Ini adalah catatan aktor sebelum pementasan Komunitas Senja dengan judul “SANG GURU” adaptasi naskah monolog “Pidato 7 Menit” karya Hendra Utay, Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 18:00 WITA. Pementasan ini dalam rangka “Program Penyajian dan Pembangunan Seni UPTD Taman Budaya Art Centre 2019”, di Gedung Ksirarnawa, Art Centre, Taman Budaya Denpasar.
—
Masih canggung rasanya menulis keseharian kita untuk dinikmati orang lain. Meski sebenarnya aku sering menulis revisian skripsi dan terkadang script untuk film tapi tetap saja masih belum terbiasa untuk berkata-kata. Terimakasih kawan-kawan Komunitas Senja yang memfasilitasi dan menarik aku untuk berbagi isi pikiran pada orang-orang yang mungkin tidak mengenal aku.
Mungkin sudah hampir 7 tahun sejak aku turut serta bergerilya dalam dunia teater. Waktu yang lumayan panjang sejak berkenalan ketika SMK hingga jatuh cinta diam-diam pada dunianya. Meski cenderung aku lebih sering berada di balik layar, tapi sebuah pertemuan dengan seni dan pikiran-pikiran liar membuat aku terbuai hingga menjatuhkan diri di dalamnya. Aku rasa itu tetap cukup menjadi alasan untuk mencintanya.
Beberapa produksi aku alami sebagai tim dokumentasi, menikmati setiap riuh pementasan dari layar kamera. Terkadang aku rindu berada di depan, bersama sorak suara penonton yang tertawa. Ahh, terbalas sudah. Legu (sutradara) yang kukenal sebagai pelatih sejak SMK kini mengajakku kembali ke depan.
Dia juga yang memberiku kesempatan merasakan atmosfir panggung yang sesak ketika “Presiden Kita Tercinta” dipentaskan. Aku menggonggong ragu antara bahagia dan berduka saat semua proses terbayar dengan title juara. Kini kembali aku diantarkan oleh Legu ke sebuah panggung yang megah.
“Sang Guru” sebuah pementasan dengan nama yang cukup berat untuk aku emban. Tokoh guru yang begitu dekat dengan realitas malah mengingatkanku ketika menjadi pengajar di sebuah SMP di daerah Jimbaran. Karna begitu dekat denganku, justru malah membuatnya semakin sulit untuk diperankan.
Tubuhku yang kaku juga menjadi salah satu penghalang. Seakan memaksa tubuh yang mati ini bereinkarnasi menjadi sang guru. Sangat sulit membiasakan diri untuk bergerak, terutama untukku yang terbiasa di belakang layar.
Di awal proses aku dan teman-teman di Komunitas Senja berdiskusi untuk pola latihan kami. Bukan hanya aku tapi beberapa kawan yang lama atau tak pernah berada di atas panggung pasti memiliki masalah yang sama, yaitu tubuh dan ekspresi yang tidak terbiasa.
Beberapa kali kawan kami Aguk memberikan pengalamannya tentang latihan gerak guna membuat tubuh mengingat gerakan. Beberapa kawan yang lain juga memberi ide dan pengalaman mereka. Bisa aku rasakan proses yang dibilang sulit. Banyak rekan kami yang harus lepas tapi ada pula yang datang.
Beberapa kali ekspresiku mati, sulit menggerakkan otot-otot wajah yang tegang akibat terbiasa di depan layar computer. Lebih mudah untuk melihat tapi merasakan sendiri itu beda cerita. Terkadang pikiranku melayang ke masa lalu ketika menjadi pengajar. Memarahi murid dan dimarahi atasan menjadi pedomanku untuk mengembalikan ekspresiku yang mati. Bercengkarama bersama lawan main juga mengolah indra perasaanku. Membuatku lebih baik dalam berbicara pada orang lain. Mungkin semacam rehabilitasi ekspresi untukku.
Karena dibandingkan yang lain, diriku sangat buruk dalam bersosialisasi. Sangat berdampak pada peran yang kumainkan. Perubahan ekspresi yang signifikan membuat susana cerita tak tersampaikan. Beruntung masukan-masukan banyak berdatangan. Mulai dari pengaturan nafas dan kuncian pada bagian tubuh berpengaruh pada emosi natural yang dihasilkan.
Yaa, mungkin terasa gatal untuk membaca bisikan-bisikanku yang hanya membicarakan diri sendiri. Tapi sungguh banyak doa yang aku sematkan untuk kawan-kawanku yang sudah membantu. Tak pernah terpikir bahwa ikut berkecimpung dalam drama bisa membuatku lebih baik dalam hidup. Siapa yang sangka tubuh dan ekspresi kita bisa merekam semua tindakan yang sudah terjadi. [T]