Seni rupa Bali ramai lagi. Setidaknya hal itu yang akhir-akhir ini berkelindan dalam pikiran saya.
Beberapa bulan menjelang berakhirnya tahun 2018 dunia seni rupa Bali kembali ramai dan itu tentu saja hal yang harus diapresiasi.
Buku Art World tulisannya Howard S. Becker saya tutup, kopi di meja kemudian saya sruput, saya membayangkan sebuah dunia seni yang saling terintegrasi, memunculkan wacana baru, kecenderungan baru atau bahkan konflik baru yang terkelola dengan baik.
Ah saya merasa berdosa kemudian, tertinggal event-event besar dan kecil di penghujung tahun, ya.. Saya akibat jeleknya manajemen waktu saya dari ragam kegiatan-kegiatan yang menuntut deadline cepat menyebabkan ruang dan waktu saya menjadi agak terbatas, akan tetapi saya cukup beruntung dengan platform media sosial yang banyak menampilkan foto-foto terkait event yang saya lewatkan.
Setidaknya melalui jejak digital saya menjadi penikmat pasif, melalui dokumen-dokumen digital teman-teman yang menonton juga berpartisipasi aktif dalam event tersebut saya seolah ikut mengapresiasi fenomena yang terjadi dalam dunia seni rupa Bali yang memang lagi ramai pun bergairah. Di sini saya mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang sudah membagi gambar-gambar suasana pameran ataupun karya yang dihadirkan.
Dari event kecil hingga skala besar, pameran tunggal, pameran kelompok, ruang alternatif, art space, art studio, art gallery yang dalam realitanya tidak pernah sepi di Bali, namun hal yang terjadi adalah selalu saja event atau ruang tersebut terlewat begitu saja, mungkin karena pengemasan event yang masih di kelola oleh senimannya sendiri sehingga wacana yang ingin dikumandangkan masih samar terdengar. Sampai pada akhirnya di bulan-bulan penutup tahun 2018 dihelat dua event penting bagi seni rupa Bali, Art Bali dan Arc of Bali.
Dua event ini tentu saja menjadi angin segar bagi para perupa khusunya untuk dapat terlibat di dalam gelarannya atau sedikit tidaknya melihat langsung, dengan begitu bagi perupa muda di Bali akan mendapat gambaran tentang kekaryaan yang segar yang dewasa ini menjadi kecenderungan dunia seni rupa Indonesia secara umum juga Bali secara khusus. Di titik ini juga saya ingin menekankan bahwa saya bukanlah seorang pengamat seni, karena keferbatasan ruang dan waktu saya hanya dapat menikmati karya-karya dalam event tersebut hanya secara pasif.
Art Bali tentu saja event yang dinanti mengingat kesuksesan Art Jog yang di bawah payung manajemen Heri Pemad, senimannya juga pilihan dari perupa Indonesia pilihan, di dalamnya tercipta muara atas kecenderungan kekinian perupa Indonesia termasuk Bali. Mitos menjadi subject matter utamanya, tempatnya di kawasan Nusa Dua yang berbarengan gelarannya dengan IMF dan World Bank. Tentu saja hal ini menjadi terkesan sangat eksklusif, namun tetap saja ramai diperbincangkan, entah itu kasak-kusuk perihal perupa yang tampil sampai karya-karya dengan kecenderungan monumental.
Arc of Bali, gelaran event yang dirancang annual besutan tim Gurat Institute diketuai oleh I Wayan Seriyoga Parta bersama Rich Stone Artnya I Ketut Putrayasa, mewadahi perupa muda Bali (mereka yang berkarya di Bali juga seniman muda Bali yang tinggal di luar Bali). Mengambil tempat di Shopping Mall, menghadirkan capaian para perupa muda yang menggali segala kemungkinan visual yang anyar juga fresh. Tentunya event ini menjadi ajang bergengsi bagi perupa-perupa muda karena di dalamnya ada penyematan penghargaan bagi perupa dengan karya terbaik.
Dua event besar tersebut di bulan penghujung tahun 2018 memberi harapan segar bagi lingkup dunia seni rupa Bali. Sebagaimana konsepsi Art World dalam Howard S. Becker bahwa medan sosial seni rupa adalah integrasi atas semua yang turut ambil bagian di dalamnya, perupa, kurator, kritikus, penulis, pengamat, penikmat, art gallery, museum, manajemen, kolektor, dan lainnya. Keseluruhan elemen ini menjadi penguat atas infrastruktur dan sumber daya seniman yang memiliki efek terhadap seni rupa Bali.
Saya sangat berharap di tahun depan, event seperti ini kembali terjadi pasca paceklik event annual, biennale, trienale yang jarang terjadi di pulau kecil ini. Pasca Bali Biennale contohnya di tahun 2005, memang banyak event skala besar semacam pameran tiga kelompok, Apa Ini Apa Itu yang bertempat di Lepang Klungkung, Bali Art Society yang menggagas opening tiga tempat berbeda, Bali Act, akan tetapi event tersebut dihelat besar-besaran dan sungguh sangat disayangkan kemudian tidak berlanjut, padahal jika berlanjut maka Bali akan memiliki banyak event seni rupa yang seru di luar pameran produk industri annual ala PKB di taman budaya Art Centre yang digawangi oleh pemerintah provinsi.
Oh iya, saya lupa untuk kawan-kawan yang fotonya saya ambil untuk melengkapi catatan ini, saya sangat berterima kasih banyak sudah berkabar via jejaring sosial. Selamat ngopi, selamat beresolusi, selamat menyambut tahun baru dengan semangat. (T)