Seniman Dona Arissuta menampilkan karya-karya dengan medium lukisan, terakota dan porselin yang dibingkai dengan tema Cosmic Turn.
Judul tersebut di sisi satu sisi merefleksikan hadirnya kosmologi yang telah hilang lewat karya-karyanya, dan di sisi lain kosmologi itu diasumsikan masih ada namun tidak lengkap atau telah jauh dari realitas sosial sehingga perlu diundang agar manifes kembali. Dalam pengertian pertama, Dona menampilkan karya-karyanya layaknya sesaji untuk mengundang sebuah wawasan yang telah lenyap, sedang dalam pengertian kedua ia sedang menyatakan kembali—secara lebih gamblang dan baru—sebuah wawasan yang telah semakin abstrak atau hampir punah.
Jika melihat kosa kata visual dan judul karya-karyanya, Dona tengah merasa berada dalam tatanan sejarah yang tidak ia inginkan namun harus dialami. Ia merasa terasing dan tidak nyaman di tengah realitas di mana ia berada, dengan segala sesuatu ditata dalam format yang kurang sesuai dengan struktur mental dan nalarnya. Karena itu ia merasa perlu menghadirkan tradisi dan kosmologi yang dianggap selaras dengan cara mengingat kembali—sebagaimana sosok Ganesha, dan bersama dengan itu muncul sosok Semar sebagai pusat mandala dari tata kosmologi Jawa—latar belakang kultural Dona.
Dengan mengingat itulah, bagi Dona yang mengajar seni rupa UNS Surakarta dan kandidat doktor di ISI Jogja ini, ia akan mampu bertahan menjalani hidup dalam realitas yang ditata tidak sebagaimana latar belakang kulturalnya. Dalam ingatan Ganesha itulah, bagi Dona, warisan lama itu dipelihara—dengan sosok Semar sebagai bentuk “superkonduktor” yang merangkum bentang kosmologi tersebut. Setelah mengingat, Donna lantas mengejawentahkan ingatan tersebut dengan menampilkan Ganesha dan Semar di tengah figur-figur dari peradaban yang berbeda. Dan sebuah kosmologi yang perlahan hilang atau menguap, sebuah tradisiyang kian terasing, dapat hadir kembali dalam realitas kontemporer.
Hal yang menarik dari pameran Cosmic TurnDona ini adalah adanya ambiguitas atau bahkan friksi antara Ganesha dan Semardi satu sisi dan figur-figur dari peradaban lain serta konteks kehadirannya dalam ruang seni rupa kontemprer. Hal tersebut di satu sisi menunjukkan adanya dialog antar entitas dari peradaban dengan kosmologi yang berbeda, namun disisi lain bisa berarti alienasi dan bahkan “pertengkaran” antara—dalamkategorilebih umum dan sederhana—tradisi dan modernitas. Apapun yang sesungguhnya terjadi atau dialami oleh Dona, hal tersebut merefleksikan bahwa ia hidup dalam tarik-menarik antar kosmologi, peradaban dan tradisi yang berbeda, tidak hanya secara sosial namun juga secara mental dan intelektual.
Sebagaiorang Jawa Dona hidup dalam kosmologi tradisionalnya, sebagai seniman modern ia hidup dengan materialitas, konseptualisasi dan mekanisme kerja yang berbedadari tradisinya. Bahkan lebih jauh lagi, modernitas dunia seni rupa Dona hanya bagian kecil dari tatanan modernitas yang lebih besar, dengan makna dan orientasi yang sama sekali berbeda dari tradisinya. Dalam konteks ini, sosok Dona adalah metafor dari banyak orang Indonesia lainnya yang hidup dalam dua atau tiga kosmologi yang berbeda. Di satu sisi ia adalah orang Jawa, dan di sisi lain ia hidup dalam tata nilai, benda-benda dan cita rasa modernitas yang bukan dari dan belum tentu selaras dengan latar kulturalnya. Namun begitu, berbagai kosmologi sama-sama tak bisa ditolak, sehingga alih-alih bertarung dalam benak lebih baik dilebur dalam dan menjadi karya-karya yang akan dipamerkan di Miracle Print, Suryodiningratan, Jogja, mulai 21 Desember 2018 – 18 Januari 2019.
Dengan keterampilannya, Dona membuat figur-figur dari dua kosmologi tersebut dari keramik—buah inovasi klasik manusia yang bertahan hingga kini. Tokoh wayang dan gunungan bersanding dengan patung-patung fauna berlatar lukisan floral, juga manusia-manusia dalam gaya naif sebagai hasil deformasi realisme modern dengan pipa sebagai ungkapan empati pada nasib para petani tembakau. Dan bersamaan dengan karya-karya yang “bermakna”, juga muncul karya-karya yang “berfungsi”dalam rupa cangkir dan lodong. Dengan kemasan penuh warna-warna riang, bentuk-bentuk naif dan judul-judul yang hangat, pameran Dona tak ubahnya sebuah festival yang mendamaikan ketegangan dari persinggungan berbagai kosmologi yang berbeda—baik tatanan, cara kerja dan orientasinya.
Transformasi Kosmologi
Barangkalitidak ada fase dan jenis peradaban dengan volume benda-benda sebanyak peradaban saat ini. Populasi manusia yang terus meningkat membentuk daftar permintaan konsumsi yang tinggi, sehingga memaksa inovasi demi percepatan produksi dan distribusi menuju kantong-kantong hunian manusia. Bersamaan dengan itu, ekonomi pertumbuhan telah membentuk stratifikasi sosial dengan kebutuhan spesifik masing-masing, sehingga inovasi tidak semata pada aspek produk dan produksi, tetapi juga terkait pembentukan tata nilai demi rasionalisasi harga komoditas yang digulirkan kepada konsumen.
Dengan cara itulah, aneka ragam benda yang memenuhi perdaban ini hadir dalam persepsi kita sebagai sebuah struktur yang tertata dalam berbagai jenis, level dan segmen, terorganisir dengan baik sebagai sebuah sistem pengetahuan,sehingga peradaban kepitalisme ini menjadi masuk akal bagi sekitar tujuh miliar manusia. Seandainya benda-benda tersebut hadir sebagai kumpulan barang yang tidak tertata dan teratur, niscaya kapitalisme sebagai mesin penggerak peradaban ini sudah ditinggalkan dan diganti model-model yang lain, dan barang-barang produksinya tak ubahnya rongsokan yang memenuhi bumi layaknya penampungan sampah raksasa.
Kecanggihan kapitalisme, dengan demikian, bukan hanya sebagai konsep ekonomi namun juga konsep kultural. Itulah yang membuat ia bisa menjadi tahapan lebih lanjut dari migrasi manusia setelah menghuni peradaban-peradaban lain dan dari fase sebelumnya karena keduanya memiliki karakteristik sebagai sebuah tatanan yang teratur dalam pikiran manusia—sebagaimana tampak pada peradaban berbasis etnis dan agama atau gabungan dari keduanya. Bedanya adalah, dalam peradaban kapitalismevolume produksi barang lebih cepat dan massif dibanding produksi maknanya, sehingga manusia sendiri kemudian menjadi objek dan bukan subjek di dalamnya.
Sedang peradaban non-kapitalis, jumlah produksi barangnya tidak terlalu massif mengingat basis produksinya yang masih sederhana, biasanya berupa pertanian danmanufaktur kecil dengan teknologi secukupnya. Namun begitu, produksikulturalnya bisa tumbuh luar biasa, sehingga sejenis makanan atau kain tenun sederhana bisa mengandung pengetahuan satu buku tersendiri. Dengan kata lain, peradaban tradisional defisit secara material sehingga membentuk ikatan soliddalam keterbatasan barangnya lewat deskripsi kultural yang tebal, sedang peradaban kapitalisme mengalami cukup miskin secara kultural sehingga tidak sedikit orang yang memiliki kelimpahan harta benda namun tidak mengetahuidengan baik manfaat dan fungsinya.
Namun, apa yang membuat manusia dapat hidup dalam dua model peradaban tersebut adalahpersamaan bahwa keduanya merupakan sebuah tatanan pengetahuan yang teratur sehingga dapat dipahami, dihuni, dan kemudian dikembangkan. Horison realitas dalam berbagai peradaban sebagai sistem pengetahuan yang teratur itulah, dengan karakteristik dan persoalannya masing-masing, membuat setiap peradaban disebut sebagai sebuah kosmologi, kendati basis ontologis dan kosmogoniknya berbeda-beda atau bahkan bertentangan.
Peradaban kapitalisme yang berjubel benda-benda berakar jauh pada era Pencerahan yang sekuler, di mana keberadaan manusia dan realitas merupakan sebuah lanskap yang terbentang tanpa campur tangan Ilahi. Sebaliknya, peradaban-peradaban tradisonal membentang realitas sebagai pancaran dari wawasan Ilahi yang bersifat suci. Dalam peradaban kapitalisme, sejarah bergerak tanpa kekuatan metafisis—katakanlah sebuah “narasi besar”—yang mengendalikan gerak danorientasinya, sedang dalam peradaban-peradaban tradisional sejarah bergerak sebagai manifestasi dari kehendak Yang Maha Suci, sesuai siklus ekonomi alami—pertanian dan lautan—serta siklus hidup dan kalender politis dari pararaja dan sultan keturunan Dewa.
Mendamaikan Pertentangan
Di bagian belakang rumah Dona berbagai kreasi keramik berjajar dan bertumpuk memenuhi meja, rak dan dinding. Beberapa dari mereka berupa manusia, beberapa yang lain binatang, dan sebagian lagi berupa wadah-wadah. Seluruh entitas ituadalah sebuah dunia yang sengaja diciptakan, hampir sebagai keharusan, agar Dona memiliki tradisi dalam kosmologi peradaban modern. Hanya dengan mencipta para sahabat itulah, baik dari kosmologi Jawa atau modernitasnya, ia akan mampu menjalani sejarah dan takdirnya secara lebih bermakna, selaras dan nyata. Semacam kontemplasi praktikal yang dilakukan bukan untuk mendapatkan ndaru atau pulung, tapi sebagai peleburan berbagai tatanan dalam dirinya, agar batinnya tenang.
Praktik semacam itu, selain sebagai jalan keluar dari ketegangan kultural atau kosmologis, juga merupakan manifestasi lebih lanjut dari kodrat Dona sebagai seorang perempuan yang dikaruniai keceradasan lebih dalam mengelola benda-bendadari ukuran paling mikro seperti aneka bumbu hingga yang besar berupa rumah—wadah manusia, jelmaan artsitektural dari kosmos agung itu. Ia mengatur letak segala sesuatu, menempatkan mereka di sana, merawat dan menjaganya, sehingga semua benda berada dalam tatanan (kosmos) yang telah ditetapkan. Di tengah semua itu, Dona sendiri layaknya seorang ratu, pusat dunia dari kosmologi benda-benda ciptaanya.
Praktik semacam itu mungkin akan berbeda jika dilakukan oleh seorang laki-laki yang kerap kurang cermat dan sabar mengelola mulai bumbu dapur, suara ketel,gorden rumah sampai tagihan listrik sehingga, karena tak kuasa menjadi penguasadi rumah, banyak dari para lelaki pergi keluar dan tampil layaknya penguasa atau sejenis “orang penting” di hadapan dunia. Dengan kata lain, kodrat Dona sebagai seorang perempuan yang dikaruniai kecerdasan dalam mengelola alam bendamemungkinkan dia mampu mendamaikan perbedaan atau bahkan pertikaian kosmologisdi ruang publik cukup di dalam ruang laboratorium domistiknya dengan cara ditransformasikan dan diejawentahkan ke dalam benda-benda yang merupa tokoh-tokoh rekaannya.
Dalam salah satu karyanya, Hard Worker, sikoboi dan mas raden merokok bersama, pula dalam Best Friend di mana boneka kelinci dan lelaki berkumis jalan berpelukan sambil menikmati pipa dari berbagai jenis dan cita rasa tembakau dalam Blended by Taste. Tak jauh dari sana, sosok berkuping panjang serupa kelinci itu menaiki para binatang padaberbagai talenan dalam karya Pilgrim, dan hadirlah tokoh wayang dan prajurit tardisional di antara bunga dan pohonan dalam Cosmic Turn, hingga dalam The Lovely of Few Thing Kakek Semar sipusat kosmologi dan Ganesha si perawat pengetahuan tampil di antara gunungan, flora dan fauna. Pada Sea Eyes Priceses, para ratu memandang dengan mata membelalak, muncul perlahan-lahan dari ceruk sebuah kapal, bersiap memasuki dunia baru—manakala kita membuka sejarah untukmereka—kreasi menakjubkan dari Dona Arissuta, siap memasuki dunia kita. (T)