Cerpen: Satia Guna
~Aku lupa dengan berapa jumlah jariku, aku lupa dengan nasi yang tadi aku makan, aku juga lupa bagaimana manisnya mencium hangat bibirmu. Dimana dokumen yang kusimpan dalam folder itu, semua lenyap tak tersisa, yang tersisa hanyalah diriku kosong tak berdaya melawanmu dalam ketidakingatan.~
Pagi ini Man Lali memulai harinya dengan duduk di depan teras rumah yang berhadapan dengan halamannya yang luas, yang tertata rapi, mulai dari bunga kembang kertas, bunga soko, bunga kembang sepatu, sampai bunga sedap malam yang ia tanam di sudut halamannya itu.
Ia duduk di depan teras rumahnya sambil mengaduk teh yang tak kunjung ia minum, ia terus mengaduk, mengaduk, dengan tatapan mata kosong, suaminya pergi bekerja tak dihiraukannya. Anakanya sekolah pun hanya ia tatap dengan tatapan kebingungan. Ia masih mengaduk, mengaduk, dan mengaduk teh yang kian lama, kian dingin.
Sudah siang, matahari tak memberinya semangat, tapi ia harus mencari check list yang harus ia kerjakan, yang harus ia lakukan, apa yang harus ia lakukan adalah apa yang ia inginkan, tapi ia tak tahu apa yang ia inginkan, akhirnya ia kembali terduduk di depan teras rumahnya, sembari mengaduk teh yang sudah berubah warna, yang sudah berubah rasa menunggu senja menyapanya dan berkata hari sudah berlalu.
Senja menyapa, namun ia masih duduk di depan rumah, ia akan berbuat apa ketika senja sudah menjenguknya, ah, ia seperti orang sakit, tapi tak ada satu pun ciri-ciri orang sakit yang terlihat di tubuhnya, ia sehat. Mata berbinar. Senyum lebar dengan sedikit gincu yang merekah. Serta tatanan rambut rapi tersisir bergelombang.
Namun hanya tangannya saja yang tak berhenti mengaduk teh, ada apa dengan tangannya? Ada apa dengan harinya? Ada apa dengan perlakuannya terhadap senja sembelum malam menjemput?
Malam kini menyelimuti dirinya dan terasnya, tempat ia pernah merasakan benar-benar hidup, benar-benar merasakan tangannya, kakinya, mulutnya, hidung dan matanya.
Di mana adiknya? Ah, apakah benar ia memiliki adik? Di mana ibunya? Ah, apakah benar ia memiliki ibu? Ia hampir melupakan semuanya, semua yang ia sebut kenangan.
Ia menatap halaman pun, sebenarnya memiliki tujuan. Tujuan itu ialah menggali kembali kenangannya dengan teras, bukan hanya teras tapi rumah, ah bukan juga rumah, tapi dirinya sendiri. Ia lupa dengan dirinya sendiri.
Ia sempat pula memecahkan cermin rias yang terpampang di dalam kamarnya. Cermin itu membuatnya geli, membuanya takut, ia tak bisa mengenali wajahnya sendiri. Ia mengganggap itu adalah orang lain yang berada dalam cermin yang harus ia hancurkan.
Di dalam kamar hanya membuatnya menjadi onggokan benda yang tidak berguna, tidak tahu harus berbuat apa, tidak mengerti dengan apa yang suaminya bicarakan setiap malam, ya, hampir setiap malam.
Yang membuatnya hidup hanya dengan duduk di depan teras rumahnya, yang dilengkapi kursi goyang, yang siap melayaninya saat lelah menghampiri, serta segelas teh dingin, sepotong sendok, serta beberapa suara-suara yang mendengung di telingannya.
Bila malam datang, ia sering berteriak ketika suaminya memeluknya, memberontak seperti orang kesurupan. Memekik seperti burung kehilangan sarang. Tak ada yang bisa menghentikan keliaran itu. Mereka semua hanya diam melihatnya begitu, melihatnya tak seperti Man Lali yang dulu. Man Lali yang merekahkan senyuman pada setiap orang, pada setiap kesempatan. Ia terlalu mendalami perannya sampai batas peran itu habis dan harus diakhiri.
Man Lali merupakan wanita Bali yang disegani di rumahnya. Ia merupakan wanita yang paling mahir jika dipersoalkan dengan masalah sesajen,sesajen yang paling ribet sekali pun mampu ia buat. Ia tekun, ulet dan segala pekerjaan mampu ia kerjakan. Tapi itu dulu, sebelum otaknya menyusut diterpa musim.
Hardisk yang ada di dalam kepalanya sudah rusak dan tidak akan dapat lagi diperbaiki. Semua folder-folder, galeri foto, file musik, file kebahagiaan, file kesedihan semua lenyap diterkam virus. Bukan hanya otaknya yang rusak, hatinya pun ikut mati. Apa sebenarnya hubungan hati dengan otak. Apakah mereka saling berkaitan, memiliki kabel di mana-mana?
Berbagai upaya telah dikerahkan oleh suaminya, oleh anaknya, dari menempelkan berbagai foto kebersamaan mereka, hal-hal yang mampu membangkitkan kembali kekuataannya yang dulu.
Barang-barang seperti pisau, ijuk, daun kelapa muda, kembang tujuh rupa telah mereka tabur setiap hari di dalam rumah, tapi itu hanya kesia-sian, apalah daya mereka kalau Man Lali lebih memilih untuk duduk di depan teras rumah sambil mengaduk teh, yang tak pernah ia minum hampir selama 3 tahun setelah penyakit itu muncul dan menggerogoti isi kepalanya. [T]