Mengungkapkan rasa sayang di hari spesial sangat dinantikan. Seperti laron mencari cahaya begitula tingkah yang dilakukan anak muda sekarang saat mencurahkan rasa sayang kepada orang spesial.
Sebetulnya Bali memiliki rasa kasih sayang seperti Hari Valentine tapi tidak ada orang yang tau tentang hal itu. Mungkin pengaruhnya kurang atau tidak merasa kekinian tidak relevan di zaman sekarang. Ungkapan kasih sayang tidak sebatas pada kekasih saja melainkan semua orang tidak terkecuali.
Jati diri Bali sebetulnya telah menginplementasikan kasih sayang kepada semua insan hidup semesta. Cuma permasahalan belum paham betul tentang filosofinya. Mengikuti tren boleh saja tapi kembali ke jadi diri kita sebagai orang Bali yang telah diwariskan berbagai budaya dan kearifan lokal penuh makna.
Sumringah merayakan hari sayang sebatas seremonial belaka, tapi kalau bisa dilakukan terua menerus. Kembali hari kasih sayang vesi Bali, tumpek krulut adalah upacara yadnya yang dirayakan setiap Sabtu Kliwon wuku krulut.
Bertepatan dengan itu umat Hindu Bali mengadakan persembahan kepada Hyang Iswara sebagai dewa keindahan. Umumnya umat hindu menggunakan banten sesayut lulut asih sebagai simbol kasih sayang kepada semua makhluk.
Sesungguhnya hari tumpek krulut berhubungan dengan ritual yang berhubungan dengan gamelan atau alat musik tradisional yang mengeluarkan suara keindahan yang suci. Upacara dilakukan dengan tujuan agar perangkat suara memiliki suara keindahan dan taksu. taksu dan keindahan akab melahirkan gerak nan indah sebagai unsur seni. Atas keindahan tersebut, seni bisa menjadi hiburan yg dapat mengahorminasasi kehidupan.
Menurut Dosen IHDN I Ketut Sandika, S.Pdh. MPd, cinta dalam arti sempit identik dengan rasa cemburu, iri hati, kemarahan rasa keakuan dll. Namun, cinta kasih dalam kaitanya tumpek krulut adalah menumbuhkan cinta universal, bahwa semua adalah saudara yang harus disayangi. vasudewa kuthumbakam semua adalah saudara.
Dan, kondisi yang demikian akan dicapai, jika perayaan tumpek krulut dilaksanakan dengan perenungan diri, dan menggunakan banten sesayut lulut masih sebagai simbol agar hati selalu bisa menyatu dengan keindahan dan diimbangi dengan kesucian (satyam, siwam dan sundaram).
Dia mengakui perubahan jaman dan keterbukaan tidak bisa kita pungkiri begitu saja, tapi tetap memegang tebuh apa yang sudah diwariskan kepada kita sebagai akar jadi diri menjalankan kehidupan masa sekarang dan nanti. (T)