Jangan pergi!
Itulah mantra ajaib bagi mereka yang tidak rela ditinggalkan. Entah apapun alasannya, pokoknya jangan pergi. Tidak terkecuali ketika Ni Karuni akan ditinggalkan oleh Sucita.
Oh iya perkenalkan, Ni Karuni adalah anak dari pasangan pendeta bernama Dukuh Pradnya dan Dyah Paramita, sedangkan Sucita adalah anak dari pasangan pendeta Rsi Metri dan Danti. Keduanya sama-sama saling mengikat. Bukan tali bukan rantai, yang mengikat adalah sejenis perasaan yang tidak perlu saya jelaskan lagi: Cinta.
Mereka awalnya bertemu dengan cara tidak sengaja. Di tepian sungai, Sucita sedang berusaha melepaskan jeratan lelah. Ni Karuni di hulu sungai mencari bunga, konon untuk dipersembahkan kepada ayahnya. Bunga itu nantinya untuk memuja Hyang saban hari.
Entah kesialan atau justru keberuntungan, Ni Karuni terpeleset karena salah mengira batu yang diinjaknya akan tetap seperti batu-batu lainnya tidak bergerak. Tidak, ia salah. Batu yang diinjaknya tidak dalam posisi bagus, maka terganggulah keseimbangannya dan Ni Karuni hampir tercebur ke sungai.
Karena sigap, ia bisa berkelid dan menyeimbangkan diri, juga tempat bunga yang ia bawa berhasil diselamatkan. Sayangnya hanya satu yang tidak bisa ia selamatkan dari kejadian itu, selendang yang dipakai untuk menutupi pundaknya, tiba-tiba tergelincir dari kulitnya yang halus itu lalu hanyut terbawa sungai. Ni Karuni mengejarnya.
Sucita melihat beberapa kuntum bunga hanyut, diikuti oleh selendang. Tanpa banyak berpikir diambilnya selendang itu. Maka bertemulah mereka berdua dan terlibat tanya jawab. Siapa nama, dari mana, siapa orang tua, kenapa bisa ada di sana.
Jangan membayangkan akan ada pertanyaan berapa nomor HP, apa nama IG, atau FB, atau WA. Pada masa itu, media sosial maya belum ada. Super singkat cerita, bertanyalah Ni Karuni kepada Sucita.
Ada empat pertanyaan yang ia ajukan. Begini: (1) Apakah bekal yang paling utama di dunia ini? (2) Siapa teman yang paling setia sampai mati? (3) Siapa musuh paling sakti? dan (4) Sakit apa yang paling berat?
Cerita itu membuat saya berpikir, memang wanita selalu punya cara untuk membuat kepala jadi pusing dengan pertanyaan-pertanyaan. Bagi para lelaki, silahkan dijawab. Ingat tidak boleh nyontek.
Sambil memikirkan jawabannya, dan sebelum melanjutkan cerita tentang Sucita dan Karuni, saya teringat lagi sebuah cerita yang juga melibatkan dialog antara wanita dan lelaki. Agar adil, cerita kali ini adalah pertanyaan tentang lelaki yang bertanya ini dan itu kepada seorang wanita. Tamtam nama lelaki itu, sedangkan Dyah Adnyaswari nama wanita cantik jelita yang juga cerdas.
Saking cerdasnya, Raja dari berbagai negara telah ditaklukkannya dengan pertanyaan juga jawaban. Tapi Tamtam berbeda. Ia mampu menyudutkan Dyah Adnyaswari dengan sebuah pertanyaan. Maka karena sulitnya pertanyaan Tamtam, pada suatu malam Dyah Adnyaswari datang diam-diam ke rumah Tamtam. Tamtam terkejut didatangi wanita yang menjadi pujaan banyak lelaki hebat.
“Apa sebabnya seorang gadis rela datang malam-malam ke rumah seorang pemuda tanpa gelar?” kata Tamtam dengan rendah hati.
Dyah Adnyaswari tersenyum manis dan menjawab, “Aku meniru kupu-kupu, datang karena digoda harum yang dibawa pecahan angin.”
“Tapi mengapa kepada hamba, pengembara yang bagai burung, tidak jelas dimana ia hinggap?”
“Burung kata Bli? Burung walet tidak kalah perihal sarang, ia membangunnya di ruang teduh, kan? O Bli Tamtam, anugerah mana lagi yang Bli ragukan dari para Dewa? Ketampanan dan kecerdasan tidakkah cukup?”
“Hati-hati Puan. Itulah pesan yang selalu hamba kenakan. Terlebih mendengar pujian dari seorang gadis yang matanya lebih dalam dari danau”.
“Jadi maksud Bli, aku sedang menggoda?”
“Hamba tidak berkata begitu. Hanya…”
“Hanya apa?” Adnyaswari mengerutkan dahi dan tersenyum simpul.
“Hanya coba menerka, apa yang Puan sembunyikan di balik senyum itu”
Malam berlalu begitu saja. Pertanyaan Tamtam yang membuat Dyah Adnyaswari kebingungan, belum terpecahkan. Apa pertanyaannya? Ini pertanyaannya Tuan dan Puan “sane telas tunas titiang”.
Terjemahannya? Sabar saya masih berpikir. Kira-kira begini “yang habislah hamba inginkan”. Kata lainnya barangkali “isi sunyi itu apa?”. Jawabannya? Maaf saya belum tahu. Ilmu Cangak saya belum sampai di sana.
Mari kita biarkan pertanyaan itu dijawab sendiri-sendiri. Berbagai macam pertanyaan, baik jika diadakan terus menerus, sebab otak dibuatnya selalu berpikir. Keuntungannya, ya otak jadi terlatih memikir-mikirkan. So what? Ya, berpikir adalah salah satu ciri badan masih hidup.
Oh iya, sekarang ayo kita kembali kepada cerita tentang Sucita dan Ni Karuni. Setelah perkenalan itu, Sucita tidak bisa melupakan Ni Karuni. Maka ditemani sahabat karibnya yang bernama Subuddhi, Sucita datang ke rumah Ni Karuni bermaksud meminangnya. Kurang hebat apalagi si Sucita itu?
Dia langsung meminang broo. Menghadaplah Sucita Subuddhi kepada Dukuh Pradnya, ayah Ni Karuni. Terjadilah perkenalan tentang bibit, bebet, bobot. Setelahnya, tanpa cangcingcong, Sucita menyatakan maksud kedatangannya,.
“Hamba ingin meminang anak Ratu Pendeta!”
Dukuh Pradnya yang memang pradnyan itu tidak terkejut, malah jawabannya yang membuat terkejut, “Ayah tidak akan menghalangi, jika Ni Karuni mau, jag juang”.
Berbekal berbagai jurus merayu, Sucita datang menemui Ni Karuni.
“Berbahaya jika seorang ahli pengobatan, membiarkan pesakitan tidak diobati. Juga betapa teganya bunga Menuh yang tumbuh di pinggir sungai, membiarkan seekor kumbang menangisi sayapnya yang patah dan hanyut. Tidakkah begitu Ni Karuni?”, kata Sucita halus.
“Pesakitan bisa sakit karena salah sendiri, tidak tahu mana makanan mana racun. Kumbang si ahli bunga itu? Patah sayapnya karena mengganggu bunga anggrek bulan yang dirawat seekor kera. Apakah adil jika bunga Menuh yang Bli salahkan?” jawab Karuni ketus memalingkan wajah.
“Lebih tidak adil lagi, jika ada tuan rumah memalingkan wajah dari tamunya.”
“Dia bukan tamu, tapi musang berbulu domba.”
“Itu pasti musang salah pakaian.”
Karuni berusaha menahan tawa. Lalu ia jawab dengan halus, “Maaf Bli, saya salah, dia bukan musang, tapi Cangak”
Sampai di sana saya akhiri saja percakapan Karuni dan Sucita. Otoritas Ke-Cangak-an saya merasa diadili. Pada akhirnya mereka berdua saling suka satu sama lain.
.
CANGAK YANG LAIN:
- Swastyastu, Nama Saya Cangak
- Pemimpin dan Pandita
- Aturan Mati
- Muka Gua
- Siapa yang Tahu?
- Panduan Nyepi ala Cangak
.
Sebagai orang yang terpelajar, maka Sucita memutuskan untuk pergi mencari ilmu pada orang-orang pandai. Karena itulah mereka berdua dipisahkan sebentar. Ni Karuni yang bijaksana itu, juga ingin mengetahui seberapa besar keinginan Sucita untuk pergi. Lalu ia menulis surat. Begini isinya.
“Lihatlah Bli, sebuah lampu kehilangan nyalanya karena minyak tega meninggalkan api. Bunga Tunjung layu sebab telaga kehilangan air. Apalah guna sembahku kepada Hyang selama ini, jika ternyata tidak pernah didengar. Kita dipisah jarak begini sunyi. Kembali Bli, jangan pergi!”.
Ujian atas kesungguhan hati, bisa datang dari mana saja, dalam berbagai wujud. Tidak terkecuali bagi Sucita yang ingin pergi. Saya juga merasa begitu wahai sodara-sodara para ikan semuanya. Mungkin sama seperti kalian. Keinginan pergi, sama hebatnya dengan keinginan kembali.
Sekarang saya hanya ingin mengatakan nasihat seorang guru, katanya, “Sebuah keputusan akan benar, jika dijalani dengan benar.”
Sekarang pilihlah, mau pergi atau tetap di sini? [T]