Sakti itu bisa terbang tanpa naik pesawat terbang.
Sakti itu bisa berjalan di atas padi yang sedang berbuah, tanpa merusaknya. Sakti itu bisa berubah menjadi kilat atau petir yang menyambar-nyambar. Sakti itu bisa juga jadi api membara yang terbang, lalu turun di gegumuk tengah kuburan. Ada juga orang sakti yang bisa meneropong jauh ke masa depan atau tembus ke langit tujuh jauh ke masa lalu. Super keren kan?
Kata orang kebanyakan, beda dengan kata sumber shastra. Nah, menurut beberapa sumber, ada satu kesimpulan tentang kesaktian. Sakti itu adalah saat pikiran bisa mengetahui segalanya, dan tubuh bisa mengerjakan semuanya. Sederhananya sakti adalah ketika dipahami segala yang dipikirkan, berhasil segala yang dikerjakan.
Selain itu, ada lagi pengertian lain tentang kesaktian. Menurut ajaran agama, sakti itu adalah wanita. Penjelasannya begini. Di sekolah dasar dulu, saya diajarkan tentang tiga Dewa yang memiliki tugas penting. Masing-masing Dewa memiliki tugasnya sendiri. Tiga dewa itu adalah Brahma, Wisnu dan Siwa.
Tugas Brahma adalah mencipta. Tugas Wisnu memelihara. Tugas Siwa adalah melebur segala yang diciptakan Brahma dan segala yang dipelihara Wisnu. Untuk menyukseskan tugas-tugas itu, maka tiap Dewa ditemani oleh istrinya. Istri Brahma adalah Saraswati. Istri Wisnu adalah Sri. Istri Siwa adalah Uma. Sebutan lain untuk ketiga istri Dewa itu adalah Sakti.
Saraswati penguasa pengetahuan. Jadi pengetahuan adalah kekuatan untuk menciptakan. Sri adalah Dewi Kemakmuran. Kemakmuran bisa diterjemahkan menjadi kehidupan, ciri-cirinya cukup makan dan minum, sehat, dan memiliki harta. Agar bisa makan dan minum, orang mesti bekerja. Pekerjaan dalam bahasa Bali lumbrah adalah swagina. Ada banyak teks tentang swagina. Contohnya adalah Dharma Pamaculan, Dharmaning Undagi, dan lain-lain.
Agar hidup lebih berguna, maka tubuh harus sehat. Untuk sehat diperlukanlah beragam jenis obat bagi yang sakit. Teks yang bisa dibaca adalah Usadha. Agar punya harta orang harus bekerja. Tapi barangkali juga harus dilengkapi dengan doa. Maka ada beberapa teks yang disebut Pangundang Merta yang isinya adalah doa-doa agar diberikan kemakmuran. Itulah kekuatan Sri sebagai pemelihara kehidupan.
Uma sebagai sakti Siwa, tugasnya adalah melebur. Biasanya kalau sudah bicara tentang peleburan, Uma disebut juga dengan Durga. Padahal Uma sendiri adalah Dewi yang menganugerahkan kepada manusia tentang tata upacara kematian pada zaman Kali. Apa itu zaman Kali? Silahkan dicari tahu sendiri. Kita pasti punya semiliar juta cara untuk mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Anugerah Dewi Uma itu dikumpulkan dalam teks berjudul Uma Tattwa.
Uma atau Durga sering dibayangkan sebagai sosok menyeramkan dan ada di kuburan. Kuburan dalam pikiran manusia-manusia pendahulu yang menulis banyak teks tentang kematian bukanlah tempat menyeramkan. Tapi sebuah lapangan yang dipenuhi dengan semerbak aroma harum. Apanya yang menyeramkan dari tempat yang dipenuhi aroma harum? Kan kita sendiri seringkali mengadakan yang harum-harum itu.
Tapi menurut penuturan seseorang, jika ada aroma harum datang tiba-tiba entah darimana, kita musti lebih waspada. Waspadalah kepada aroma harum itu, bukan kepada yang busuk!
Itu dia tugas tiga Dewi yang disebut Saktinya para Dewa. Di antara ketiganya, ada dua yang sering dibicarakan. Mereka adalah Saraswati dan Uma atau Durga. Saraswati bagi orang kebanyakan digambarkan sebagai sosok cantik. Sedangkan Durga bersosok menyeramkan.
Bagi orang yang membolak-balikkan pikiran, justru Saraswatilah yang seram karena ia adalah dewinya aksara-aksara. Bayangkan betapa menyeramkannya aksara-aksara yang ditumpuk-tumpuk menjadi rerajahan. Bagi yang tidak bisa membaca, satu aksara saja sudah cukup menyeramkan. Durga disebutnya dewi yang penuh kasih sayang dan pemurah. Konon Sutasoma diberikan anugerah bernama Mahahredayadharani oleh Durga. Pokoknya, Durga itu yang penyayang!
Satu dewi yang jarang dibicarakan adalah Sri yang kekuatannya adalah memelihara kehidupan kita sekarang. Mungkin memang kecenderungan manusia lebih senang membicarakan kelahirannya di masa lalu, dan kematiannya di masa depan dari pada merenungkan perilakunya semasa hidup sekarang.
Orang Bali juga banyak yang begini. Ada banyak upacara ketika akan dan baru lahir. Apalagi upacara kematian, lebih banyak lagi. Semasa hidup juga banyak upacara, tapi tidak banyak yang mengasihi sesamanya. Apalagi mengasihi sawah-sawah yang konon jadi palinggih Sri. Dewi Sri [Dewi Kemakmuran itu], dengan upacara sederhana kita muliakan lalu pindahkan sambil tersenyum melalui upacara ngingsirang batari Sri.
Upacara adalah jawaban dari segala hal mistis yang diyakini bisa mempengaruhi kehidupan. Tentu ada banyak latar belakang kenapa demikian. Jadi mari kita tersenyum dan mengaku, kita adalah salah satu pelaku yang hanya merasa menjadi korban perubahan.
Saya tidak ingin menyinggung yang disebut-sebut sistem Kapital oleh orang-orang pintar. Konon sistem itulah yang menjadi salah satu sutradara di balik drama perubahan yang diperankan manusia. Saya pun tidak mengerti apa yang dimaksud dengan sistem itu, meski sedikit hasil bacaan dari buku How The World Works dari Noam Chomsky bisa memberikan gambaran. Begitulah, saya ini Cangak yang ogah-ogahan.
Dari pembicaraan kita tentang tiga Dewa dan pasangannya, kita diberitahu bahwa di balik aktor hebat bernama Dewa, ada kekuatan Dewi yang mendukungnya. Jadi jika kita melihat seseorang yang super power atau banyak orang yang menjadi people power, kita juga harus melihat kekuatan macam apa yang menggerakkan di belakangnya. Biasanya kekuatan itu ada tapi tidak kita lihat. Kita tidak melihat, karena kita jarang melatih pengelihatan. Melatih pengelihatan juga cara untuk melatih kesaktian.
Memang ada banyak jenis kesaktian menurut deskripsi pada paragraf di awal. Kalau kesaktian itu saya jelaskan satu persatu, sepertinya Cangak kali ini haruslah sangat panjang. Jadi saya putuskan untuk tidak lagi meneruskannya. Soalnya, kita sudah sama-sama tahu dan sama-sama punya pengertian tentang kesaktian. Beda orang, beda pula pengertian. Pengertian dibentuk berdasarkan pengetahuan. Saya tidak mau memaksakan satu pengertian kesaktian kepada banyak orang. Itu tidak baik. Karena itulah, saya menyerahkan sepenuhnya kepada sodara-sodara tentang pengertian sakti.
Sebagaimana sodara-sodara, saya juga punya pengertian yang berbeda tentang kesaktian. Bagi seekor Cangak yang jujur seperti saya ini, sakti itu ketika “dia” menatapmu lembut lalu tanpa diduga kau sudah terperangkap jauh sekali di dasar kawah cinta paling dalam dan tidak tertolong.
Bayangkan kekuatan macam apa yang mampu membuat seseorang tiba-tiba terperosok sedemikian dalam. Tatapan lembut itu kekuatan? Ya tentu saja! Kekuatan itu tidak hanya berasal dari kekerasan, tapi juga kelembutan. Kekuatan itulah yang kita sebut power. Power itu yang menghidupkan seperti Saraswati, power itu juga yang mematikan seperti Uma, dan power itu juga yang menjaga seperti Sri.
Letak power itu bisa dimana-mana. Bagi lelipan kekuatan racunnya ada di kepala. Bagi ular berbisa, kekuatannya ada pada giginya. Bagi seekor kalajengking, kekuatan racunnya ada pada ekornya. Sedangkan bagi orang yang bertabiat buruk, setiap bagian tubuhnya adalah racun mematikan. Di balik itu semua, ada satu rumus warisan para tetua-tetua tentang kekuatan. Menurut rumusnya, “kekuatan adalah kelemahan! [T]
CANGAK YANG LAIN: