“Beli es buah, Jas…! Gorengan, agar-agar, kolak jangan lupa… oh ya, kemarin di stand itu katanya lagi buka menu baru, lagi diskon juga…. dan bla…bla… bla…”
Cerewet memang! Semua ingin dibeli. Semua ingin kita makan ketika menjelang buka puasa. Kenapa kita tiba-tiba bisa serakus itu? Ini menggambarkan situasi puasa sekarang tampak sudah bergeser dari kewajiban ibadah menjadi bagian dari ritual (mungkin sudah menjadi kebiasaan) konsumsi budaya massa yang tampak kapitalistik.
Di bulan-bulan selain Bulan Puasa, biasanya makanan atau minuman satu jenis saja sudah cukup. Akan tetapi, pada saat Bulan Puasa, tampaknya kita telah menjadi orang yang paling kapitalistik—dan juga rakus—: buka puasa pakai kolak, es buah, dan bermacam-macam takjil lainnya, setelah itu makan nasi dengan bermacam-macam lauk; mulai dari ayam geprek, ayam tempong, ayam setan, ayam iblis, sate ayam sampai ayam tiren.
Akibatnya, rasa malas untuk salat Tarawih menyerang. Dengan sangat terpaksa berangkat salat Tarawih, sebab merasa tidak enak dengan yang lain. Setelah selesai Tarawih, sedikit baca Alquran, banyak ngemilnya. Kemudian, sahur banyak-banyak biar siang kuat berpuasa. Menjelang imsak, masih sempat minum obat lambung supaya tidak terserang maag dan minum vitamin agar tidak lelah seharian.
Begitulah, alih-alih menahan nafsu untuk tidak berlebih-lebihan, atau ikut merasakan sekaligus melatih empati kepada orang miskin dengan ikut merasakan lapar seperti mereka—seperti yang sudah dituliskan oleh Mumu Aloha dalam esainya yang berjudul ‘Puasa adalah Kesunyian Masing-Masing’—, yang ada puasa justru membuat kita semakin lupa bagaimana rasanya lapar.
Seorang teman mengirimi saya sebuah pesan wasap: “Sepertinya, Bulan Puasa kali ini banyak yang berubah”. Saya agak kaget membaca pesan teman saya tadi. Lama saya termenung. Benarkah Bulan Puasa sudah berubah? Atau jangan-jangan, kita saja yang berubah? Yang sebenarnya puasa itu menahan, justru tampaknya kita malah ugal-ugalan?
Ya, ibadah puasa memang tentang ‘menahan’. Menahan segala sesuatu yang berkaitan dengan nafsu/ego. Bukan hanya mulutnya saja yang ditahan, melainkan juga dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang kemaluan, dan satu lubang dubur. Leluhur kuno menyebut laku menahan ini sebagai laku Mesu Budhi Babahan Hawa Sanga.
Dan puasa adalah laku paling rahasia. Laku untuk menemukan diri—yang oleh Sunan Kalijaga diibaratkan dengan “penekno blimbing kuwi”. Puasa adalah jalan pribadi untuk menuju Tuhan, bukan jalan umum. Puasa adalah ibadah rahasia dan paling mesra dari seorang hanya kepada Gustinya.
Lantas, kenapa kita malah menjalankan ibadah puasa dengan ingar bingar? Ugal-ugalan? Foya-foya? Kedamaian yang terlah berganti dengan keberisikan yang tak bisa terbendung—dan kita larut, hanyut, menyerah pada keadaan?
Tampaknya memang bukan Bulan Puasa yang berubah, kita sendirilah yang berubah. Kita berubah menjadi orang yang rakus—padahal salah satu esensi dari puasa adalah melatih berempati pada orang miskin dan ikut merasakan rasa lapar. Puasa tampaknya telah membuat kita kalap dan gelap mata, mengumpulkan semua makanan dari seisi dunia di atas meja sejak pukul lima.
“Walah, nggak usah munafik, kaya kamu nggak aja,” komentar salah seorang teman kepada saya. Ya, pada akhirnya, kita kembali pada klise tentang hidup, bahwa ini adalah tentang pilihan masing-masing. Kita bisa memilih menjalani puasa sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Silakan, itu hak kita masing-masing. Akan tetapi, yang berhak menentukan puasa kita diterima atau tidak, berhasil atau tidak, lulus atau tidak, hanya Tuhan, bukan yang lain. Dan biarkan Tuhan juga yang menilai, bahwa kita ini termasuk orang yang rakus terhadap dunia atau tidak.
***
“Jas, jadi beli es bikinannya Kohati apa nggak?” tanyanya, sambil membawa berbungkus-bungkus takjil. [T]