RASULULLAH SAW bersabda : “Malam itu panjang, maka jangan kau pendekkan ia dengan tidurmu. Siang itu terang, maka jangan kau gelapkan ia dengan dosa-dosamu”.
Membaca kumpulan syair-syair berjudul “Laila Kau Biarakan Aku Majnun” karya penyair Kambali Zutas, saya dibawa untuk menemui perenungan, memegang ketakutan, dan menghancurkan pertanyaan-pertanyaan. Syair yang ditulis dalam rentang waktu 2015 hingga 2018 memaksa saya untuk mengutip Sabda Rasullah di atas.
Bagaimana tidak? Di sudut-sudut syairnya kental sekali dengan dunia lakon keseharian seorang hampa kepada Tuhannya. Di samping itu kata-kata menetes dan sangat lekat dengan ritus keagamaan terutama Islam. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penulisnya yang telah akrab dengan dunia pesantren.
“Dalam kesunyian ku sebut nama, dalam kehampaan ku undang, dalam kepedihan ku harapkan begitu syahdu, dalam ratapan ku bersimpuh, dalam malam aku menghamba”. (Risalah Seorang Hamba;Hal 10)
Esai ulasan karya Taufikur Rahman Al Habsyi ini akan disampaikan dalam acara Bedah Buku “Laila Kau Biarkan Aku Majnun” dan Buka Puasa Bersama di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali, Sabtu, 11 Mei 2019 pukul 15.00 Wita
Lagi-lagi seorang Kambali Zutas melalui syairnya menggambarkan kepada saya ada keteguhan dari hati seorang hamba untuk meraih keikhlasan hidup, menyemai ketentraman jiwa, mengusir kekhawatiran sekaligus lebih dekat kepada Dzat yang maha, Tuhan Semesta Alam.
Selain itu, kata “Malam, dini hari, kesunyian, dingin, embun, sayap-sayap malaikat mengepak” merupakan penggugah jiwa-jiwa untuk beribadah sebagai pembuktian bahwa hati kita tunduk kepada yang Esa. Bangun pada saat orang lain tertidur, bersujud pada saat orang lain terlentang, munajat pada saat orang lain mendengkur. Semisal “Ash shalaatu khairun minan naum” yang artinya “Shalat itu lebih baik dari pada tidur”
Sebagai seorang muslim kata itu sangat familier saat adzan subuh dikumandangkan dilangit-langit. Allah menginginkan kita agar segera bangun, mengambil air wudhu, dan mengerjakan shalat subuh berjamaah. Karena ada keistimewaan berlimpah yang Allah curahkan pada waktu subuh. Shalat di mana nilainya jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Seperti yang dikutip dari Hadist Riwayat Muslim dan Ahmad “Dua rakaat shalat subuh, lebih baik daripada dunia dan seisinya”
Khazanah tarikh (Sejarah) Islam
“Jibril, Mikail, Izrail, israfil, Raqib, Atiq, Ibrahim, Namrud, Abrahah. Nama-nama yang sedari kecil bagi seorang muslim telah ditanamkan atau diajarkan baik sebagai peringatan, pembelajaran, sehingga membuat saya ditarik untuk menyelami keislaman. Mengulas kembali memori dan mengasah hati bahwa jalan terbaik meneguhkan keimanan salah satunya adalah belajar kepada kejadian yang telah dilukiskan dalam Al-Qur`an. Salah satunya peristiwa yang jamak dikenal, khususnya di Negara-negera berpenduduk mayoritas muslim, ialah hari lahir Nabi Muhammad, pemimpin yang dijuluki Al- Amin(dapat dipercaya) di Mekkah. Pada 571 M—sekitar 1446 tahun yang lalu.
Tahun itu disebut “Tahun Gajah”. Sebutan ini bukan tanpa alasan. Kala itu, raja vassal Ethiopia di Yaman, Abrahah, menyerang Mekkah dengan pasukan gajah. Peristiwa tersebut diabadikan dalam Al-Qur`an surah Al-Fil. Diceritakan pasukana Abrahah yang memasuki kota Mekkah dihujani batu yang dilempar burung ababil. Pasukan Abrahah luluh lantak. Ia kalah, Mekkah pun selamat. (Serban Ababil Hal;64).
Wartawan
Kita ketahui bahwa Kambali Zutas adalah seorang Jurnalis, mewartakan sebuah kejadian atau peristiwa menjadi pekerjaannya sehari-hari. Namun, membaca syairnya yang berjudul “Bocah Kecil Itu Bernama Engeline”. (Hal;112). Saya membayangkan bahwa syair itu mula-mulanya adalah sebuah berita yang kemudian disusun menjadi syair oleh penyair. Alih gaya penyampaian sebuah berita yang dibalut dengan diksi-diksi yang begitu sederhana tetapi tidak mengurangi esensi kedunya (baca;syair dan berita).
“Bocah kecil itu bernama Engeline. Tepat di bawah pohon di belakang rumah. Bersebelahan dengan kandang ayam. Ia ditemukan dikubur bersama boneka. Sungguh biadab. Itulah terucap. Keji. Bocah cantik itu tak berdosa dianiaya.
Bocah kecil itu bernama Engeline. Ia telah pergi. Malaikat kecil kami. (Hal;112).
Dialog
Sabagai penikmat puisi atau syair saya tidak pernah belajar tentang teori-teori ataupun tata cara menyusun sebuah kata, menjadi kalimat, larik-larik, sampai pada akhirnya bisa dinikmati. Kambali Zutas menawarkan kepada pembacanya untuk berdialog dengan sajian ringan namun syarat penuh makna.
Siang sebelum hujan. Dia menyapa lalu bertanya.
“Takdir sebenarnya bukan masalah kesempatan, tetapi pilihan. Takdir bukan harus ditunggu, tetapi takdir haruslah diraih.”
Lalu terjadilah dialog.
“Betul, takdir ada dua. Ada yang sudah tidak bisa dirubah, dan ada yang bisa diubah dengan kemauan sendiri. Intinya begini, Tuhan tidak mengubah suatu kaum, apabila kaum itu tidak mengubah sendiri,” kataku.(Hal;92).
Salah satu Sunnahtullah yang berjalan di bumi ini adalah Allah tidak akan merubah kondisi seseorang, kelompok ataupun masyarakat sebelum ada perubahan dari dalam diri sendiri. Maka dialog diatas selaras dengan “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra`a:11).
Sederhananya, perubahan kawan, pemimpin, ataupun lingkungan tidak akan merubah seseorang jika tidak ada niatan dari dirinya sendiri.
Rima
Kambali Zutas dalam bukunya ini menawarkan paket komplit. Selain saya dibawa ke petualangan relegi, sosiologis, dan interaksi dengan alam. Kali ini, keindahan bunyi yang disusun oleh rima yang sempurna diracik utuh dari awal sampai akhir.
Gaduh
Gaduh
Suasana di langit ketujuh
Abdi dalem mengaduh
Lalu mengeluh
Suara-suara buruh
Meronta-ronta pembuluh tubuh
Mereka tidak mau mati apalagi di bunuh
Anak istri dan cucu-cucu mereke terenyuh
Gaduh
Seluruh jalan jauh telah rapuh
Apalagi tangan nasib mereka tak tersentuh
Tak tampak berapa yang sudah terjatuh
Mungkin satu dua atau berpuluh-puluh
Gaduh
Mereka ingin sekali memiliki tempat berteduh
Bukan malah sebagai yang tertuduh
Mereka selalu bersikukuh
Mereka sungguh ingin membuat keruh
Lalu selalu bergemuruh
Hingga waktu menjelang subuh
Gaduh
Tak ada lagi kitab suci menjadi suluh
Bahkan tak ada teluh
Tongkat diri yang teguh
Bangkit setelah terbunuh
Mereka mengayuh
Lalu tumbuh
Langit kembali teduh
2015
NB : Untuk syair yang terakhir: saya sengaja mengutip secara utuh. Karena hati saya tersentuh, kata-katanya sangat ampuh, sebagai pembaca dibuatnya luluh. I Lope Yuh! [T]
BACA JUGA: Buku Puisi “Laila Kau Biarkan Aku Majnun”: Peristiwa dan Kenangan Tak Senilai Berita