Seseorang menulis pesan. Isinya begini, “Bijaksanalah dengan pikiran, kecerdasan membuatnya terobsesi kecurigaan, jangankan pada cahaya dan bayang yang tertangkap mata, dan mata hati, bahkan ia juga curiga pada bayangannya sendiri. Buatlah pikiran jadi bijak, berpijak pada tempatnya, menerima tanpa terlena”.
Pesan itu membuat saya tertegun dan tidak berhenti memikirkan maksudnya. Seperti biasa, hasil dari memikir-mikirkan, bukanlah jawaban yang datang tapi pertanyaan. Apakah pikiran selalu menghasilkan kecurigaan? Jika iya, mengapa demikian?
Pertanyaan semacam itu wajar saja bisa lahir. Bahkan ada banyak pertanyaan yang bisa dilahirkan dari satu objek saja. Tugas selanjutnya adalah mencari dan menemukan jawaban. Yang namanya jawaban tidak datang begitu saja. Dia mesti diawali dengan pencarian. Maka mari kita mulai mencari jawaban atas pertanyan tadi.
Tentang pikiran, ada banyak pustaka-pustaka lontar yang memuatnya. Ada yang menulisnya sebagai pikiran, ada juga yang menganalogikannya dengan benda lain. Mpu Tanakung menganalogikan pikiran seperti telaga yang di dalamnya terdapat lingga. Ada juga yang menganalogikannya dengan danau yang lebih besar. Ada juga yang menganalogikan pikiran seperti lautan yang bergejolak. Jadi sejauh ini ada tiga analogi pikiran: telaga, danau dan lautan.
Selain tiga hal tadi, ada lagi analogi pikiran yang bisa ditemukan dalam satu bagian dari kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa yang terkenal itu. Mpu Kanwa mengibaratkan pikiran seperti air di dalam gentong. Hanya dalam gentong yang airnya jernih bayangan bulan akan terlihat. Jadi ada empat analogi pikiran yaitu telaga, danau, lautan dan air dalam gentong. Keempatnya meski terlihat berbeda, sesungguhnya memiliki persamaan. Persamaan keempatnya adalah air. Singkatnya, pikiran diibaratkan seperti air.
Ungkapan seperti itu, tidak hanya terdapat dalam pustaka-pustaka kuno. Konsep pikiran yang seperti air, ada juga dalam peribahasa “seperti air di atas daun talas”. Yang artinya kurang lebih adalah tidak tetap pendirian. Apalah yang menyebabkan ketidaktetapan itu kecuali pikiran yang berubah-ubah. Gitu. Maka hati-hatilah pada pikiran! Orang boleh membayangkan masa depan dengan pikiran.
Ia juga boleh mengenang masa lalu dengan pikiran. Tapi kehidupan adalah yang terjadi sekarang, meski hidup yang sekarang itu selalu menjadi masalalu. Bagaimana membijaksanai hal ini?
Membijaksanai waktu, berarti ada tiga rangkaian waktu yang mesti dipahami betul-betul. Tiga rangkaian itu adalah masa lalu, masa depan dan masa kini. Tiga rangkaian itu juga disebut Tri Samaya. Ketiga aliran waktu ini memiliki Nyasa yang juga adalah sekaligus mantra. Mantra ketiga aliran waktu ini ada tiga dengan masing-masing tiga dewanya. Untuk lebih jelasnya, silahkan tanyakan pada yang tahu. Sebagai petunjuk, ketiga mantra itu konon bergerak dalam dua arah.
Waktu juga mengalir, jadi ia juga mirip dengan pikiran dan air. Karena waktu itu mengalir, jadi segala macam hal dilewati oleh waktu. Karena segalanya dilewati, maka segalanya ditelan oleh waktu. Ciri-ciri sesuatu ditelan waktu adalah perubahan. Dengan cara pandang seperti itu, kita bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda sama sekali. Contohnya adalah gunung yang konon tidak berpindah-pindah. Karena gunung tidak berpindah, maka ia disebut Acala.
Tidak berpindah, bukan berarti gunung tidak berubah. Sebab menurut suatu ajaran yang dapat ditelusuri sumbernya, konon segala yang berbentuk pastilah akan berubah. Itulah sebabnya, meski gunung yang terlihat tenang itu tidak berpindah, bukan berarti ia akan selalu diam. Sesekali ia akan meletus. Barangkali, bentuknya juga akan berubah. Perubahan bentuk gunung, bisa disebabkan bermacam-macam. Salah satunya adalah karena memang perubahannya alami. Salah duanya, karena manusia yang merubah atas dasar banyak kepentingan.
Kita tinggalkan dulu pembicaraan tentang gunung itu. Mari kita lanjutkan lagi tentang air dan pikiran. Karena pikiran adalah air, maka sifat-sifat pikiran bisa dibandingkan dengan air. Sifat air adalah mengalir. Oleh orang-orang bijaksana, yang mengalir itu disebutnya Saraswati. Mungkin itu sebabnya, ada aliran air sungai bernama Saraswati. Juga ada aliran pikiran berpengetahuan disebut dengan nama yang sama.
Yang namanya pikiran, bisa meresap dimana saja. Dia bisa ke kanan, dan ke kiri. Dia juga bisa ke depan dan belakang. Bahkan bisa juga ia ke atas dan ke bawah. Pikiran bisa meresap, karena ia sangat kecil. Pikiran juga sangat ringan. Saking ringannya dia bisa terbang kemana-mana. Bahkan dia bisa mengatasi segalanya yang berat-berat. Orang ada di kutub utara, pikirannya sudah di selatan.
Selalu begitu. Karena itulah, konon ada orang yang berusaha mengikat pikirannya. Caranya? Ya dengan tali berupa pikiran yang berpikir. Buktinya? Coba pikirkan satu titik di tengah-tengah dahi. Maka bagi pikiran yang sudah terlatih, ia akan memusatkan pikirannya pada titik itu. Bagi yang kurang berlatih, pikiran punya cara yang halus untuk mengubah titik pusat.
Sifat pikiran yang lain adalah sangat besar. Saking besarnya, ia bisa memenuhi segala ruang. Tidak ada ruang yang tidak terpenuhi olehnya. Konsekuensi dari hal itu, maka segala ruang yang ada di dunia ini dipenuhi oleh pikiran-pikiran. Sifat pikiran yang besar ini disebut Mahima. Berasal dari kata Maha yang berarti besar. Jika ada yang bernama Mahima, barangkali harapannya agar menjadi sangat besar.
Pikiran juga sangat cepat. Saking cepatnya, segala tempat dapat segera dicapainya. Sampai adalah nama lain dari prapta. Karena pikiran selalu cepat sampai, maka disebutlah dia dengan prapti. Pikiran juga adalah penguasa yang tidak bisa dilawan kehendaknya. Ia selalu dibayangkan seperti raja. Karena ia raja, maka segalanya diperintahkan olehnya. Mungkin ini sebabnya, dalam banyak sekali lontar-lontar, banyak yang menggunakan pikiran untuk memerintahkan sesuatu. Perintah-perintah itu, tidak hanya untuk memerintah tubuhnya sendiri. Tapi juga memerintahkan dewa-dewi, bhuta-bhuti, bhatara-bhatari, dan sebagainya.
CANGAK YANG LAIN:
- Swastyastu, Nama Saya Cangak
- Pemimpin dan Pandita
- Aturan Mati
- Muka Gua
- Siapa yang Tahu?
- Panduan Nyepi ala Cangak
- Kembali
- Yang Kita Cari Adalah Hening
- Siang Malam Berpikir Sendiri
- Teman Tidak Makan Teman
Pikiran juga disebut dengan Yang Utama. Ia disebut utama karena segala hal berasal dan akan kembali kepadanya. Apalah sebutan bagi asal dan tujuan selain yang utama? Karena konon, pelajaran tentang asal dan tujuan adalah pelajaran paling sulit sekaligus paling menarik. Tidak kurang orang berbondong-bondong belajar tentang asal sampai ke negeri seberang. Tidak sedikit pula orang yang ingin tahu tujuan sampai diam-diam mendiamkan dirinya.
Kemampuan pikiran untuk memerintahkan setidaknya dapat dibagi menjadi tiga. Pertama adalah kemampuan untuk menciptakan. Kedua kemampuan untuk memelihara. Ketiga adalah untuk melebur. Ketiganya adalah sifat-sifat dewa yang dikenal oleh kebanyakan orang. Jadi melebur adalah sifat dewa? Tentu saja!
Pikiran itu bisa juga dikuasai. Tentu dengan sadar. Jika pikiran sudah dikuasai dengan sadar, sulitlah hal-hal gaib berbalik menguasai pikiran. Sifat pikiran yang satu ini, sulit diceritakan dengan kata-kata. Karena tidak semua yang bisa dipikirkan bisa juga dikatakan. Tapi karena kata-kata, pikiran bisa berpikir.
Itu dia sifat-sifat pikiran yang sudah banyak diketahui oleh banyak orang. Karena banyaknya sifat pikiran, maka wajar ada yang berpesan agar membijaksanai pikiran sendiri. Sayangnya kecurigaan adalah salah satu akibat dari membijaksanai pikiran sendiri. Bijaksana saya artikan sebagai cara pandang berbeda. Cara pandang yang berbeda dimungkinkan jika orang banyak pengalamanan. Entah itu pengalaman hidup, entah itu pengalaman membaca. Pengalaman-pengalaman itu memungkinkan pikiran tetap terjaga agar sadar. Sadar adalah terjemahan dari kata Tutur dalam bahasa Jawa Kuna. Jika ada orang nutur barangkali maksudnya adalah menyadarkan.
Untuk mengetahui bagaimana kesadaran pikiran kita bekerja, dalam tulisan ini saya ajukan satu baris dari sebuah kakawin. Silahkan dibijaksanai. Ungkapannya begini: “Jika ada gentong sedikit airnya, maka air di dalamnya mudah berkecipak. Berbedalah jika air gentong itu penuh, dia akan tenang” [T]