Suatu hari tubuh tua pemangku rumah ibadah (pura) dipinjam Beliau yang dipuja di sana. Lalu memberi pawarah-warah (ajaran, tuntunan, petunjuk). Berdasar rekaman pawarah-warah itu lontar ini ditulis. Isinya dibuat seperti layaknya Dewa turun dari langit dan memberikan petunjuk.
Mereka yang membaca, jika tidak detail mengetahui sejarah penulisan pawarah-warah ini, kelak akan penuh tanya: Benarkah Dewa turun memberi petunjuk? Jawabannya: Benar.
Tapi perlu dijelaskan bahwa Dewa turun dengan “meminjam” tubuh Pemangku. Pemangku tubuhnya dikuasai energi, kesurupan Dewa, bukan kesurupan kala atau bhuta, bukan kesurupan jin atau hantu. Ketika itulah ajaran atau petunjuk diturunkan. Lalu direkam dalam bentuk tulisan lontar, yang penulisannya menunjukkan seolah-olah Dewa turun langsung ke bumi. Padahal lewat proses melingse (kesurupan Dewa).
Di Bali lontar tentang Pura atau babad keluarga banyak berisi pawarah-warah leluhur atau Dewa. Penulisannya kurang lebih prosesnya seperti ini. Kalau tidak melingse juga bisa lewat katedunan dan atau baas pipis (petunjuk leluhur lewat perantara medium orang pintar atau balian matuhun, orang terpilih yang dipercaya bisa menurunkan ruh leluhur dan berkomunikasi langsung dengan alam ruh leluhur).
Disamping pawarah-warah, ada pula lontar aji atau kawisesan yang ditulis setelah mendapat “petunjuk batin” dari para penuntun batin di alam lain. Bhisama atau pangeling-eling beberapa bisa disinyalir dengan proses sama, dari para leluhur yang stana di Pulau Bali, yang diturunkan lewat proses melingse atau pawisik. [T]
Catatan Harian 1 Mei 2019⠀