Saya ini Cangak yang tidak bisa menghentikan pikiran.
Susah sekali pikiran itu dihentikan. Saat saya ingin diam, malah dia yang berlari kesana-kemari. Lebih kejam lagi, si pikiran yang selalu saya bayangkan seperti macan itu mengoyak-ngoyak tubuh tanpa belas kasihan.
Jika boeng Chairil Anwar bilang “mampus kau dikoyak-koyak sepi”, saya malah mati dikoyak pikiran sendiri. Akibatnya, saya selalu berpikir tanpa kenal waktu. Ada yang sama begini?
Berpikir adalah kegiatan mulia, karena dengan berpikir maka aku ada. Begitu konon menurut filsuf pikiran. Jika kata-kata itu dibalik, maka jadinya akan begini. “Agar Aku tiada, maka jangan berpikir!” Memangnya siapa yang ingin meniadakan dirinya?
Oh jangan salah, tidak semua manusia di dunia ini ingin berada. Ada juga yang ingin tiada! Maksudnya bukan meniada karena mati, tapi menyembunyikan keberadaannya.
Agak sulit memang untuk dijelaskan. Tapi serius, memang ada yang begitu. Salah satunya Ida Pedanda Made Sidemen. Beliau berkata “idep beline mangkin, makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin, guna dusun ne kanggo ring desa-desa”.
Kurang lebih terjemahannya begini “pikiranku kini, bersiap mayasa lacur, tiada miliki tanah sawah, tanah diri tanami, ilmu desa yang berguna di desa-desa.”
Bagian mayasa lacur tidak bisa saya terjemahkan dengan tepat. Itulah sebabnya saya biarkan begitu saja, agar dipikirkan oleh orang banyak. Oh iya, kata lacur dalam bahasa Bali bisa berarti miskin, juga bisa berarti mati. Ada beberapa kata kunci dalam geguritan Salampah Laku tadi: idep [pikiran], makinkin [bersiap-siap], dan mayasa lacur.
Ida Pedanda Made Sidemen, yang konon saat itu berumur 27 tahun, menyiapkan pikiran untuk mayasa lacur. Tapi lacur dalam arti yang manakah? Jika mayasa diibaratkan seperti perjalanan, maka lacur itulah tujuan. Lalu dimana asalnya? Bukankah asal dan tujuan adalah sejoli?
Jika tujuannya adalah miskin, bisa jadi asalnya adalah tidak miskin. Jika tujuannya adalah mati, maka asalnya adalah hidup. Hidup itulah keberadaan, mati itulah ketiadaan. Mati konon tidak usah dicari, karena mati sudah menyatu dengan manusia ketika baru lahir. Selain mati ada lagi yang menyatu, ia bernama suka, duka dan sakit. Jadi ada empat bekal manusia semasa hidup.
Jangan salah, yang tiap hari dirasakan oleh manusia bukan hanya suka duka. Manusia juga merasakan sakit tiap hari. Baru bangun terasa pegal, itu sakit. Duduk sebentar lalu keram, itu juga sakit. Di atas segalanya, ada sakit parah yang sulit diobati. Sakit itu bernama kebodohan. Lalu kapan manusia sehat? Mungkin kalau sudah tiada.
Sebelum benar-benar meniada, ada satu cara belajar untuk meniadakan diri. Pelajaran ini tidak ada kurikulumnya. Tapi tiap orang bisa melakukannya. Caranya adalah dengan bersembunyi. Kalau ada orang beramai-ramai ke laut, sembunyilah di gunung. Jika orang ramairamai ke gunung dan laut, sembunyilah di sungai. Jika orang ramai-ramai ke gunung, laut dan sungai, pergilah ke danau.
Jika orang ramai-ramai pergi ke semua tempat itu, maka sembunyilah pada diam. Jika orang ramai-ramai berdiam-diam, sembunyilah ke tempat gelap. Jika ke tempat gelap itu pula orang beramai-ramai maka sembunyilah dalam terang.
Ada beberapa sebutan untuk terang dalam bahasa Bali. Di antaranya adalah galang dan padang. Kata padang yang berarti terang, bisa dilihat pada kata galang apadang [terang benderang]. Jadi kalau di Bali ada tempat bernama padang, bisa jadi yang dimaksudnya bukanlah rumput tapi terang. Di Tabanan ada Pucak Padang Dawa. Di Pecatu ada pantai Padang-padang. Di Karangasem ada Padang Bai. Silahkan dicari lagi padang-padang yang lain.
Sebelum lupa, perlu juga saya katakan bahwa judul di atas itu adalah salah satu bagian dari geguritan Nengah Jimbaran karya Ida Cokorda Mantuk Ring Rana. Beliau adalah raja Badung yang melakukan puputan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Kata-kata “siang malam berpikir sendiri” membuat otak Cangak saya juga berpikir. Tapi tidak sama apa yang saya pikirkan dengan yang beliau pikirkan. Yang beliau pikirkan adalah “menjadi orang jaman sekarang”. Yang otak Cangak saya pikirkan adalah “menjadi Cangak jaman sekarang”.
Tentu saja berbeda, beliau adalah Raja sedangkan saya adalah Cangak. Perbedaan pikiran itu karena perbedaan visi-misi. Tapi perlu juga dipikirkan kembali, memangnya kenapa kalau “menjadi orang jaman sekarang?”. Jaman sekarang kan tidak perlu jalan kaki kalau ke Pura yang jaraknya 10 meter dari rumah. Cukup nyalakan mesin, dan gas. Sampailah di Pura.
Kata “sekarang” yang dimaksud Ida Cokorda Mantuk Ring Rana, tentulah tidak sama dengan kata “sekarang” yang kita maksudkan sekarang. Sekarang yang dimaksudkan Ida Cokorda adalah tahun 1903. Coba hitung, berapa selisih antara tahun 1903 dengan 2019. Selisih tahun itu menandakan maksud kata “sekarang” itu berbeda.
Perbedaannya adalah pada angka tahun. Barangkali ada yang sama, di tahun 1903 dengan 2019. Persamaannya adalah pada kegelisahan yang membuat kita berpikir-pikir siang dan malam. Penyebab rasa gelisah itu adalah kebodohan, ketidaktahuan. Kata Ida Cokorda “dari bodoh kuwatire”.
Ada banyak yang tidak kita tahu kan? Salah satu contoh hal yang tidak kita tahu dengan pasti adalah masa depan. Bagaimana masa depanmu nanti? Mungkin sekarang kita bisa menjawabnya dengan tenang, bahwa masa depan akan baik-baik saja.
Masa depan akan begitubegitu saja. Maksudnya, masa depan juga akan menjadi “sekarang”, lalu menjadi masa lalu. Yang kita sebut “sekarang” adalah masa depan di masa lalu. Yang kita maksudkan sekarang, adalah masa lalu di masa depan. Begitulah terus menerus, ada trilogi masa lalu-depan-sekarang.
CANGAK YANG LAIN:
- Swastyastu, Nama Saya Cangak
- Pemimpin dan Pandita
- Aturan Mati
- Muka Gua
- Siapa yang Tahu?
- Panduan Nyepi ala Cangak
- Kembali
- Yang Kita Cari Adalah Hening
Tentu saja saya sengaja tidak menulisnya linier pada pandangan umum. Orang akan mengatakan urutannya adalah masa lalu-sekarang-depan. Tapi jika belajar pada teks-teks kuna, urutannya tidak begitu. Urutannya adalah masa lalu-depan-sekarang. Bahasa kerennya atitanagata-wartamana.
Maka dari itulah, otak Cangak saya yang tidak berhenti berpikir ini selalu memikirmikirkan masa depan. Bagaimana jadinya nanti, jika telaga ini benar-benar kering? Bagaimana jadinya nanti nasib para ikan-ikan sodaraku? Bagaimana jadinya nanti bunga-bunga teratai yang mekar indah serupa kilau matamu?
Duhai sodara-sodaraku para ikan, pikirkanlah masa depan yang penuh kebahagiaan. Bayangkanlah suatu negara telaga yang maju, tempat anak cucu kita nanti hidup bersama. Mari mulai sekarang tunjukkan pada mereka, bahwa kita bisa menjadi leluhur yang menyediakan kebahagiaan bagi mereka. Jadi mari kita menyeberang!
Eitss… Tunggu dulu. Sebelum menyeberang, apa kalian bisa terbang? Jika tidak, mari saya bantu. Saya punya sayap yang kuat. Bisa menyeberangi tujuh samudera. Melewati tujuh langit. Membentang ke tujuh gunung. Dan yang paling penting, saya tahu kemana tujuan yang tepat.
Bukankah percuma punya sayap, jika tak tahu tujuan? Jadi pilihlah saya untuk mengentaskan penderitaan kalian sodara-sodaraku. Jika kalian sodaraku, memilih saya untuk menyeberangkan dari telaga kekeringan ini, niscaya kebahagiaan akan kalian dapatkan dalam genggaman.
Percayalan! Percayalah! Percayalah! [T]