Cerpen: Geg Ary Suharsani
.
Subuh berlalu,
sisakan anyir angin,
jantung tak berdetak,
ingatan mimpi buruk.
keringat dingin mengalir –
Kekasihmu terbang,
bersama sebilah tombak.
Kau menjelma Gandari,
putri Subala.
Duniamu malam
terpekat yang pernah ada.
Kami bukan Korawa
(bukan pula Pandawa).
Hanya kanak-kanak,
yang dewasa bersama senja
; tempatmu sahaja membuka mata.
Untukmu,
kami kirimkan senja di serambi.
Terimalah.
***
Tangan wanita itu bergerak perlahan. Menelusuri lekukan demi lekukan. Napasnya nyaris tertahan. Seolah menghayati setiap gerakan tangannya. Matahari yang meninggi sama sekali tidak membantu.
Meme mencoba menemukan piring yang diletakkan Me Tut, bibiku, di atas meja sedari tadi pagi. Tak ada lekuk meja yang dilewatkan oleh meme. Tapi piring tak juga ditemukan, padahal letaknya di atas meja. Meme masih mencoba. Tangannya bergerak lagi. Akhirnya piring dengan tumpukan nasi dan lauk pauk di atasnya ditemukan oleh tangan meme.
Meme meraba permukaan isi piring itu. Pertama meraba nasi, kemudian lauk pauknya. Sepertinya tidak dilengkapi oleh sambal, karena Me Tut pasti tidak ingin menambah masalah jika nantinya meme sakit perut.
Aku melihat sayur don tuwi, sepotong tempe, dan teri goreng di piring itu. Pelan-pelan tangan meme menyuapkan nasi ke mulutnya. Lalu mengunyah dalam diam.
Tiba-tiba di suapan berikutnya air mata meme mengalir. Bibirnya bergetar. Lalu terdengar suara dari bibirnya.
“Ini tuwi? Tuwi? Bapakmu suka tuwi. Suka tuwi!” meme bergetar makin hebat. Nasi berhamburan dari mulutnya. Liur menetes. Meme terbatuk.
Aku menyaksikan meme dari sudut ruangan. Air mata selalu membuatku tak mampu melupakan keringat dingin dini hari. Aku berusaha membuka mulut, menenangkan meme. Tapi barisan kalimat yang ada di otakku, hanya menjelma satu kata.
“Sanja…sanja…” Hanya itu. Kakiku bergerak gelisah. Tanganku menggapai-gapai tembok. Kemudian memukulinya, semampuku.
Meme tak juga tenang. Punggungnya masih terguncang. Air mata mengalir dari dua matanya. Satu-satunya wanita yang memahamiku ini mulai menutupi wajahnya. Aku makin gelisah. Aku selalu takut jika meme mulai menutupi wajah. Aku selalu takut jika tidak melihat wajah meme. Wajah meme adalah wajah yang membuatku mampu melalui hari-hari yang dipenuhi mimpi buruk masa lalu.
Aku tak mampu menghentikan kegelisahanku. Aku makin keras memukuli tembok. Tanganku bergedebug-gedebug. Kakiku yang bergerak gelisah menimbulkan bunyi gaduh kayu dan gesekan tikar pandan.
“Ada apa ini? Dirga jangan memukul-mukul tembok, hentikan!” Me Tut masuk ke dalam ruangan. Pintu yang terbuka tiba-tiba, membawa serta sinar matahari ke dalam ruangan. Aku silau. Meme menghentikan tangisnya. Tapi air matanya masih mengalir. Suara Me Tut yang melengking memecah pergulatan kami akan pikiran masing-masing. Tapi siapa yang mampu menghentikan aliran air mata secara tiba-tiba?
“Apa yang ditangisi? Apa Mbok Yan? Yang dulu-dulu? Yang sudah lama berlalu?” Me Tut bertanya sambil memegang pundak meme.
“Sudahlah Mbok Yan. Tegar, Mbok. Tegar. Ingatlah dengan diri sendiri. Bukan hanya Mbok yang sedih karena peristiwa itu. Saya juga, Mbok. Saya juga. Bli Dibya juga kakak saya. Sakit hati saya kalau ingat peristiwa itu. Sakit, Mbok. Kenapa orang sepolos Bli Dibya harus mengalami kejadian seperti itu,” Me Tut mengurut-urut dadanya.
Me Tut, adik bapakku satu-satunya. Usianya sekarang mungkin sudah 50 tahun. Wanita ini memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya. Dialah harapanku dan meme. Jika tidak ada dia, tidak akan ada piring yang dipenuhi dengan lauk pauk di meja meme. Tidak akan ada yang memandiku setiap dua hari sekali. Ya, dua hari sekali. Itu sudah lebih dari cukup. Wanita yang mencari uang dengan menjadi tukang suun itulah tempat kami bergantung.
Aku tak pernah menghitung usiaku. Aku tak pernah tahu hari dan tanggal. Aku terlalu kecil saat lupa akan angka-angka. Tapi aku selalu berhasil mencuri dengar tiap orang-orang berbaju rapi, yang entah dari mana, datang melihatku sambil menyebutkan dua angka untukku.
Dua puluh lima. Ya, 25. Mungkin maksudnya adalah umurku 25. Apa arti 25, dan apa yang dilakukan orang-orang saat berumur 25? Entahlah. Tak pernah terpikirkan olehku, yang hanya tahu tembok dan tikar pandan. Dua kawanku, yang setia menemaniku dan juga meme.
Belakangan ini, tembok mulai senang berbincang denganku. Dia yang selama ini pendiam dan hanya menyaksikan kegelisahanku, kini mulai menghiburku. Dia biarkan tanganku memukulinya tiap kali aku tak mampu menjaga emosiku.
Hanya dia yang mengerti, mengapa hanya kata sanjayang meluncur dari bibirku. Mungkin dalam diam dan dekatnya dia denganku, dia makin memahami keinginanku.
“Sttt….Dirga” bisik tembok ketika pertama kali mulai membuka pembicaraan denganku. Waktu itu aku bingung, siapa yang memanggilku. Itu pasti bukan meme. Meme memanggilku dengan panggil Yan De.
“Hei! Dirga! Hei! Ini aku….Aku di sebelahmu!” aku bingung waktu itu. Di sebelahku hanyalah tembok batako, tanpa plester, tanpa cat, rapuh berdebu.
Aku mendekatkan kepalaku ke tembok. Sepertinya suara itu berasal dari sana.
“Nah, ya betul begitu. Ayo tempelkan telingamu ke aku. Ayo, cepat!” suara itu memerintahku seperti tidak sabaran. Aku beringsut, menggeser pinggangku yang kaku kurang bergerak, hingga telingaku mampu menempel di tembok.
“Ya, betul. Makin jelas suaraku ‘kan?” Memang benar, suara yang aku dengar berasal dari tembok itu.
Sejak itulah, selain meme, tembok menjadi temanku satu-satunya. Dari tembok, aku tahu dunia yang ada di bagian luar tempatku berbaring selama bertahun-tahun.
“Dirga, jika di sisiku yang dekat denganmu terasa dingin, maka di sisiku yang sebaliknya justru terasa panas dan hangat,” tembok menceritakan tentang dirinya kepadaku pada suatu siang.
“Hangat senja ini begitu dirindukan oleh banyak orang. Membuang jauh gelap dan dingin.” Kalimat tembok membuat sesuatu di pikiranku berpendar kemudian menjalar, memercikkan tanya di kepalaku.
Aku dan meme benci pada gelap dan dingin pagi hari. Benci yang memunculkan dunia yang berbeda didalam diriku dan menggelapkan pandangan meme. Sejak dulu, sejak peristiwa yang selalu membuat meme menangis sejadi-jadinya.
“Apakah semua orang suka senja?” tanyaku pada tembok.
“Hmmm, aku rasa begitu,” jawab tembok, dengan nada santai. Seolah tidak mau menyombongkan pengetahuannya. Dia pastinya tahu lebih banyak hal dibandingkan aku.
“Jika mereka tidak suka, kenapa tiap sore tiba banyak anak-anak yang bermain bola di sisi itu. Ibu-ibu berbincang sambil menyapu halaman, laki-laki muda berkumpul sambil menggoda wanita yang mereka taksir. Mereka tertawa-tawa sambil bermandikan sinar berwarna oranye.” Tembok berusaha menjelaskan kepadaku.
“Apakah senja bisa menghangatkan hati seseorang? Meski dia hanya bisa merasakan?” Aku mencoba berdiskusi.
“Iya. Senja itu untuk siapa saja. Untuk seorang yang hanya bisa melihat, atau hanya bisa mendengar.” Tembok sepertinya sudah tahu arah pertanyaanku.
Kami terdiam sejenak. Aku biarkan pikiranku berimajinasi. Aku bayangkan meme akan tersenyum, dan tidak menangis lagi. Aku ingin meme merasakan apa yang orang rasakan. Hati meme sudah terlalu lama dihantui dingin dini hari.
“Tembok, kamu sudah tahu apa yang ingin aku lakukan?”Akhirnya aku bertanya pada tembok.
“Ya, aku tahu Dirga, lakukanlah. Tak mengapa. Sungguh,” sahabatku berujar tulus.
Akupun menempelkan pipiku pada tembok. “Terimakasih, Saudaraku,” bisikku lirih.
Keesokan harinya, aku mulai menjalankan rencanaku. Pertama-tama aku memperhatikan seluruh bagian tembok yang masih bisa terjangkau oleh tanganku. Dengan badan yang jarang bergerak dan kaki yang kaku, ternyata areal tembok yang bisa aku jangkau tidak begitu luas.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku temukan bagian untuk menjalankan rencanaku. Posisinya tidak jauh dari posisi kepalaku jika aku berbaring. Tanganku mulai meraba dan mencongkel tembok, sahabat terbaikku.
Baru beberapa menit, tiba-tiba aku terbawa pada kenangan buruk masa lalu. Inilah yang justru paling aku takuti. Aku selalu tak mampu mengendalikan emosiku jika teringat pada masa gelap itu.
Dini hari yang dingin. Bertahun-tahun yang lalu. Meme berteriak-teriak menghentikan orang-orang bertopeng yang menarik paksa bapa. Bapa tak kuasa menolak. Jumlah mereka cukup banyak. Tidak ada yang berani.
Aku yang masih kecil menangis di kaki meme. Takut karena melihat meme yang menangis histeris, dan takut karena bapa yang ditarik paksa oleh orang-orang. Kekuatan meme tak berarti apa. Bapa dibawa pergi.
Meme berhasil mengetahui tempat di mana bapa dibawa pergi. Sambil menggendongku, meme berlari di antara kegelapan malam, menyusul bapa. Meme berlari sambil menangis. Dia bahkan tak peduli badannya dan badanku yang kadang membentur ranting dan dahan pohon. Anjing-anjing menggonggong, dini hari yang dingin makin mencekam.
Akhirnya tibalah kami disuatu tempat. Seingatku seperti lapangan. Atau malah kuburan? Entahlah. Meme mengajakku merunduk di balik semak. Disana bapa dikumpulkan dengan beberapa orang.
Aku mendengar salah satu diantara orang yang menangkap bapa membentak bapa. “Saya bukan pengikutnya!” Bapa berteriak sambil menggelengkan kepalanya dengan keras. Tetapi tiba-tiba saja…tiba-tiba saja…sebilah tombak menghujam dada bapa. Bapa tersungkur seketika!
Meme berteriak sangat keras. Teriakan terkeras yang pernah aku dengar. Meme berlari ke arah orang-orang itu. Aku terlempar ke tanah yang basah dan dingin. Salah seorang dari mereka memukul kepala meme. Meme tersungkur, tak bergerak.
Di sinilah aku kini. Hidup tergantung, berteman tembok. Meme tak boleh menjauh dariku. Aku takut meme akan ada yang memukuli lagi. Tersungkur dan akhirnya tak mampu melihat hingga kini. Gelap.
Aku tak bisa menjauh dari meme. Kaki terpasung bertahun-tahun oleh sepasang kayu bergembok. Jika aku berkeliaran, maka aku akan mengejar setiap orang yang membawa benda serupa tombak. Benda yang menembus dada bapa. Aku akan memukuli orang itu semampuku atau melemparinya dengan batu atau mencakarnya. Apapun!
Emosiku makin menjadi dan tidak mampu aku kendalikan. Tanganku yang sedari tadi hanya mencongkel tubuh tembok, kini mulai memukulinya, makin kencang. Suara benturan menggema.
“Yan De? Yan De..hentikan!” Meme mencoba mengingatkanku.
Tapi tanganku malah bergerak makin tak beraturan. Ritmenya makin cepat dan menghipnotis otakku. Aku harus mengakhiri gelap ini.
“Yan De, tanganmu pasti sakit.” Meme mulai bangun dari tempat duduk. Sambil meraba-raba, meme bergerak kearahku. Aku tetap memukul tembok sekuat tenaga.
Meme berhasil mendekat lalu mendekapku. Aku tahu meme ingin menenangkanku. Tapi tekadku sudah kuat. Aku benci masa gelap ini. Aku inginkan hangat cahaya senja. Bukan cahaya pagi yang masih berteman dini hari yang dingin.
Meme menggapai tanganku, ingin menghentikan gerakan tanganku. Aku mengayun sekuat tenaga. Dan…brak!
Terdengar bunyi retak yang bercampur debu. Sahabat terbaikku, terluka tubuhnya oleh tanganku sendiri. Bersama dengan debu yang berhamburan, secercah cahaya sore menyelinap masuk. Aku bersorak, “Sanja..! Sanja…! Sanja Me!” suaraku seperti tercekik karena gembiranya. Tanganku terangkat naik, sedangkan kaki kurusku yang terpasung bergerak tertatih.
Aku memandang meme yang memelukku kuat. Cahaya senja menyentuh pelupuk matanya, lalu seluruh wajahnya. Meme berkilau jingga tembaga. Kulihat setetes air mata menggantung diujung matanya.
Aku yakin itu air mata bahagia.
***
Akulah pengendara kereta kencana,
yang rodanya terbenam
lumpur jahanam.
Sore ini,
kuantarkan senja
dari sang putra.
Tersenyumlah,
wahai putri Subala.
***
Catatan:
Meme = ibu
Bapa = Bapak
Me Tut = Bibi Ketut
Mbok Yan = Kakak Wayan
Don tuwi = daun turi
Sanja = senja