Pertama kali diberitai untuk menjadi penutup acara Festival Bulan Bahasa Bali Dinas Provinsi 2019, tentu saja ini menjadi hal yang begitu mengejutkan bagi kami, khususnya sebagai sebuah kelompok teater. Sebab biasanya, pada kebanyakan festival, teater hampir tak pernah ‘dipercaya’ menjadi menu pembuka atau penutup acara.
Entah karena formatnya yang tidak cocok diisi dengan pertunjukan teater, atau sang penyelenggara lebih tertarik pada euphoria sorak-sorai band, sendratari, atau pertunjukan kolosal sejenis. Paling tidak, festival Bulan Bahasa Bali ini terasa tengah berusaha mendefinisikan identitasnya sendiri, yakni sebuah festival pengusung tema, acara dan bintang tamu yang tak laku!
Sebagai orang Bali, di tengah dunia yang meng-Internasional ini, siapa yang rela capek-capek me-lokal-kan dirinya lagi menggunakan bahasa Bali? Begitu pepatnya waktu menjalani hidup sehari-hari, hingga tak ada alasan lagi buat mempelajari Bahasa Bali.
Maka cukuplah orang Bali ongkang-ongkang berlindung di balik kata “Ajeg Bali”. Sebuah gerakan instan nan politis yang menyeret umatnya pada pandangan sempit tentang pelestarian budaya Bali (baca: Bahasa Bali). Membuat masyarakatnya silau pada hingar bingar, kerlap-kerlip ornamen kebahasaan yang tampak di permukaan.
Sayangnya, pola gerak semacam ini bukannya membuat orang lebih ingin mempelajari, namun justru kian berpotensi menjauhkan nilai dan fungsi bahasa Bali sebagai media komunikasi, gerbang pintu mengenal kebudayaan Bali lebih dalam.
Hal tersebut kemudian saya sadari saat menggarap pentas “Sukreni Wang Sistri Listuayu”. Sebuah drama musikal bahasa Bali yang digubah dari Novel Sukreni Gadis Bali karya A.A. Pandji Tisna. Meski kawan-kawan yang tergabung dalam pentas ini adalah mereka yang hidup dan tinggal di Bali, namun hanya sedikit yang benar-benar menguasai bahasa Bali. Beberapa diantaranya ada juga orang dari luar Bali atau orang Bali yang berjarak dengan bahasa Bali.
Walhasil, pertama kali latihan (dan mungkin saat pentas), betapa kata-kata keluar begitu terbata.
Ulak-alik antara bahasa Bali yang terlontar, maksud dialog, lagu, lalu sinergi antara tubuh aktor itu sendiri jadi pekerjaan yang cukup melelahkan dalam proses drama musikal ini. Pola latihan yang semula saya maksudkan untuk mencari kemungkinan ulak-alik ini, justru berganti menjadi latihan berbahasa Bali.
Semua pemain sedari mulai latihan saya wajibkan ngobrol menggunakan bahasa Bali. Yang kemudian membuat jarak bahasa yang dulunya begitu curam sedikit demi sedikit jadi landai mereka lafalkan dengan leluasa. Pada titik inilah, betapa lapis teater tak hanya menyoal tentang pemanggungan saja, melainkan berpotensi menjadi tempat latihan berbahasa bagi para anggotanya.
Maka bayangkanlah, apabila ada banyak kelompok teater yang diberi kesempatan bermain drama berbahasa Bali, berapa banyak orangkah yang mempunyai kesempatan mempelajarinya?
Naskah Adaptasi
Yang justru membuat gerak teater semacam ini jadi berbeda dengan kualitas pertunjukan lainnya, dikarenakan titik berangkat berpikir teater yang begitu luwes. Tak seperti jenis kesenian yang berpedoman pada pakem dan bentuk-bentuk pengulangan mekanis lainnya.
Pada teater, penyikapan terhadap sesuatunya cenderung cair. Pun dengan bahasa. Pun dengan naskah. Cobalah tengok cerita-cerita pertunjukan berbahasa Bali biasanya. Pada satu dekade terakhir ini kebanyakan cerita tampak berputar pada etos Ramayana dan Mahabarata saja. Jika kita percaya, teater adalah representasi sejarah hidup masyarakatnya, apakah sejarah Bali hanya mandek pada etos Ramayana dan Mahabarata saja? Apakah sesilangan kebudayaan Bali hanya antara India dan Jawa saja?
Dalam konteks ini, adaptasi naskah bahasa Bali mau tidak mau tentu menjadi penting artinya. Saya pribadi jadi membayangkan bagaimana interkulturalisme yang hadir dalam pentas “Gambuh Machbeth” oleh Kadek Suardana (alm), atau konsep nasionalisme “Koetkoetbi” karya Soekarno yang digubah jadi drama gong oleh Putu Satriya Kusuma. Betapa ketegangan sejarah dan kebudayaan Bali dengan dunia luar diikat dan dipertaukan lewat bahasa Bali.
Meski dengan bentuk yang berbeda, kesadaran semacam ini yang menjadi titik berangkat kami dalam mementaskan drama musikal “Sukreni Wang Sistri Listuayu”. Jarak budaya yang begitu jauh antara hari ini dengan zaman Pandji Tisna, ditambah penyikapan bahasa, musik, kostum, dan artistik yang beraneka ragam, membuat pentas berada pada dunia antahberantah. Ia begitu cair di permukaan, namun tegang di dalam. Ia begitu Bali namun tak Bali. Bukankah hal tersebut adalah cerminan realitas Bali hari ini juga?
Di tengah kebyar pariwisata Bali yang membuka setiap pintu kehidupan masyarakatnya, mempersilakan dunia untuk masuk di dalamnya, berhati-hatilah! Sebab akan ada yang mengendap menyusup diam-diam. Nyen keh to? Nyen keh to? Cicing keh ane kelayah-layah dot dadi manusa? Apakeh bikas jele ane ngruggrugang dendamne ipidan?
Yatna-yatnain!
Denpasar, 2019