Tahun ini adalah tahun pertama adik saya mencoblos. Sebagai pemilih pemula, tentu saja ada semacam perasaan yang belum ternamakan sebelumnya. Itu pasti terjadi dan sedang melanda adik saya waktu itu.
Saya mendapat kabar dari adik, tentang bagaimana suasana guyup di tempat pencoblosan. Tidak ada kesan formal, kaku, maupun ketegangan sekecil apapun. Malahan yang ada, kata adik, suasana guyup langsung terasa. Tentu saja, para petugas TPS yang pada dasarnya memang tetangga-tetangga kami, menyambut dengan ramah, penuh canda. Pemilih tidak perlu menunjukkan KTP, hanya menyerahkan surat undangan, dan tentu tidak ada nomor antrean. Setelah menunggu beberapa menit, nama-nama pemilih dipanggil satu per satu.
Sedangkan saya sendiri, waktu pencoblosan, saya sedang kemah di kawasan hutan Bendungan Gerokgak. Saya golput? Tidak! Saya netral. Hehe
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Di hutan, saya sedang menikmati alam bebas; gemericik air sungai, embusan angin, siulan burung-burung, dan kenyamanan-kenyamanan yang tak terdefinisikan sebelumnya. Dalam bayangan saya, setelah pencoblosan selesai, dan hasil quick count telah diumumkan, kontestan yang dinyatakan “menang” akan membuat penyataan, dan kontestan yang kalah akan memberi selamat. Sesederhana itu bayangan saya.
Namun, yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba waktu seperti bergerak ke belakang. Apa yang pernah terjadi pada Pemilu 2014 terulang kembali, dan cerita selanjutnya, tentu pemirsa sudah mengetahui semuanya. Suasana damai yang saya bayangkan ketika di hutan, tenyata hanya tinggal impian. Prediksi tentang turunnya populasi cebong-kampret, ternyata hanya ilusi belaka.
Situasi semakin kacau—dan mungkin lebih kacau.
***
Saya melihat, hidup manusia sekarang ini, rata-rata seperti didominasi oleh segala sesuatu yang bersifat serba tahayul, maya, palsu, serba fatamorgana, khayalan, plastis, semu, dangkal, dan virtual. Kemudian dari fatamorgana itu manusia mencoba mengenali dan tidak sedikit yang malah menceburkan diri sekalian ke dalamnya.
Kekisruhan-kekisruhan yang terjadi, sepertinya kebanyakan lahir dari dunia yang palsu, semu, dan maya itu.
Di kampung saya—yang iklimnya tradisional, cenderung agraris, dengan kebiasaan yang ‘kampungan’ dan natural, di mana masih banyak dari mereka yang masih beradab, masih kenal dengan alam, dan masih menjalankan hidup demi keseimbangan—sedikit demi sedikit mulai terjebak oleh zaman ini.
Sekarang pelan-pelan, kehancuran kelompok tradisional itu mulai digerogoti oleh zaman, genitnya kemajuan, kalah dengan uang, mulai memuja materi, tak berdaya pada silaunya dunia, saling berkelahi merebutkan dunia dengan dalih kepentingan akhirat, menghamba dan rendah diri terhadap kota, dan minder terhadap derap kemajuan teknologi dan industri.
Manusia terjebak ke dalam masyarakat yang seperti itu. Lantas mereka mengikuti tanpa bersikap dan berpikir konsekuensinya—sedangkan “hidup ini penuh dengan perhitungan yang matang. Terutama apa untung ruginya untuk diriku sendiri” begitu kata Seno Gumira. Mereka menjadi ikut-ikutan genit. Beberapa dari mereka yang sadar, memaksa diri demi mencari tahu ada apa di balik semua gejala kelinglungan pada masyarakat virtual ini.
Dan mereka menjadi sibuk dengan fesbuk. Sibuk membuat status, tak sedikit juga berkelahi di sana, membalas komentar dan pesan, melihat foto-foto profil cewek-cewek/cowok-cowok, dan sibuk memasang foto profil terbaik. Kemudian, misteri menguap, mereka jarang merenung, dan mereka tak lebih dari orang kebanyakan; latah tak berkutik menghadapi kegenitan zaman.
Jebakan zaman ini mampu membikin mental mereka dalam keadaan yang terombang-ambing. Menjadi takut untuk hidup. Tidak siap dengan semua gejala. Tidak waspada, tidak awas, tidak tanggap, tidak visioner, dan jauh dari ke dalaman!
Di mana-mana tidak ada lagi tempat bagi ke dalaman; tidak ada lagi ruang untuk berpikir serius; tidak ada lagi orang-orang yang menghamba pada kesejatian. Sedangkan mereka yang mencoba menarik diri dari kekisruhan ini, akan terbuang, dianggap aneh, tersingkirkan dan sunyi.
Orang-orang akar rumput baku hantam, saling tuding-menuding, kalap oleh konspirasi, adu domba oleh para elit. Sedangkan mereka—para elit itu—sedang membangun kesepakatan untuk menyukseskan proyek mereka masing-masing, mempertahankan saham mereka masing-masing agar tetap stabil.
Apalagi badai Pemilu belum berlalu. [T]