“Orang mati, bukanlah karena sungai yang deras dan punya jeram-jeram terjal atau pesawat terbang dalam sekapan badai, orang mati karena sebuah hukum kekekalan energi yang eksak. Cuma, memang cara mati orang yang beranekaragam, biasa, tragis atau mengerikan. Kematian, menjadi disegani berkat rasa takut kita yang telah menjadi-jadi.” (Merayakan Ingatan, Mahima 2019)
Publik hari ini diributkan oleh laporan-laporan kematian petugas yang bekerja untuk pemilu serentak hingga merenggut ratusan jiwa anak bangsa. Banyak hal yang menjadi aspek perdebatan. Seakan-akan tragedi ini bukan sebuah keadaan yang masuk akal, mengingat begitu banyaknya korban jiwa. Perspektif politis pun tak pernah betul-betul bisa ditanggalkan hingga peristiwa ini dikaitkan dengan satu upaya delegitimasi penyelenggara pemilu oleh segelintir oknum.
Namun secara kwalitatif isu akhirnya mengerucut pada sebuah diskusi, adakah kelelahan dapat menyebabkan kematian?
Di negeri yang banyak “orang pintar” ini, segala hal dapat dibuat menjadi ramai, dan itu sah-sah saja. Meski kemudian terkesan konyol. Setera dengan kepongahan saat menyangsikan bahkan menuduh quick count sebagai sebuah sihir sains! Ini hanya bisa terjadi saat sains yang begitu teknis dianalisis dari sudut pandang politik yang sedemikian pragmatis.
Adakah kelelahan dapat menyebabkan kematian? Salah seorang dokter, dalam sebuah talk show di stasiun televisi swasta, secara tegas mengatakan kelelahan itu sendiri bukanlah penyebab kematian langsung. Namun ia dapat menjadi pemicu kematian, pada mereka yang sebelumnya sudah memiliki dasar-dasar penyakit-penyakit fatal di dalam tubuhnya. Entah itu diketahui atau tidak, disadari atau tidak.
Penyakit-penyakit yang dimaksud adalah penyakit-penyakit metabolik antara lain, hipertensi, diabetes dan kolesterol. Atau penyakit-penyakit organ seperti jantung, paru, hati dan ginjal. Dokter ini menegaskan, hanya dengan adanya latar belakang penyakit-penyakit tersebut pada seseorang yang lalu oleh karena satu kelelahan dapat menimbulkan kematian. Artinya, cuma kelelahan semata takkan dapat membunuh seseorang, seekstrim apapun kelelahan itu. Betulkah?
Taruhlah satu contoh, seorang pemuda sesuai hasil tes kesehatannya, ia dinyatakan sehat. Lalu, ia diminta bekerja, ambil contoh memotong rumput dengan mesin rumput, seminggu penuh tanpa istirahat. Akan tetap hidupkah ia? Overwork Death adalah terminologi resmi yang digunakan oleh Medical Subject Heading (MeSH).
MeSH sejak 1980 juga menggunakan istilah Karoshi-Death, terminologi yang berasal dari bahasa Jepang untuk menyebutkan kasus kematian akibat kelelahan kerja. Karoshi pertama kali digunakan untuk menjelaskan kasus kematian kerja yang terjadi di tahun 1969 menimpa gadis pekerja di Jepang berusia 29 tahun yang mengalami long working hours selama 56 jam nonstop (Nishiyama & Johnson, 1997).
Jurnal BMC Medicine, 2016, dalam artikelnya, Fatique is associated with excess mortality in the general population : result from the EPIC-Norflok study, menyimpulkan, tingkat kelelahan ekstrim berhubungan dengan tingkat kematian di dalam populasi umum. Jadi bukan hanya pada populasi yang memiliki faktor risiko atau latar belakang penyakit metabolik atau penyakit organ vital.
Namun demikian, temuan ini pun mengingatkan kita untuk meneliti lebih jauh individu-individu yang tampak sehat tak ada keluhan apapun. Karena mungkin saja yang bersangkutan membawa potensi masalah medis yang tersembunyi namun dapat manifes jika dipicu oleh suatu kelelahan yang ekstrim.
Secara fisiologis, aktivitas fisik yang berat dan terus-menerus, akan memacu kerja jantung yang berlebihan lalu membuat tubuh mengeluarkan lebih banyak hormon steroid (stres hormon) sebagai satu mekanisme kompensasi. Satu keadaan yang juga terjadi jika tubuh mengalami infeksi atau radang yang berat. Namun demikian, apabila mekanisme kompensasi itu telah melampaui batas kemampuan maksimal tubuh, ia akan jatuh pada keadaan dekompensasi atau failure. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya kadar gula dalam darah sebagai bahan baku energi. Lalu dibongkarlah cadangan energi yang tersimpan dalam lemak & protein tubuh.
Ekses dari peristiwa ini adalah menumpuknya limbah ikutan dari pembentukan energi tadi menyebabkan keasaman darah meningkat. Keadaan ini sangat buruk, ia dapat meracuni tubuh secara sitemik. Otak & otot jantung yang menjadi tumpuan tubuh untuk hidup justru menerima dampak yang paling cepat & kuat, maka kematian mendadak mudah saja terjadi.
Kerja marathon KPPS telah dimulai dari lima hari sebelum hari H hingga tiga hari pasca pemilu, dengan kesempatan tidur yang sangat minim. Jadi wajar saja jika mereka mengalami satu tingkat kelelahan yang ekstrim. Maka terjadinya hal-hal yang mengagetkan, adanya kematian-kematian mendadak di antara para korban pun dapat dipahami. Masalah mereka bukanlah hanya pada beban fisik yang sangat berat. Namun juga pada stres psikis yang sangat menekan, menyebabkan stimulasi berlebihan sistem hormon simpatis. Dampaknya adalah beban kerja jantung yang kian meningkat, pembuluh darah yang kian menyempit hingga memberi risiko kegagalan fungsi sistem sirkulasi darah dalam tubuh yang tiba-tiba.
Demikianlah kemungkinan yang telah terjadi pada anak-anak negeri yang gugur dalam perhelatan demokrasi terbesar sepanjang sejarah ini. Peristiwa ini telah memberi pelajaran berharga yang patut membuat kita tertunduk dalam nafas yang sesak untuk memikirkan pola pemilu yang lebih sehat. Bukan menjadikannya medan pertempuran yang baru untuk sesama anak bangsa beradu pendapat dalam kepentingan politik yang tamak tak berkesudahan. [T]
BACA JUGA KOLOM DOKTER YANG INI:
- Acintya
- Nyepi: Terapi Kesehatan
- Pasien, Guru yang Sempurna
- Dokter dan Sepotong Filsafat
- Dokter & Dukun, Tujuan Sama, Satu Naik Heli, Satu Naik Boat, Tidaklah Bertabrakan…
- Hantu itu Bernama Ateisme
- Seks: Barang & Gaya Itu-itu Saja, Yang Rumit adalah Persepsinya
- Ideologi, Demokrasi & Kesehatan Bangsa
- Musuh Dokter itu Bernama Keseriusan
- Evolusi Pasca Darwin
- Belajar dari Tubuh
- Sudah Jelas, Penyebab Stoke adalah Nasib
- Dokter, Profesi Paling Lucu
- Pemilu, Politik & Stres
- Biaya Kesehatan Harus Dibikin Semahal-mahalnya
- Diabetes yang Menghentikan Kita, Atau Kita yang Menghentikan Diabetes
- Bulan, Menelitinya atau Mengaguminya, Keduanya adalah Ibadah
- Pendidikan & Keutuhan Bangsa
- Puasa & Kesehatan