JUMAT, 2 November 2018, usai pentas teater dalam Parade Teater Canasta 2018, diskusi memanas ketika Hendra Utay-pembina Teater Sangsaka SMKN 1 Denpasar unjuk pendapat, ia mengatakan Parade Teater Canasta 2018 tidak bertanggung jawab dan mengeksploitasi anak-anak peserta. Mata merah, muka merah, omogannya seperti ngelantur. Utay keberatan adanya diskusi usai pentas seolah hanya untuk memojokkan peserta, berdalih anak-anak binaannya tidak tahu teater dan ini adalah pentas pertama kali mereka.
Kemudian dari pihak Canasta tidak menyiapkan pendampingan terhadap masing-masing peserta, naskahnya pun dipilih oleh pihak Canasta tanpa diskusi bersama. Ia tetap melanjutkan protesnya dengan nada pelan, sesekali menyuruh peserta untuk menjaga ketenangan saat diskusi. Walaupun moderator-Agus Wiratama, dengan nada sopan meminta Hendra Utay berhenti dan memberikan kesempatan pada yang lain.
Saya sendiri pasang badan ketika pernyataan-pernyataan itu dilontarkan.
Memang benar setiap usai kedua pentas, kami berdiskusi dan sharing pendapat. Itu pun dilaksakan oleh beberapa kawan yang tertarik dan masih tetap bertahan. Budaya diskusi usai pentas merupakan analisis kritis penonton apa yang ditontonnya, baik kepada kedua peserta, bisa saling menanyakan kebingungan mereka saat menonton. Bukan sekedar pentas langsung pulang, sehingga tidak adanya gesekan-gesekan kritis, malah yang akan terjadi suatu pengotakan identitas kelompok. Jika demikian guyub tidak akan terjadi.
I Wayan Sumahardika sutradara Teater Kalangan juga menambahkan bahwa ruang diskusi usai pentas ini, merupakan hal luput selama belasan tahun, terutama di Denpasar. Pentas hanya dipandang sebagai ajang kompetisi, mencari juara, dan terbaik. Tanpa pernah mempertanyakan kenapa itu terjadi, jika budaya kompetisi ini dipelihara, polanya sangat berbahaya pada kelompok-kelompok teater sekolah. Setiap teater sekolah hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa tahu menahu bagaimana proses kelompok lain, sebab acuannya bukan kebersamaan, tapi bersaing menjadi nomor 1. Bukan capaian di luar teater yang di perjuangkan. Akhrinya teater sekolah hanya sebagai teater regenerasi. Tidak ada harapan untuk membangun kultur teater secara lebih luas.
Sumahardika menambahkan, setiap kelompok memiliki penonton loyalis sekolahnya masing-masing, tapi mereka hadir hanya untuk menonton teater sekolahnya. Bukan untuk menonton yang lain. Padahal pementasan yang lain memiliki suatu wacana yang bisa di diskusikan bersama. Maka dari itu Parade Teater Canasta hadir sebagai wadah untuk menjawab hal tersebut, bahwa diskusi bukan untuk memojokkan, tapi seberapa jauh kawan-kawan pelaku pentas dapat memahaminya.
“Selama ini kan tidak ada diskusi aktor, paling yang ada hanya ada diskusi pembina, benar nggak?” ucap Sumahardika, sejurus kemudian dijawab iya serempak oleh kawan-kawan diskusi.
Nampaknya hal esensi seperti ini dilupakan oleh Dramawan Hendra Utay, yang mengatakan bahwa dirinya telah membina banyak sekolah di Bali. Seberapa jauh pembinaan yang ia lakukan, itu dapat kita lacak dari bagaimana anak didiknya mencapai suatu pemahaman atas apa yang mereka lakukan di teater. Dan seberapa jauh regenerasi ini berkembang menyikapi dunia teater.
Kemarin malam saya emosi ketika Teater Sangsaka membentuk lingkaran besar usai pentas, hendak melakukan evaluasi. Sementara pertunjukan Teater Enter dari SMA Muhammadyah sedang berlangsung. Apa yang terjadi ini? Bagaimana sikap mereka terhadap pertunjukan lain, sementara ketika mereka pentas semua penonton disuruh diam, saya yang mengarahkan penonton untuk duduk, dapat teguran oleh salah seorang anggotanya. Di mana sikap saling menghargai tersebut?
Bagi saya pribadi yang sempat melatih di beberapa sekolah, inilah tugas pembina teater, selain melatih teater, secara kritis harus mengintervensi dan meluruskan jalan teater sebagai hal yang berguna dalam kehidupan. Tidak habis-habisnya sebelum atau sesudah latihan saya melakukan diskusi, tentang naskah, tentang kehidupan, tentang refrensi pementasan, atau tentang masalah pribadi sekalipun.
Hendra Utay yang dikenal sebagai dewa monolog pada masanya, nampaknya tidak peduli terhadap kondisi-kondisi kultural teater ini. Mengulang masa yang terlewat merupakan kebuntuan psikologis yang harus disikapi secara sadar, jika tidak, bisa dilihat apa yang akan terjadi. Bagaimana guru begitulah muridnya bersikap. Malah lebih jauh ia bercita-cita pada yang muda-muda untuk membangun teater Bali, tanpa individu yang mengibarkan bendera masing-masing.
Saya rasa dramawan tersohor kita satu ini tidak membaca Parade Teater Canasta, sebagai ruang kolektif untuk tumbuh, embrio membangun dikemudian hari. Perlu dicatat selama 7 hari, ada 12 kelompok yang pentas dan 7 sharing session yang kami undang dari lintas multidispliner, tapi ia hanya datang ketika anak didiknya pentas. Bahkan anak didiknya pun tidak hadir mengikuti rangkaian acara. Bagaimana membangun teater Bali, jika demikian?.
Sementara itu hadir pula Jonas Sestakresna, menyampaikan bahwa teater SMA berfungsi sebagai ekstrakulikuler di sekolah, tapi biasanya jadwal latihannya kurang disiplin. Untuk itu fungsi teater di SMA untuk belajar organisasi yang baik, dan displin terhadap segala hal produksi. Sementara teater kampus, semestinya lebih liar dan ada pesan yang ingin disampaikan. Pemahaman dan berfikirnya lebih dari pada adik-adik SMA
“Jika ada kakak pembina, memang harus ada kakak penghina, harus diakui” ujarnya sembari tertawa.
Diskusi selesai, saya menawarkan kopi untuk Hendra Utay dan Mas Jonas. kemudian saya ingat perbincangan ringan dengan Bli Jun, beberapa waktu lalu. Bahwa seniman-seniman yang bersudah-untuk tidak mengatakan tua, belilah skrop bangunan, untuk perlahan membuat liang lahannya sendiri. Saya dan Bli Jun tertawa sembari menyeruput kopi, sementara waktu itu di ruang tengah Canasta, Bli Marlowe Bandem tengah asik berbincang dengan anak anak muda SMA terkait project 1928-nya. (T)