PPL (Program Pengalaman Lapangan) bagi saya adalah pembelajaran sekaligus mengenang masa lalu dan mengenang masa-masa SMA dulu. Mengenang kembali bahagianya bangun pagi, mengenang lagi senangnya berbaris rapi dan mantapnya hidup teratur lagi.
Setelah sekian tahun hidup di masa kuliah, rasa-rasanya memang mudah berkata jika hidup anak kuliahan dan hidup anak SMA memang beda. Kali ini, saya mantap akan berkata hidup SMA perlu kedisiplinan yang lebih tinggi dibanding masa kuliah.
Sebagai informasi, saya melangsungkan PPL di sekolah menengah kejuruan SMK). Namun tetap saja hampir tidak ada perbedaan signifikan dengan sekolah menengah atas (SMA) selain mata pelajaran dan praktek.
Di masa SMA/K kalau kita tak bangun di bawah jam 6 atau 7, sudah pasti akan ditunggu oleh OSIS di depan pintu gerbang. Sedang di masa kuliah, syukur-syukur bisa bangun dibawah jam 7, dibawah jam 8 saja susah. Apalagi dibawah jam 6. Selain itu, tak ada siapa-siapa yang akan menjaga di depan pintu gerbang.
Jikalau apes, biasanya dosen meyuruh keluar dan belajar diluar. Mantap. Jadi kalau ada mahasiswa yang berkata kuliah itu harus disiplin, berarti siswa SMA/K sudah lebih disiplin. Saya sendiri termasuk orang beruntung yang jarang terlambat.
Di masa PPL, barangkali memang apa yang paling penting adalah diri sendiri. Beberapa kali saya merasa ada yang tidak beres dengan apa yang saya pelajari di kampus dengan apa yang terjadi di lapangan.
Selama ini, saya menganggap semua akan berjalan lancar seperti saat saya praktek mengajar di salah satu mata kuliah. Saya pikir siswa akan benar-benar duduk diam tenang dan menjawab segala macam pertanyaan atau setidaknya bisa bertindak seperti saya (kami mahasiswa PPL) saat diajar oleh mahasiswa PPL di masa SMA silam.
Zaman berubah begitu pula siswa. Jadi keluhan-keluhan yang berkata “Aku dulu padahal ngga gitu” atau “Kok siswanya berani-berani sekarang ya?” dan keluhan-keluhan lainnya saya rasa sebaiknya tidak usah dilontarkan. Karena mereka tidak hidup di masa kita.
Maka di sinilah pembelajaran dimulai. Belajar bagaimana mengajar yang benar. Lho memangnya ada mengajar yang salah? Ada. Mengajar sambil berpikir kapan bel berbunyi. Terdengar aneh memang, tapi itulah yang saya alami saat pertama kali mengajar di sini.
Rasa-rasanya memang 40 menit pertama terasa lama sekali. 40 menit kedua terasa jauh lebih lama dan sebelum 40 menit ketiga saya sudah tidak tau apa yang harus saya lakukan karena saya merasa semua materi hari itu sudah saya sampaikan. Selama masa-masa itu, apa yang paling sering muncul di kepala saya adalah “kapan belnya ya?”.
Hahaha, ciri-ciri orang kurang kreatif padahal sejak dulu dosen selalu mengingatkan untuk kreatif kalo jadi guru. Saya jadi malu. Tentu awalnya saya menyalahkan siswa-siswa yang kurang kooperatif dan menyalahkan kenapa jam belajar selama itu. Mulailah muncul pikiran-pikiran ngawur seperti seandainya saya mengajar di kelas itu, seandainya saya mengajar di sekolah itu sampai seandainya sistem negara ini seperti sistem negara itu.
Keluhan-keluhan serupa juga sesekali dilontarkan teman satu sekolah maupun teman satu angkatan. Pada tahap selanjutnya saya mulai mengajar benar-benar dengan keinginan saya sendiri tentunya dengan rencana yang sudah ditentukan sebelumnya. Kelas banyak saya isi dengan cerita masing-masing siswa.
Di sini, barulah siswa-siswa mulai terbuka. Saya mulai belajar bagaimana mendengarkan. Iya, saya belajar mendengarkan. Selama ini di kelas kerap kali saya berkata “Tolong dengarkan saya”, “Tolong hargai saya berbicara di depan”, “Dengarkan kalau saya menjelaskan” dan lain-lainnya.
Siapa yang tahu, jangan-jangan siswa jauh lebih perlu didengarkan saat pembelajaran dimulai. Demikianlah seterusnya. Barangkali apa yang salah selama ini adalah saya sendiri yang cuma ingin didengarkan.
Pembelajaran selanjutnya yang cukup menarik bagi saya justru adalah saat saya memberikan ulangan. Seringkali saya melihat guru-guru di SMA dulu memberikan soal dengan jumlah butir yang banyak dan bisa sampai 3 lembar. Berangkat dari sana, sayapun melakukan hal sama ditambah dengan dua paket yang berbeda. Soal selesai, saya siap memberikan ulangan.
Sayangnya saya bukan guru atau lebih tepatnya sedang tidak bekerja sebagai guru. Saya setengah pengangguran. Ternyata biaya mencetak ulangan tiga lembar dikali 40 cukup membuat saya terdiam. Disinilah saya belajar membuat soal pendek dan memaksa otak saya mau kreatfi dalam menciptakan soal. Tentu saja, tujuan utamanya agar tidak mahal haha.
Sampai sekarang setidaknya saya sudah belajar bangun pagi, belajar tertib, belajar tertib dan belajar membuat soal yang efektif sesuai materi dan tentunya sesuai kantong. Ternyata membuat soalpun perlu menyesuaikan dengan kantomg juga. Ooh, saya lupa. Ada satu yang tetap sama saat siswa menghadapi mahasiswa PPL. Terlepas dari perbedaan jaman dan lain-lain. Yakni goda-menggoda dari siswa. [T]