Bali sebagai daerah pariwisata sudah memiliki Peraturan Gubernur tentang penggunaan sampah plastik. Denpasar sebagai salah satu kota di Bali, sudah lebih dulu mengeluarkan peraturan mengenai hal yang sama.
Tetapi jauh daripada itu sudah banyak komunitas atau gerakan masyarakat yang menyuarakan hal ini dan tempat kerja saya juga sejak dibuatnya sudah berkata tidak pada plastik.
Sebagai sekolah alam yang menekankan pada “sustainability”, tempat kerja saya sudah membiasakan seluruh komunitas (guru, staf, orang tua) dalam sekolah itu untuk menjaga lingkungan, tidak memakai sampah plastik, hingga membiasakan dengan makanan-makanan organik.
Misi ini dilakukan untuk menjaga alam agar lebih berkesinambungan. Saya ingat dulu awal-awal saya bekerja di sekolah ini, saya membawa tas plastik (kresek) berisi banten pejati, kemudian belum sampai saya di padmasana, saya sudah ditegur oleh satpam di gerbang sekolah.
Sungguh, prilaku saya mencintai lingkungan pun berubah. Jujur, saya juga pernah membuang sampah di sembarang tempat, membuang-buang air pada saat mandi, acuh tak acuh pada lingkungan, namun pelan pelan perilaku itu berubah seiring saya bekerja di sekolah alam ini. Saya lebih menghargai dan mencintai alam.
Contoh sederhana, apabila sedang di mobil saya tidak membuang sampah dengan hanya melempar di jendela. Pendidikan-pendidikan ini tidak terbentuk hanya sekedar dalam ucapan dan teori, namun merasuk dalam ranah pengimplementasian. Mengubah kebiasaan buruk memang tidak mudah, namun memaksa sedikit dan keteladanan dari orang-orang sekitarlah yang membuat kebiasaan buruk itu berubah.
Lantas bagaimana cara guru mengajarkan anak-anak di sana agar memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya?
Setiap hari anak-anak memiliki waktu untuk duduk bersama, entah bercerita tentang liburan, ataupun pedoman-pedoman pendidikan karakter yang guru ajarkan. Pengajaran pendidikan karakter salah satunya mencintai lingkungan, saling menghargai dan menghormati orang lain, empati, dengan berbagai cara.
Cara-cara kreatif ini seperti permainan drama, kemudian menonton videonya, memberikan keteladanan, lewat permainan kartu atau flash card karakter, dengan pengulangan-pengulangan setiap hari ini dan berbagai macam cara inilah terbentuk kebiasaan yang bagus dari anak-anak.
Mereka mengalami dan merasakan langsung pengalaman pendidikan karakter ini. Misal saya ambil contoh pada saat pagi hari sebelum mulai pelajaran atau “community time”, anak anak diminta membuat drama singkat tentang lingkungan.
Mereka akan berpikir, berdiskusi dengan teman satu kelompoknya tentang satu kejadian yang ingin mereka angkat. Setelah selesai, mereka akan menampilkan kepada teman-temannya dan memberikan komentas.
Ketika semua kelompok sudah tampil, mereka akan berdiskusi bersama dengan guru untuk mencari satu kesimpulan. Dengan cara-cara inilah saya melihat sebagai pendidik efektif menumbuhkembangkan karakter-karakter baik pada anak.
Pernah suatu kali, saya meminta mereka menggambar tangan mereka dan menuliskan hal-hal baik yang sudah dan akan mereka lakukan sesuai pedoman pendidikan karakter IRESPECT, yakni Intergrity (integritas), Responsibility (tanggung jawab), Empathy (empati), Sustainability (keberlanjutan), Peace (kedamaian), Equality (kesamaan) dan Trust (kepercayaan).
Mereka akan menuliskan prilaku-perilaku dan mengimplementasikannya. Selan itu pula, menjadi pendidik berarti menjadi teladan bagi anak-anaknya. Dan tugas kita adalah memberikan keteladanan tentang pendidikan-pendidikan karakter yang baik.
Pengulangan inilah yang membuat penumbuhkembangan pendidikan karakter ke anak menjadi lebih baik. Pendidikan tidak lagi melulu soal kata dan teori, tetapi pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari karena keteladanan akan jauh lebih baik daripada nasehat. (T)