Persembahan untuk Hari Jadi Kota Singaraja ke-415 — Glukkige Verjaardag Mijn Stad
Akhir pekan kemarin, 30 Maret 2019, saya bersama kompatriot, Pak Made Pageh menghadiri acara bedah buku berjudul Plitik karya Nanoq da Kansas. Keikutsertaan Pak Made Pageh dalam acara itu bukan tanpa alasan, beberapa pekan sebelumnya, yang bersangkutan mengutarakan kekecewaan karena tidak saya ajak mendengarkan “clotehan” Sugi Lanus tentang filsafat “galang”.
Novel Plitik yang dibedah itu kebetulan sudah saya baca deskripsinya, dan sejauh yang saya tangkap merupakan refleksi terhadap pengalaman pribadi penulis yang menawarkan ulasan politik dalam bentuk satir nan jenaka. Meski demikian, kandungan nilai-nilainya sungguh serius dan berat bila didiskusikan secara frontal. Penulis novel sadar bahwa untuk menjangkau pembaca yang luas, narasi politik yang kaku dan berjarak itu harus disampaikan dengan gaya bahasa yang santai, gembira bahka absurd.
Pun demikian, salah satu pembahas (kebetulan gen Z) yang saya tanya responnya terhadap dinamika politik nasional menjawab pesimistis dan berniat golput (mengaku gusdurian-tetapi mungkin Gusdur sendiri akan kecewa dengan sikapya di alam kubur) menjelang Pilpres 17 April mendatang. Ini artinya, Novel Plitik sebagai satir politik reformasi yang telah dibaca atau mungkin bacaan-bacaan lain, alih-alih mengubah persepsi, namun dianggap gagal meleburkan sekat antara politik dengan milenial yang semakin berjarak dan tabu dibicarakan selama 32 tahun Orde Baru.
Dekolonisasi Orde Baru mungkin saja berlangsung singkat sejak gelombang krisis moneter di Asia sejak 1997 dan mencapai puncak 1998, namun dekolonialisasi terhadapnya berjalan sangat lambat. Jejak-jejak mentalitas Orde Baru masih tercecer, dan dapat disaksikan pada gen Z di atas sekalipun. Atau mungkin saja gaya hidup (baca : fesyen) kekinian sebagai bahasa politik kontestan pilpres demi meraup suara milenial yang diperkirakan 60-a juta, dianggap artifisial, terlalu dibuat dan tentu saja sebatas embedded(baca : tempelan).
Saat kami tiba di TKP, acara masih belum juga dimulai, padahal sudah telat 30 menit dari jadwal semula pukul 19.00. Kehadiran kompatriot saya, Pak Made Pageh cukup menjadi kejutan, khususnya bagi tuan rumah Tatkala, Pak Ole dan Bu Sonia. Sebab mereka telah saling kenal – Pak Made Pageh mengenal Pak Ole sebagai jurnalis “kakap” di Bali Post, sedangkan Bu Sonia (mantan pacar Pak Ole), pernah menjadi mahasiswi binaan pak Made Pageh di awal tahun 2000-an.
Seperti yang sudah-sudah dan tradisi menyambut tamu ala tua rumah Tatkala, basa basi terlontar dari pak Ole. “selamat datang di rumah Tatkala, tempat diskusi alternatif yang menjadi wadah berkumpul lintas ilmu, dan yang paling penting menjadi “the other” dalam membaca narasi Bali dari “depan” yang berpusat di Bali Selatan – Bali Barat, Utara dan Timur bisa menjadi simpul antitesis terhadap narasi itu ”.
Saya dan Pak Made Pageh saling bertatapan dan mengernyitkan dahi setelah mendengar sambutan tuan rumah. Berbagai pertanyaan muncul bahkan hingga terbawa ke alam mimpi. Keesokan harinya, 31 Maret, dengan berbekal satu gelas air putih, saya nongkrong di ruang inspirasi (baca : WC) sambil menuliskan ide-ide tulisan ini via rekaman hp.
Tulisan ini dibuat dan terinspirasi dari pernyataan AHISTORIS tuan rumah Tatkala. Kompatriot saya, Pak Made Pageh mungkin mengamini pendapat saya karena tesis beliau di UGM membahas salah satu ikon Buleleng, yakni Eks Pelabuhan Buleleng.
Saya setuju jika Bali Utara dianggap sebagai “the other” dalam narasi Bali kontemporer yang memposisikan industri pariwisata sebagai pusatnya. Riset kecil dalam sub bab di dalam tesis saya di kawasan hutan Bali Barat yang dibiayai sepenuhnya oleh Universitas Adger Norwegia memperkuat hal itu. Akan tetapi, jika beranjak pada fakta historis, Bali Barat dan Bali utara justru garda depan kebudayaan Bali. Artefak manusia purba berupa porselen dan keramik dari Cina di Situs Gilimanuk, Situs Candi Budha di Lovina hingga kemasyuran Eks Pelabuhan Buleleng pada medio abad XVIII hingga awal abad XX memberi bukti bahwa bagian utara pulau Bali ini adalah kawasan maritim yang ramai dikunjungi bahkan sejak awal abad masehi sehingga menghasilkan interaksi antarperadaban di masa lalu.
Tulisan ini tidak hendak menguraikan kejayaan Bali utara thus Bali Barat di masa lalu, namun lebih dari itu memperlihatkan karakteristik air (baca : laut) yang pernah dimiliki orang Buleleng. Di era kontemporer, karakter khas itu mengarah pada stigma negatif, alih-alih positif. Spirit kebaharian sengaja saya ketengahkan karena selama ini masyarakat Buleleng khususnya terkesan abai terhadap diskursus “air” (laut) sehingga narasi tentang nya selalu “absen” ketika memikir ulang Buleleng sebagai kesatuan identitas.
Fakta historis di masa lalu membuktikan kota Singaraja pernah menjadi pusat pemerintahan Bali dan Lombok sejak era Kolonial. Eks pelabuhan Buleleng dan tempat-tempat lain di seputaran jalan Diponegoro, Hasanudin, Imam Bonjol, Surapati, Pramuka hingga Ngurah Rai menjadi saksi bisu masa-masa kejayaan laut yang dibalut budaya urban kota yang mulai bertumbuh seiring persentuhannya dengan peradaban Barat sejak takluk dari Belanda pasca Puputan Jagaraga 1849.
Dikuasainya Singaraja dan juga kota-kota lain di Bali oleh pihak Belanda yang menghasilkan Puputan Badung 1906 dan Klungkung 1908 bukan tanpa alasan, sebab di tahun-tahun kekuasaan Inggris di bawah Raffles (1811-1815) yang sempat berkunjung ke Bali, telah merencakan akan menjadikan Bali sebagai sea port– sejenis pelabuhan transito mirip negara Singapura (baca : Tumasik) sekarang, dan Pelabuhan Buleleng sebagai pusatnya yang menghubungkan aktivitas niaga Pantai Utara Jawa dengan Makassar.
Namun kekuasaan Inggris yang singkat itu segera digantikan oleh Belanda diikuti pula dengan pemindahan pusat pemerintahan dari Singaraja ke Denpasar. Sejak saat itu, sandi kala pelabuhan Buleleng telah di depan mata, orientasi laut kota pelabuhan Buleleng beralih menjadi orang “darat”.
Meskipun Buleleng di era koloial Belanda mengalami disorientasi laut, jejak kebaharian itu hingga kini masih bisa disaksikan dalam praktik sosial- sikap meboya. Sikap ini dianggap sebagai respon “alamiah” ketika orang Buleleng diajak berkomunikasi oleh pihak tertentu yang bertujuan menyampaikan himbauan, ajakan pendapat dan sejenisnya. Reaksi pertama – dahi mengkerut, mulut munju, geleng-geleng kepala yang dibalut senyum sinis pertanda ketidaksetujuan. Pun begitu sikap ini bertaut dengan taglineegalitarianisme orang Buleleng dalam merespon kebudayaan Bali.
Jika budaya Bali diekspresikan dengan simbol-simbol kepiawaian dalam ukiran, tarian, ketaatan adat dan agama, serta lukisan, maka hal tersebut adalah hal yang sulit ditemukan pada diri orang Buleleng. Orang Buleleng seakan ingin terus mendefinisikan ulang budaya kebaharian meboya yang tidak harus lemah lembut dalam bertutur kata, tunduk dengan feodalisme kasta dan tidak harus piawai mengukir. Orang Buleleng menjadi komunitas bahari sebagai antitesis agraris yang membedakannya dengan komunitas Bali di luar Buleleng. [T]