Puluhan manuskrip lontar dibuka dan digelar di atas meja Kantor Staf Khusus Presiden Republik Indonesia. Kegiatan ini berlangsung Kamis 25 April lalu, sore sampai malam hari, ketika ruang-ruang lain di kantor komplek Istana Presiden mulai tutup.
Puluhan lontar tersebut dibahas dan diskusikan, dengan diselang-selingi pembacaan tembang ‘kakawin’.
Kenapa lontar menjadi topik diskusi menarik di Kantor Staf Khusus Presiden RI?
Ari Dwipayana, Staf Khusus Presiden RI bidang politik dan pemerintahan, menjelaskan bagaimana manuskrip menjadi bagian yang terpisahkan dalam sejarah kuno Nusantara yang menjadi akar terbentuknya negara Indonesia. Awal-mula keberaksaraan di Nusantara sangatlah panjang. Hal ini bisa dilihat dari temuan prasasti dan naskah kuno lainnya.
Ditegaskan pula, bahwa lontar merupakan bagian dari manuskrip Indonesia yang menjadi objek pemajuan kebudayaan yang riciannya disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pasal 5 UU Pemanjuan Kebudayaan menyebutkan 10 objek Pemajuan Kebudayaan meliputi:
a.tradisi lisan;
b.manuskrip;
c.adat istiadat;
d.ritus;
e.pengetahuan tradisional;
f.teknologi tradisional;
g.seni;
h.bahasa;
i.permainan rakyat; dan
j.olahraga tradisional.
UU ini memberi penjelasan yang dimaksud sebagai “manuskrip” adalah naskah beserta segala informasi yang terkandung di dalamnya, yang memiliki nilai budaya dan sejarah, antara lain, serat, babad, hikayat, dan kitab.
Sugi Lanus, pendiri Hanacaraka Society, yang membawa puluhan koleksi manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno, menyampaikan bahwa tradisi tulis atau literasi telah terekam pada relief Borobudur. Pembacaan manuskrip lontar demikian jelas dalam relief Borobobudur dan berbagai candi yang berdiri semenjak abad VIII, atau sekitar tahun 700-an masehi.
Disamping memberikan beberapa catatan bagaimana strategi merawat legasi dan proses pewarisan pemikiran leluhur yang terkandung dalam berbagai manuskrip Nusantara untuk memperteguh identitas kebangsaan, nilai-nilai gotong royong dan kesatuan bangsa, Ari Dwipayana menyoroti makin senyap dan memudarnya pewarisan pengobatan tradisional yang sangat penting dalam pengembangan kesehatan masa depan yang bersumber pada manuskrip kesehatan herbal Nusantara.
Ia menilai manuskrip kesehatan herbal Nusantara bisa menjadi potensi besar dalam pengembangan kesehatan masyarakat di tengah serbuan obat kimia yang menggusur obat-obatan lokal berbasis herbal di Nusantara.
Sukardi Rinakit, Staf Khusus Presiden RI bidang politik dan pers, yang sehari-hari mengemban tugas membuat pidato terkait politik, kebudayaan dan pers, ternyata mahir nembang Jawa dan fasih membahas berbagai isi manuskrip babad. Ia mengutip sebuah tembang, lalu mengarisbawahi bagaimana bangsa Indonesia bisa belajar dari berbagai manuskrip Nusantara yang mencatat dan mengabadikan banyak peristiwa-peristiwa sejarah penting Nusantara.
Sejarah kerajaan di Nusantara banyak mengalami jatuh-bangun dan punya catatan kearifan rekonsiliasi politik yang penting kita pelajari. Ia memberi contoh pembentukan kerajaan-kerajaan di Jawa, dan berbagai peristiwa politik penting yang bisa menjadi renungan mendalam bagi kita semua. Dengan mengutip dan menembangkan tembang Ramayana Jawa, ia mengungkapkan kekagumannya pada sastra tembang yang secara simbolik, terus tetap dihayati dan bertumbuh sebagai ciri penanda vitalitas estetika Jawa yang tak pernah padam.
Diskusi malam di sudut istana tersebut, disamping diikuti staf-staf internal di kantor Staf Khusus Presiden, mengundang pula I Gede GP Arsaputra (Ketua Aliansi Peduli Bahasa Bali), IB Ari Wijaya (pegiat pelestarian manuskrip Bali dan Penyuluh Bahasa Bali), Suka Ardiasa (mantan Koordinator Penyuluh Provinsi Bali dan pegiatan pelestarian manuskrip); bergiliran membacakan dan menembangkan lontar-lontar yang digelar di meja diskusi malam itu.
Acara diskusi ditutup dengan pembacaan Kakawin Sutasoma, yang berisi kutipan “Bhinneka Tunggal Ika”, ditembangkan oleh Carma Citrawati, Program Manager Hanacaraka Society, yang turut hadir dalam acara tersebut. [T] [*]