Ini asal tahu saja. Tak ada maksud apa-apa.
Neno Warisman, perempuan artis yang kini banyak dibincangkan karena puisi kontroversialnya, Munajat 212, pernah menjadi perempuan Bali yang kolok (bisu) dalam sebuah sinetron sangat bagus pada awal tahun 1990-an. Judul sinetronnya “Aksara Tanpa Kata”.
Ceritanya, ya, tentang Bali. Tentang Bali yang diserbu investasi, di mana banyak tanah dijual, terpaksa dijual, atau dipaksa dijual, kepada broker dan investor. Suting sinetron itu salah satunya dilakukan di Banjar Tubuh, Batubulan, Gianyar.
Putu Putri Suastini, istri Gubernur Koster saat ini, juga turut bermain dalam sinetron itu dan mendapatkan peran, kalau tidak salah, sebagai teman si perempuan kolok.
Saat itu, TVRI, sebagai stasiun televisi milik pemerintah, dianggap cukup berani menayangkan sinetron dengan tema sensitif semacam itu. Padahal itu di zaman Orde Baru, lho. Apalagi, para broker tanah dan investor yang berkeliaran pada masa-masa keemasan dunia pariwisata di Pulau Dewata saat itu, diduga punya hubungan erat dengan istana dan rezim pemerintahan saat itu.
Sebagai sebuah cerita, Aksara Tanpa Kata, pun tak kalah berani. Ceritanya menusuk langsung pada persoalan, tidak bertele-tele, dan klir. Diceritakan, seorang ibu (diperankan oleh Renny Jayusman) yang hidup di sebuah desa alami di Bali, bertahan untuk tidak menjual tanah warisan leluhurnya yang hendak disulap sebagai kawasan pembangunan akomodasi pariwisata, meski ia dirayu sekaligus mendapatkan berbagai tekanan.
“Tolong bilang pada bapak itu, tiang tak akan menjual tanah tiang walau sejengkal pun!” begitu penggalan kalimat si ibu yang menggetarkan dalam sinetron itu
Nah, Neno Warisman, dalam cerita itu berperan sebagai anak si ibu itu. Anak perempuan yang gagu, kolok, dan lugu. Neno saat itu main sangat cantik, natural, dan tentu saja bagus. Aktingnya sebagai perempuan muda yang kolok benar-benar meyakinkan. Perempuan kolok itu punya suami, seorang lelaki pengangguran dan pemalas.
Si suami inilah yang kemudian menggerakkan konflik dalam cerita itu. Si lelaki, yang tak lain adalah menantu si ibu, punya keinginan besar untuk menjual tanah mertuanya. Lelaki itu ingin hidup enak dalam waktu cepat, kaya raya, dan setelah itu, apa lagi jika bukan berfoya-foya. Si ibu tetap kukuh mempertahankan tanahnya meski menantunya terus mendesak.
Sampai akhirnya si ibu tiba pada sebuah dilemma. Ia harus memilih antara kukuh untuk mempertahankan tanahnya dan memilih untuk mempertahankan kebahagiaan anak perempuannya yang kolok itu. Sebab, ternyata suami anaknya — si lelaki pemalas itu — mengancam menceraikan si perempuan kolok jika si ibu tak mau menjual tanahnya. Si ibu tahu, anaknya sangat mencintai lelaki itu, dan si ibu juga mencintai anak perempuannya.
Sinetron itu ditutup dengan sangat miris dan menyedihkan. Si ibu akhirnya menyerah. Ia menjual tanahnya, dan semua uang diberikan kepada anaknya, si perempuan kolok. Si perempuan kolok kemudian mencari suaminya bermaksud untuk menyerahkan segepok uang hasil penjualan tanah itu. Tapi suaminya diketahui pergi ke bandara hendak berangkat keluar negeri.
Perempuan kolok itu mengejar suaminya hingga ke bandara dan menemukan sang suami menggandeng seorang perempuan bule dan sudah siap naik pesawat. Si perempuan kolok meminta suaminya kembali dan menunjukkan begitu banyak uang hasil penjualan tanah, namun sang suami menolak dan tetap pergi bersama perempuan bule itu.
Maaf, saya benar-benar tak ingat nama tokoh dalam sinetron itu. Yang saya ingat hanya dua pemerannya, yakni Renny Jayusman sebagai ibu dan Neno Warisman sebagai perempuan kolok. Saya ingat betul bagaimana ekspresi wajah Neno Warisman ketika bermain sebagai perempuan kolok yang lemah, terutama di bagian ending, ketika ia ditinggalkan suaminya yang kepincut perempuan bule di bandara. Saya ingat betul. Dan saya mengagumi Neno Warisman sampai bertahun-tahun kemudian.
Kehebatannya bermain dalam sinetron Aksara Tanpa Kata itu memang tak bisa dilupakan. Itu memang sinetron berkualitas dengan sutradara Irwinsyah, seorang sutradara yang punya kualitas melebihi rata-rata sutradara sinetron pada zaman sekarang ini. Irwinsyah banyak melahirkan sinetron penting pada zaman jayanya TVRI, sehingga sinetron saat itu jadi salah satu acara andalan dan ditunggu-tunggu pemirsa.
Maka tidaklah mengejutkan Aksara Tanpa Kata menjadi jawara pada Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun 1992. Irwinsyah saat itu ditetapkan sebagai sutaradara terbaik, Renny Jayusman sebagai Aktris Pembantu Terbaik, dan Neno Warisman ditetapkan sebagai Aktris Utama Terbaik.
Saya menulis artikel ini bukan untuk maksud apa-apa. Asal tahu saja.
Asal tahu saja, bahwa Neno Warisman yang puisinya kini banyak dibincangkan, diberitakan, dan dipolemikkan, itu pernah bermain sinetron dan berperan sebagai perempuan muda Bali yang kolok.
Asal tahu saja, bahwa sinetron zaman kejayaan TVRI itu jauh lebih berkualitas dari kebanyakan sinetron-sinetronan pada zaman banyaknya stasiun TV saat ini.
Asal tahu saja, dulu, sekitar tahun 1990-an, cerita tentang Bali, di mana sekelompok warganya ramai-ramai melepaskan tanah warisan, pernah dibuatkan cerita yang bagus dalam sebuah sinetron yang bagus.
Asal tahu saja, dulu saya sangat mengagumi Neno Warisman, dan kini entahlah, saya sudah tak tahu lagi apa yang bisa dijadikan ukuran untuk mengagumi seseorang, terutama seorang artis di zaman perpolitikan yang kacau-balau ini. [T]