Anak-anak muda di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, yang merupakan salah satu desa tua di Bali, sejak beberapa tahun belakangan ini selalu mendapatkan berkah kreatif. Selain didatangi berbagai peneliti dari luar negeri, mereka juga didatangi kelompok-kelompok kreatif yang tentu saja untuk menularkan semangat-semangat kreatif.
Semua itu terjadi karena, seperti magnet, anak-anak muda Desa Pedawa memang punya daya tarik tersendiri sehingga kelompok-kelompok kreatif tertarik untuk datang ke desa itu, bukan hanya dari Bali, melainkan juga dari luar Bali, bahkan luar negeri. Anak muda di desa tua itu memang sedang giat-giatnya membangun iklim kreatif. Antara lain, mereka secara swadaya membuat film tentang Pedawa, membuat puisi berbahasa Pedawa, dan juga melakukan kegiatan sosial semacam penghijauan dan merancang gerakan-gerakan cinta desa serta lingkungannya.
Kelompok Pencinta Alam Kayoman Pedawa adalah salah satu kelompok anak muda di desa itu yang selalu bergerak ke depan untuk membangun kultur kreatif di Desa Pedawa. Sehingga, dengan kegiatan-kegiatan kreatif itu, kesan Desa Pedawa yang pernah identik dengan tindak kekerasan kini kian memudar, tergantikandengan keramah-tamahan yang dibarengi kreatifitas yang semakin berani dan eksperimental.
Ini dibuktikan dari hasil workshop pembuatan film yang dilakukan oleh para remaja Desa Pedawa. Workshop yang dilaksanakan dua hari berturut-turut dari tanggal 1-2 Juni 2019, dalam waktu total 30 jam semuanya berlangsung lancar dan menarik.
Seluruh peserta antusias mengikuti kegiatan ini, selain menjadi pemain di dalam film, muda mudi desa Pedawa juga mengalami mulai dari menuliskan ide cerita, mengembangkan cerita itu sampai ke proses persiapan dan produksinya, bahkan hinggapost-produksi.
Workshop pembuatan film ini dilaksanakan secara swadaya oleh Minikino dengan menggandeng Kelompok Pencinta Alam Kayoman Pedawa. Kegiatan ini bertempat di rumah adat Bandung Rangki, Desa Pedawa. Workshop ini juga bukanlah sembarang workshop film. Minikino mengajak remaja Pedawa berkenalan dengan produksi film pendek dengan menggunakan teknik one-shot.
One-shot adalah sebuah teknik produksi film dengan cara sekali rekam sampai akhir film. Walaupun terkesan sederhana, namun menggunakan teknik ini para peserta benar-benar ditantang untuk merencanakan dan mempersiapkan dirinya dengan ide cerita, rencana blocking, serta hal-hal teknis lainnya dengan selengkap-lengkapnya. Karena, kalau terjadi kesalahan ketika proses rekam berjalan, maka adegan terpaksa diulang kembali secara keseluruhan. Proses pengeditannya pun akan mengedepankan teknik ini tanpa ada pemotongan, sehingga penonton dapat menyaksikan dan mengagumi kesinambungannya.
One-shot adalah sebuah teknik yang sulit dan menantang tenaga dan kreatifitas semua yang terlibat. Mulai pengembangan cerita, kamera, perekam audio, serta kelihaian semua tim untuk mengatur adegan-adegannya. Semua peserta harus benar-benar memahami posisi mereka dan selalu bersiap untuk spontan mengatasi kendala yang tidak terkira sebelumnya.
Fransiska Prihadi selaku direktur program Minikino menyampaikan, tema one-shot ini memang secara sadar dipilih, karena ingin menempa peserta untuk lebih serius, terutama di proses perencanaan dan persiapannya.
“Kalau ada yang cuma setengah-setengah, pasti merasakan akibatnya pada saat produksi,” kata Fransiska.
Tentu saja pelatihan 30 jam ini hanya waktu yang pendek. “Kami tidak mentargetkan sebuah hasil yang profesional, namun pengalaman ini dipastikan menjadi bekal berharga untuk semua peserta, kalau suatu hari mereka berinisiatif membuat produksi film lagi,” tambah Fransiska.
Workshop hari pertama diawali dengan pembekalan materi oleh Edo Wulia selaku direktur Minikino, menjelaskan tentang sejarah film pendek dan dasar elemen-elemen di dalam film. Peserta juga diberikan informasi perkembangan film pendek di dunia saat ini, agar peserta menyadari apa yang mereka bisa lakukan dengan karya film pendek, dengan pemahaman yang lebih mendalam.
Edo juga menyampaikan elemen-elemen dasar film, menekankan bagaimana elemen audio sangat berpengaruh di dalam film. Dalam sesi ini diperagakan bagaimana nuansa musik mampu mengubah persepsi penonton terhadap visual yang tampil di layar, bahkan sampai mempengaruhi jalan cerita di kepala penonton.
Setelah itu, workshop dilanjutkan dengan pemberian materi dari Made Birus selaku direktur eksekutif Minikino. Made Birus menyampaikan teknik produksi one shot serta memutarkan beberapa film hasil workshop Minikino terdahulu, yang juga menggunakan teknik one-shot. Hal ini memberikan referensi kepada para peserta tentang bagaimana teknik one-shot di dalam film, dan hasil yang ingin didapatkan.
Para peserta juga diajak melakukan simulasi produksi untuk memahami tugas masing-masing dan blocking adegan. Sebelum istirahat, diskusi pengembangan penulisan cerita juga disambut dengan antusias. Setiap peserta saling menanggapi untuk memasukkan idenya ke dalam rencana cerita film.
Gede Patra Santika, salah satu peserta one-shot filmmaking workshop menyatakan semangatnya. “Saya senang sekali bisa ikut karena selain menambah wawasan saya juga mendapat banyak hal baru, apalagi ini workshop film yang pertama kali pernah saya ikuti,” katanya.
Workshop hari pertama ditutup dengan menonton layar tancap bersama. Setelah matahari terbenam, layar tancap ini digelar untuk umum. Lebih dari dua ratus warga desa Pedawa dan desa-desa tetangganya berduyun-duyun hadir, menikmati film-film pendek pilihan. Film-film pendek yang diputar sangat beragam, mulai dari komedi hingga horor dan juga dokumenter.
Ratusan penonton sesekali menjerit serentak karena terkejut dan sesekali tertawa bersama karena adegan yang lucu. Ada pun film-film yang diputar antara lain seluruh program Indonesia Raja 2015 (http://minikino.org/indonesia-raja-2015-denpasar/), serta seluruh hasil workshop one-shot Minikino yang sudah pernah dilakukan tahun 2016 lalu (http://minikino.org/workshop-one-take/) serta 2 film karya dari Desa Pedawa sendiri yang berjudul “Tangtu Kepunaan” dan “Seletin Luun Paguan”, yang disutradarai Made Suisen.
Yang unik dari 2 film karya Desa Pedawa ini adalah, mereka memakai bahasa asli Pedawa yang memiliki perbedaan dari bahasa Bali lainnya. Sebuah karya dari wilayah Bali utara juga ikut ditampilkan, berjudul Atma Tulah yang disutradarai Pasek Taksu North Bali.
Menurut Sudarmaja selaku Perbekel Desa Pedawa, kegiatan workshop ini sangat bagus, selain mendorong kreatifitas warga desa khususnya anak muda, kegiatan seperti ini juga secara tidak langsung mengikis anggapan masyarakat tentang desa Pedawa dulu.
Wayan Sukrata selaku pemilik rumah adat tempat dilaksanakannya workshop, mengatakan, jika kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara terus menerus, ia yakin anak muda Pedawa akan memiliki lebih banyak lagi pilihan kreatifitas untuk berkegiatan.
“Di desa ini kan ada kelompok olahraga dan beberapa kegiatan pemuda”, tambahnya lagi dengan bersemangat.
Pada akhirnya workshop ini berhasil menyelesaikan dua film pendek. Masing-masing film dengan judul Ara Ngidang Naanang (Tak Bisa Tahan) dan Salah Tampi (Salah Paham). Kedua film pendek hasil peserta workshop tersebut menggunakan bahasa asli Pedawa.
Salah satu pengurus Kelompok Pencinta Alam Kayoman Pedawa, I Made Suisen yang juga akrab dipanggil I Bonk, mengatakan kedua film ini sengaja menggunakan bahasa asli Pedawa, selain untuk tujuan memperkenalkan bahasa ini untuk penonton lebih luas, tujuannya juga ingin memotivasi generasi muda Pedawa untuk menghargai kembali bahasa Pedawa agar nanti tak hilang ditelan jaman.
Minikino dan Kelompok Pencinta Alam Kayoman Pedawa menutup dua hari workshop dengan menonton bersama hasil film karya para peserta workshop. Walaupun masih sekedar hasil shooting yang belum dipoles apa-apa, peserta yang kelelahan pun kembali semangat dan antusias menonton dirinya di layar komputer.
Komentar-komentar spontan terjadi di sela-sela pemutaran film, sesekali tertawa girang karena melihat ekspresi wajah mereka sendiri di layar. Selain itu keluarga dari para peserta workshop yang hadir pun tampak berbahagia dan terharu melihat wajah anak cucu mereka di layar. Peserta senang, panitia senang, penonton pun senang. Sebuah pengalaman yang hanya bisa diwujudkan melalui niat dan kerja nyata untuk menciptakan kebersamaan, dan semua ini dimungkinkan melalui semesta aktifitas film pendek. [T] [*]