Debat calon presiden edisi pertama yang sekaligus menjadi jilid kedua debat secara umum telah terlewati, Minggu 17 Febriari 2019, tadi malam. Layaknya debat pertama tempo hari, hari ini media sosial sudah mulai dipenuhi dengan tanggapan para warganet. Dan, seperti biasa juga, tanggapan itu menjadi lebih beragam karena telah dibubuhi perspektif dan subjektivitas setiap individu.
Masuknya subjektivitas dan perspektif yang berbeda dari setiap warganet itu sekaligus meningkatkan daya tarik bagi debat itu, atau lebih tepatnya situasi pascadebat. Warna debat menjadi bertambah. Ia juga menambah kadar imajinasi dan interpretasi melalui visualisasi kartun atau gambar lain yang memang lebih nyaman ditangkap otak, kendati dalam waktu yang sama agak menjauhkan dari objektivitas keadaan debat, juga fakta lapangan.
Dan, yang paling penting, tanggapan warganet ini membuat keadaan pascadebat menjadi lebih menghibur dibandingkan saat debat itu sendiri, yang mungkin saja dipenuhi ketegangan. Ketegangan yang coba disiasati oleh para penonton dengan melibatkan Tuhan dalam doa dalam hati agar calon yang didukung tidak melakukan blunder.
Hiburan itu hadir melalui konten media sosial yang memberikan peluang untuk menertawakan orang lain. Terutama mereka yang berseberangan. Memberikan kesempatan untuk mengumpat orang lain, dalam hati. Bahkan, juga kesempatan untuk menertawakan diri sendiri karena antusias membela calon yang didukungnya baik dalam posting maupun komentar, sementara di awal Senin tetap harus memulai aktivitas dengan kaki dan tangannya sendiri.
Hal itu sepertinya ditangkap dengan baik oleh sebagian pemuda di Bali. Saat sebagian lainnya bertaruh emosi di depan di layar kaca, mereka lebih memilih untuk datang ke Bale Banjardan melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Pekerjaan itu harus sudah tuntas sebelum tanggal 6 Maret nanti. Bergelut dengan bambu, kertas, kain, lem, kawat, dan kawan-kawannya.
Pikiran mereka sepertinya hanya untuk menyelesaikan ogoh-ogoh, kendati sebagian dari mereka yang datang ke Bale Banjar justru sibuk dengan telepon pintarnya, apalagi sekarang Bale Banjar telah dipasang wifi, di Badung. Tapi, mencoba berpikir positif, setidaknya mereka ada di Bale Banjar sebagai pengembira. Kendati belum diketahui secara pasti sebagai pengembira diri sendiri atau pengembira mereka yang berpeluh bekerja.
Tak ada pembahasan debat calon presiden di Bale Banjar saat debat berlangsung. Mereka sepertinya tak memerlukan informasi tentang itu. Yang ada adalah obrolan tentang kapan baju ogoh-ogoh akan selesai, apa warna ogoh-ogoh, kain apa yang cocok untuk menghias ogoh-ogoh, berapa uang kas yang masih tersisa, kapan bantuan dari pemerintah cair, hingga yang paling serius tentang bagaimana caranya untuk mengurangi jumlah pemuda nampi beres yang datang ke banjar lalu duduk bermain telepon pintar.
Awalnya, itu terlihat mengkhawatirkan karena mereka sepertinya antipati. Setelah ditelusuri dan berkaca pada debat pertama, mereka memang tak antusias saat debat berlangsung. Namun, keesokan harinya, keadaan debat kemarin malam justru menjadi topik hangat, bahkan panas.
Saling mencari dan memperlihatkan posting Instagram dan Facebook yang menunjukkan Ma’ruf Amin yang dikatakan sebagai pelengkap, tentang Sandiaga yang dikatakan menjadi tukang pijat di saat jeda bekerja sembari menghirup asap rokok. Di sana, terjadi berbagai olokan dan umpatan yang justru sangat menghibur. Berbeda dengan saat debat berlangsung yang dipenuhi ketegangan penonton. Itu seperti menghapus lelah dalam proses menyelesaikan ogoh-ogoh.
Hal itu pada akhirnya memunculkan dugaan subjektif bahwa sebagian pemuda itu lebih memilih menangkap debat sebagai hiburan melalui sosial media. Atau substansi debat yang katanya untuk menjabarkan program dan visi-misi itu digeser oleh mereka menjadi tempat menghibur diri. Ini sepertinya adalah ketidakinginan mereka menambah beban pikiran dan perasaan yang telah habis terkuras oleh rutinitas pekerjaan.
Dari sisi lainnya yang lebih serius, artinya, tujuan diadakannya debat tak sampai pada mereka.
Sehingga, dalam hal ini mereka bukan antipati, mereka hanya memilih melihat konteks debat itu dari sudut pandang yang berbeda. Dan, dari perspektif personal, ini adalah manfaat yang diberikan oleh media sosial. Oleh orang-orang kreatif pemilik media sosial itu. Kendati dari sudut pandang lain media sosial ini memang mempertajam segmentasi masyarakat.
Sebuah angan-angan kemudian muncul, mungkinkah debat tidak dilakukan oleh para calon presiden dan atau calon wakil presiden, tetapi dilakukan oleh para stand up comedian yang dikontrak oleh tim sukses masing-masing calon untuk berdebat dengan humur dan candaan.
Bukankah serius tak melulu berarti beresensi dan bercanda tak selalu berarti ngawur?! Bukankah selalu ada jalan ketiga?! Sehingga, mereka yang disebut tadi, selain mendapatkan hiburan yang memang mereka butuhkan, juga mendapatkan esensi debat yang diinginkan oleh KPU, yang diinginkan oleh Negara.
Pada akhirnya, perlu dinanti yang akan terjadi nanti malam di Bale Banjar setelah debat kemarin malam. Apakah “jagung bersatu”, “unicorn”, akan menjadi bahan untuk mengolok-olok, atau beberapa kekeliruan data petahana yang dijadikan alat mengumpat teman, menertawakan teman, atau menertawakan diri sendiri? Jawabannya hanya bisa didapat saat datang ke Bale Banjar nanti malam.
Sehingga, ucapan terima kasih memang perlu diberikan kepada para pemilik media sosial yang telah memberikan ruang hiburan bagi mereka yang meletakkan prioritas warisan leluhurnya,ogoh-ogoh, di atas perdebatan calon presiden kemarin malam. [T]