Rohaniwan Ajahn Brahm berujar, “Saat raga sakit, biarlah pikiran kita tetap sehat.”
Sepertinya ia tak serius, ia telah mengajak kita becanda. Bagaimana mungkin pikiran dapat sehat saat tubuh digerogoti kanker? Apalagi ada tersimpan banyak aset di luar sana dan istri cantik menunggu di rumah?
Astaga, sebetulnya kita tak bicara soal aset dan istri cantik. Namun tak sengaja, mereka kita temukan telah menghalang-halangi pikiran kita untuk sehat?
Mohon maaf ya, kekayaan dan istri cantik. Kalian menjadi korban pikiran yang kurang sehat ini. Meski gagasan ini jelas datang dari kesadaran berkabut, namun ia bukanlah fiksi, ini fenomena riil yang jamak membuat seorang manusia menjadi susah hidupnya.
Ya, keterikatan dengan harta, wanita juga kekuasaan.
Namun ketiganya adalah lautan yang harus diarungi saat kita memilih untuk hidup menjadi manusia biasa. Kita bisa saja bergegas meninggalkannya, menampik tantangan gelombang besarnya dengan memilih hidup di balik tembok biara. Di sana, cukup hanya ada diri sendiri yang perlu dilawan dan dikalahkan. Dalam hening, remang dan siklik.
Ayo kembali ke soal sehat, sakit dan penyakit. Saat seseorang didiagnosis satu penyakit, umumnya ia akan masuk dalam suasana “serius”. Keadaan serius ini punya beragam spektrum, mulai dari perasaan kaget sampai shocked, cemas, tertekan atau depresif, pada tahap yang lebih kompleks bahkan dapat mengalami pikiran yang berubah atau psikosis/gangguan mental organik.
Belum ada dijumpai, saat seseorang didiagnosis satu penyakit, ia sontak tersenyum riang bahagia apalagi berencana menyelenggarakan kenduri. Situasi “serius” dalam hal inilah yang pertama kali harus ditangani oleh seorang dokter, juga keluarganya.
Cemas saat sakit adalah wajar dan manusiawi. Tapi jelas ia takkan membantu kesembuhan. Ia sendiri bahkan adalah suatu penyakit, disebut sebagai gangguan cemas atau anxiety disorder.
Cemas dan keadaan-keadaan “serius” lainnya secara biologis diketahui telah meningkatkan hormon epinefrin dan steroid dalam tubuh. Dampak langsungnya adalah peningkatan denyut jantung dan kadar gula dalam darah. Kedua keadaan ini memberi pengaruh buruk pada proses pemulihan atau healing process.
—
BACA KOLOM DOKTER LAIN:
- Acintya
- Nyepi: Terapi Kesehatan
- Pasien, Guru yang Sempurna
- Dokter dan Sepotong Filsafat
- Dokter & Dukun, Tujuan Sama, Satu Naik Heli, Satu Naik Boat, Tidaklah Bertabrakan…
—
Pikiran, memang diketahui berada pada posisi paling tinggi dalam bangunan jiwa raga manusia. Setinggi posisi otak. Di bawahnya, wicara, sikap dan perilaku siaga dalam perintahnya. Berbeda dengan wicara, sikap dan perilaku yang gamblang, pikiran punya kemewahan (privilage) tak dapat diketahui dan dinilai oleh indera manusia. Walau kadang dapat juga terbaca.
Maka saat seseorang ragu-ragu untuk mengambil satu keputusan, ia diberikan kesempatan untuk berpikir, dalam tenang tersembunyi, bukan bicara atau bertindak. Dari persembunyiannya pikiran merancang takdir manusia.
Maka tugas dokter pertama-tama adalah menuntun pasien-pasien yang jatuh dalam situasi serius ke suasana relaks dan tenang. Relaksasi adalah semacam katalisator untuk bekerjanya semua elemen penyembuhan. Jika diagnosis adalah satu hal serius, lalu gedung dan suasana rumah sakit adalah juga sebuah keseriusan maka sudah saatnya dokter bergaya tak serius. Agar pikiran pasien pelan-pelan berpindah dari penyakitnya menuju keikhlasan.
Sebab bukanlah tugas pasien untuk memikirkan penyakit. Tugas dokterlah memikirkan penyakit hingga botak! Untuk pasien, penyakit bukanlah untuk dipikirkan melainkan hanya untuk diobati. Ibarat hutang, tak usah ia dipikir namun lekaslah dibayar.
Becandalah segila-gilanya dengan pasien karena canda dapat melemahkan penyakit sementara keseriusan membuatnya lebih kejam dan menakutkan. Becandalah terus sebab dengan becanda seorang pasien telah dihargai sebagai insan sehat dan waras, sementara keseriusan dapat memojokkannya pada sudut ring kekalahan.
Becandalah terus dengan pasien untuk menata luwes sistem organ mereka sementara bidik pikiran kita untuk menancap dalam keseriusan yang tersembunyi. [T]
BACA JUGA: