dihargai 21 juta (dengan transit Bandung-Bali-Jakarta-Medan). Ini hanya mungkin dibandingkan dengan harga sekotak tisu di Venezuela yang mencapai 33 juta—karena krisis dan inflasi. Di Indonesia tak ada krisis apa-apa, tiba-tiba tiket pesawat jadi tertinggi seplanet Bumi; orang ke Medan pun harus muter ke Bali dulu, bukankah ini keajaiban besar? Hanya pernyataan-pernyataan cemerlang Menhub, Budi Karya Sumadi, seputar harga tiket pesawat sajalah yang mungkin menandingi keajaiban ini.

Nah, saya termasuk tidak bersentuhan langsung dengan jalur Jakarta. Mudik saya bertolak dari Yogyakarta. Saya juga lebih sering mudik ke Bali, ke kampung istri, daripada ke Padang, kampung saya sendiri. Kalau opsi ke Padang tak terhindarkan, biasanya saya pilih jalan aman: mudik pasca Lebaran atau hari biasa. Tetap nyantai dan tak terlalu membawa beban di pundak. Toh pulang ke kampung sendiri, masa’ harus diatur orang lain? Sebaliknya, kalau pulang ke kampung istri, bagaimanapun berurusan dengan pihak ketiga. Mudik ya, mudik, Lebaran ya, Lebaran. Titik. Beruntung, untuk ini pun saya diselamatkan situasi. Mudik ke Bali, ke tanah Buyut Lebai di Loloan, Negara, saya bisa nyantai karena berlainan arus utama dengan umumnya jalur pemudik.


Kampung Loloan di Bali, tempat mudik

Sekilas mungkin ada yang merasa heran kok ada yang mudik ke Bali saat Lebaran? Kalau berwisata saat Lebaran pasti banyak dan malah menjadi trend belakangan ini. Orang Bali juga tak terlalu kental tradisi rantaunya, dan dalam konteks mudik Idul Fitri, bukankah mayoritas warga Bali beragama Hindu? Tapi lupakanlah generalisasi ini, sebab kita sedang bicara Provinsi Bali, bukan suku-bangsa Bali.

Dalam konteks inilah kita akan bersua realitas kampung-kampung muslim di sejumlah tempat di pelosok Bali, baik yang terbentuk dari migrasi penduduk abad 15-18, dengan kampung-kampung diaspora mulai Loloan, Air Kuning (Jembrana), Kampung Bugis Serangan, Kepaon (Denpasar), Nyuling, Saren Jawa (Karangasem), Pegayaman (Buleleng) dan seterusnya, maupun kampung urban abad 20, seperti Kampung Jawa Denpasar, Medewi, Yeh Sumbul (Jembrana), Sumber Kima, Pemuteran (Buleleng) dan lain-lain.

Dalam peta demografi seperti itu, tak heran tiap Lebaran, pegiat teater Andika Ananda misalnya, akan mudik ke Gatot Subroto, Denpasar, dari Yogyakarta atau Tubaba, Lampung; penyair Ahmadul Faqih Mahfudz di Yogyakarta mudik ke Pemuteran dan belakangan menetap, atau penyair-wartawan Ketut Syahruwardi Abbas kala bertungkus-lumus di Jakarta, akan mudik ke kampung halamannya di Pegayaman atau ke rumah mertua di bilangan Sanglah, Denpasar. Patra Alim Wijaya dan Tantri Masayu (keduanya nama fiktif) akan mudik dari Malang ke Saren Jawa, dan seterusnya. Saya sekeluarga termasuk kelompok ini, mudik ke Bali dari Yogyakarta.

Untuk masalah kedua, yakni tiket, jika saya naik angkutan umum, tentu saya, istri dan anak-beranak (yang jumlahnya terus membengkak) tak mungkin menghindar dari Tuan Tuslah sebab kami bukan warga istimewa. Di negeri ini, dalam soal angkutan, memang tak ada yang istimewa. Orang tua jompo dan anak yang bernafas beberapa tahun, harga tiketnyasami mawon. Tapi itu masih untung sebab saya tak perlu berebut tiket segala. Bis-bis ke Bali seperti Gunung Harta, Wisata Komodo, Safari Dharma Raya, Sedya Mulya atau Pahala Kencana, kosong. Naik kereta api Sri Tanjung hingga Ketapang juga tinggal centang tiket.

Naik pesawat, saya harus mikir dua-tiga kali. Selain harga tiket yang terbangnya lebih tinggi ketimbang pesawatnya, terpikirkan pula perjalanan dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar ke Negara di ujung barat Pulau Dewata, makan waktu lebih lama dibanding Yogya-Bali. Nambah ongkos lagi, kena tuslah lagi. Ini salah satu pertimbangan Bang DS. Putra, yang tinggal di Negara, setia naik bis ke Yogya tiap kali menjenguk anak-anaknya yang kuliah di sana. “Ribet, Dik,” katanya, dan saya setuju.

Toh Bandar udara Letkol Wisnu di Gerokgak masih belum melayani maskapai umum seperti Bandara Belimbing Banyuwangi. Sementara rencana bandara Internastional di Buleleng masih wacana. Meski kalau Letkol Wisnu aktif dan bandara besar dibangun di Buleleng saya juga belum tentu mudik lewat udara, jika dan masih jika sengkarut tiket pesawat “main-main” kayak sekarang.


Mudik ke Bali naik bus

Perjalanan darat belakangan relatif lebih menyenangkan, sebab ada bentangan jalan tol yang mempercepat perjalanan. Mulai dari Kebakkramat, Sragen, sampai Granti Probolinggo, sudah ada jalan tol. Biasanya kita akan masuk ke Bali agak siang, tapi via tol subuh sudah bisa masuk. Meski ongkos tol itu tetap dibebankan kepada penumpang melalui kenaikan harga tiket. Pak Ketut, kepala agen Wisata Komodo di Yogya sambil senyum-senyum bilang, “Nambah dikit, Mas, tapi nambah banyak kecepatan.”

Mudik bawa kendaraan sendiri pun, tidak mengurangi hobi nyantai saya. Sebab jalan ke timur akan sepi dibanding arah ke barat. Orang-orang lebih banyak keluar Bali dan Surabaya, dua pusat manisan ekonomi yang dikerubungi semut urban itu. Mungkin saya akan berselisih jalan dengan Mas Nuryana yang mudik dari Denpasar ke Jepara atau Kim Ghozoli yang mudik ke Probolinggo, mungkin juga dengan R. Giryadi yang mudik dari Surabaya ke Blitar dan Umar Fauzi Ballah yang mudik dari Madura ke Boyolali.

Selebihnya, kami hanya perlu berupaya untuk naik kapal fery selagi hari masih pagi, syukur-syukur subuh, sebab bulan-bulan ini biasanya gelombang besar. Untuk tol, kami pilih-pilih. Jika dari Sragen hingga Probolinggo langsung bablas masuk tol, kami merasa romansa perjalanan jadi hilang—lewat kampung-kampung, kota-kota kecil, alun-alun, warung makan, Pom—dan ongkosnya pun tak bisa dibilang ringan. Kami juga akan kehilangan kebiasaan untuk mampir ziarah di Makam Mbah Hamid, Pasuruan atau di PP Darul Ulum Karangpandan sowan Gus Haidar Hafeez.

Maka saya pilih masuk tol untuk menghindari jalur-jalur hutan jati saja seperti Mantingan dan Nganjuk-Kertosono. Jalannya turun-naik dan berliku sehingga sulit sekali menyalip truk; dan jangan coba-coba nyalip di marka jalan yang tak putus, sebab polisi di pos hutan jati itu bermata cerlang. Dua kali sudah saya pernah kena tilang. Karena itu, saya pilih masuk tol di sekitar Mantingan dan Caruban-Kertosono, aman. Bebas dari rangkaian truk-truk besar, sisanya kembali ke jalan konvensional tanah Jawa.

Dengan demikian mudik ke Bali ibarat melawan arus, orang ke mudik kami ke hilir. Begitu pula nanti saat pulang ke Yogya, kami pun kembali melawan arus: orang-orang bergegas ke timur, ke Surabaya atau Denpasar, kami nyantai-nyantai saja ke Yogya. Apa pun semuanya adalah berkah. Tapi hidup di luar mainstream rasanya Alhamdulillah sekali ya… [T]

Tags: baliIdul FitriIslamKampung LoloanLebaranmudikMuslim
Previous Post

Pemaafan, Ibu Dari Segala Ibadah

Next Post

Dhamma Camp 2019: Camping Chef yang Tak Kalah Seru dengan Master Chef Indonesia

Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua

Lahir di Sumatera Barat, pernah merantau ke Bali dan kini tinggal di Yogyakarta. Menulis cerpen dan puisi sembari mengelola Komunitas Rumah Lebah, Penerbit Akar Indonesia, dan Jurnal Cerpen Indonesia.

Next Post
Dhamma Camp 2019: Camping Chef yang Tak Kalah Seru dengan Master Chef Indonesia

Dhamma Camp 2019: Camping Chef yang Tak Kalah Seru dengan Master Chef Indonesia

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more

Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 14, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

Read more

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co