Aku sempoyongan digelandang warga. Mereka memukul dan menendang. Sri tampak terdiam di atas kasur dipan bambu itu. Diluar rumah Mbah Man sudah berkumpul orang-orang sekampung. Malam penghakiman.
“Ustaz Barseso! Ustaz Barseso! Bakar, bakar hidup-hidup! Pancung! Ustaz tidak tahu malu!”
***
Pagi beranjak pergi, ketika aku tiba dipengadilan. Sidang demi sidang berbagai agenda telah kulewati. Di ruangan tampak pengunjung penuh dan berjubel. Ada yang berdiri di samping kanan-kiri. Hari ini, sidang penentuan nasib. Sidang vonis. Suasana riuk hampir terjadi di setiap sidang. Teriakan hujatan dan gunjingan terdengar nyaring di telingaku.
“Ustaz edan, ustaz gila, ustaz kurangajar. Hukum mati saja Pak Hakim. Dia tidak layak hidup lagi. Melecehkan agama, ceramah hanya kedok.”
Hatiku berdebar, namun aku berusaha tenang, memposisi diri duduk di kursi terdakwa. Di depan majelis hakim penentu nasibku.Vonis hukumanseumur hidup atau mati. Tetapi aku berharap bebas dari semua dakwaan,perzinahan, penipuan, hingga pembunuhan berencana.
Aku memandang langit-langit. Bayangan rangkaian peristiwa dan pertanyaan yang sama ketika aku termenung di pojok kamar rumah tahanan. Pantat mulai terasa panas ketika para hakim memasuki ruangan. Kursi itu seakan-akan menyempit. Hampir setengah jam lebih menunggu. Dari belakang masih terdengar.
“Sudah Pak Hakim, hukum mati saja orang seperti Ustaz Barseso ini! Tembak saja Pak Polisi! Ustaz Barseso tidak layak hidup lagi!”
Satu per satu para hakim menempati kursinya. Pandanganku menoleh ke kiri dan kanan. Dan tanpa sengaja aku menoleh ke belakang. Mataku menangkap ada Dhahar. Orang yang sangat kukenal. Dia yang mengenalkanku dengan Sri dan tokoh yang mengangkat namaku pada puncak ketenaran.
*****
Subuh berlalu, aku melanggengkan diri dengan berdzikir hingga matahari terbit. Setelah tiba waktunya, kusambung dengan salat Duha dan sujud syukur. Suasana hening istimewa. Belum pernah merasakan seperti pagi itu. Di saat kening menempel di atas sajadah, sayup-sayup terdengar suara sesenggukan. Kuangkat kepala. Kucari sumber suara itu. Ternyata ada seorang laki-laki yang bersila di saf depan samping selatan. Seorang bapak muda yang kuperkirakan umurnya lebih muda atau sepantar begitu khusyuk beribadah. Tangisan seolah penuh penyesalan, taubat sepenuh hati. Kuperhatikan mencoba mengenalinya. Bukan orang sini dan bukan santriku.
“Antum dari mana?” kusapa tamu itu.
“Maaf, maaf, maaf, jika kedatangan saya mengganggu ibadah Ustaz Darmin. Saya datang dari kota.”
Aku masih heran dengan tindak-tanduk dan tutur kata tamu itu. Terkesima dengan semangat dan kekhusyukanya. Tamu itu mengaku bernama Dhahar.
“Saya telah durhaka, menelantarkan bapak dan ibu, tidak pernah membalas budi keduanya. Jangankan memberi sesuatu, menjenguk dan mengunjungi pun tidak pernah hingga keduanya meninggal dunia.”
Dhahar berbicara dan bercerita banyak. Ia sedikit demi sedikit memberikan jawaban mengapa ia bisa melakukan taubat seperti itu.
“Satu lagi Ustaz Darmin, saya menghamili orang, lalu membiarkannya, tidak mau bertanggung jawab. Perbuatan itu, bukan kali pertama namun berkali-kali. Foya-foya, lupa Tuhan. Hidup saya penuh dosa.”
“Saya bertemu dengan seorang teman. Ia memberikan saran agar saya taubat dengan sepenuh hati dan diberitahu tempatnya di masjid Ustaz Darmin ini. Alhamdulillah, akhirnya saya menemukan dan melaksanakan semuanya. Betul-betul saya merasakan disini hati tenang, damai, dan tentram.”
Kemudian aku memberikan penjelasan dan Dhahar sesekali mengganggukkan kepala. Aku tertarik karena ia mencapai taubatnasuha yang sulit diperoleh banyak orang, termasuk diriku. Namun jelas tidak mungkin jika aku harus melakukan seperti semua yang dikerjakan Dhahar. Aku tahu itu adalah perbuatan dosa. “Bukan dosa kecil lagi, tetapi dosa besar,” pikirku.
Lalu Dhahar menawarkan gagasan. Mulanya aku menolak, namun akhirnya aku luluh dan mengiyakan.
“Sudah Ustaz, nanti saya yang mengatur. Ustaz Darmin dakwah sama seperti apa yang sudah berjalan di sini. ”Sehari kemudian kamipun berangkat ke kota.
“Satu, dua, tiga, mulai!”
Awalnya aku begitu canggung di depan kamera. Namun berlalu dengan cepat. Aku tak canggung lagi membaca, menghafal, dan menjelaskan ayat-ayat dan isi kitab. Bahkan,sekarang mengisi acara-acaraceramah di tiga televisi dengan kontrak durasi lama.
“Ustaz, ustaz.Ustaz Darmin.”
Begitulah, ketika orang bertemu atau berpapasan denganku. Di pasar dan di mal-mal tak jarang mereka memanggil dan sekadarmenyapa. Begitu juga, di mana pun siaran langsung maupun off air di luar studio, masjid dan panggung terbuka pengunjung selalupenuh. Merekarela datang jauh dari luar kota. Mengerubutiku ingin berjabat, mencium tangan, dan foto bersama.
“Ceramahnya Ustaz Darmin enak didengar dan orangnya juga tampan,” kata beberapa orang.
“Masyaallah, apakah ini jemaah atau penggemarku?”
Aku menikmati hari-hari mengisi ceramah di televisi. Aku telah sejajar dengan ustaz-ustaz yang lebih dulu keluar masuk studio televisi. Jangan tanya berapa honor yang kudapat. Setiap kali tampil ditelevisi Rp 25 juta. Siaran langsung dan undangan tarif Rp 75 juta hingga Rp 100 juta bersih. Seluruh akomodasi dan transportasi ditanggung panitia. Hanya beberapa bulan kekayaanku melesat. Rumah di kotadan mobil mewah berjejer di garasiku.
Namun aku tidak lupa ibadah sosial. Memberikan sumbangan, mendirikan yayasan, panti asuhan, membangun masjid, musala, dan sekolah. Pesantrenku berkembang pesat. Beasiswa tidak hanya untuk studi ke Timur Tengah, namun ke Mesir, Amerika, dan bahkan beberapa negara di Eropa. “Ini berkah dakwah, orang berilmu semakin ditinggikan derajatnya.”
*****
Aku masih memandanginya, dan Dhahar tersenyum kecil.
“Saat inilah waktunya. Hukum tetap jalan. Jika Anda mengikutiku, maka Anda selamat, tetapi jika tidak, maka hukuman menanti.”
Aku ingat betul kata-kata Dhahar waktu itu. Tepat setelah aku digelandang ratusan orang. Aku sempoyongan. Mereka memukul dan menendangku. Sri tampak terdiam di atas kasur dipan bambu itu. Di luar rumah Mbah Man sudah berkumpulorang-orang sekampung. Malam penghakiman.
“Ustaz Barseso! Ustaz Barseso! Bakar, bakar! Bakar, bakar hidup-hidup! Hukum Pancung! Ustaz tidak tahu malu!”
Dhahar seperti juru selamat. Ia tiba-tiba berdiri tepat di depanku. Aku menahan rasa sakit tak terkira. Tubuhku tak mampu digerakkan. Aku terkapar tak berdaya. Sayup-sayup suara riuh malam itu menghilang. Beberapa saat, aku tak ingat apa yang sebenarnya terjadi.
Sebulan lebih menjalani perawatan, aku pulih sedia kala. Aku diasingkan dan memilih diam di rumah. Menolak undangan mengisiceramah dan memutuskan semua kontrak dengan televisi. Handphone lebih banyak kunonaktifkan. Aku juga mematikan televisi. Sejak kejadian itu, hampirseluruh televisi memberitakan diriku dari berbagai sudut pandang. Banyak menyayangkan dan mencemoohku.
“Tidak ada kebaikan dalam diriku. Semuanya telah sirna. Aku taubat.”
Malam telah larut, aku masih terjaga. Kepedihan mendalam dan penyesalan luar biasa. Kegelisahan menyelimuti malam-malamku hingga tak bisa memejamkan mata. Pertanyaan-pertanyaan terlintas. Aku mencoba merunutnya.
“Aku tidak mungkin berbuat sebodoh itu. Aku yakin, aku tidak melakukannya.”
Aku melihat Dhahar mengirim pesan singkat. Tanganku gemetar ketika membuka isi pesan itu. Rasa trauma belum sepenuhnya hilang.
“Sri minta pertanggungjawaban!”
“Ngawurkau! Tidak mungkin. Kau mengada-ada.”
Dhahar menelepon. Ia panjang lebar menceritakan kondisi Sri setelah peristiwa itu. Aku harus bertanggung jawab, termasuk janin dalam rahimnya jika dia hamil. Aib-aib baru akan ramai dibicarakan. Aku semakin tertekan dan kalut membayangkan apa yang bakal terjadi. Masalah belum selesai, kini bertambah pelik. Bingung, bimbang. Dhahar pun menawarkan solusi.
“Kau sudah gila! Tidak, tidak!”
“Semuanya akan berjalan mulus. Yakinlah semuanya aman. Ustaz tidak usah berpikir yang bukan-bukan. Tenang saja Ustaz,semuanya akan baik-baik saja.”
Dua hari kemudian, Sri datang ke rumah. Sekilas kuperhatikan wajahnya pucat. Ia sepertinya dilanda rasa kecemasan. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku belum sempat berbicara banyak.
Aku berikan segelas teh hangat. Kupersilakania minum. Tak lama setelah itu, “Sri! Sri!” ia terjatuh. Akumencoba mengangkatnya dan teriak sekuat tenaga. Warga berdatangan. Mereka berusaha menolong Sri. Namun, Sri meninggal dunia. Ia tewas di rumahku. Tanpa diperintah, tiba-tiba warga menghakimiku. Mereka membawa dan melaporkanku. Dan kini aku jadi terdakwa.
*****
Seketika aku sadar di ujung putusan. Detakjantung berdebar semakinkencang. Dalam pikiran membayangkan mereka yang lebih dulu divonis hukuman matidan dieksekusi. Matidi tangan regu tembak. Cerita-cerita panjang merekayang dieksekusi mati. Dipancung, diseret dengan kuda, dilempar menjadi makanan buaya, diracun, hingga ditembus peluru regu tembak.
Aku mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sesungguhnya. Namun, ini adalah perlintasan. Jalan hidup yang harus kutempuh. Aku sadar betul semua perbuatanku datang dari diriku sendiri, bukan orang lain, apalagi takdir Tuhan. Biarkan kutempuh. Aku ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, fitrah manusia. Aku sepertinya menemukan jawaban-jawaban tentang kebenaran itu.
Tiba saat yang ditunggu-tunggu. Ruang sidang yang semula hening mulai riuh lagi. Petugas menenangkan suasana. Aku dengan seksama mendengarkan amar putusan vonis yang dibacakan Yang Mulia. Dan: “Mengadili, menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindakpidana. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan serta memulihkanhak-hak, harkat, dan kedudukannya.”
Tanpa kusadari tubuh menjatuhkan diri darikursi. Kedua kedua telapak tanganmenghempasdan kening menempel di lantai. Suara-suara hujatan terdengar begitu keras. Namun aku tak peduli. “Apaka hini jawabannya? Biarkan takdir Barseso seperti dalam cerita itu. Sebuah tamsil yang melegenda.” (T)