“Kita perlu mengingat masa lalu agar bisa bertahan hidup dan bahkan bisa merancang masa depan dengan lebih baik (geschichtlicht). Kita juga perlu memiliki kemampuan melupakan masa lalu agar luka-luka batin tersembuhkan. Terkadang memori itu mendukakan ketimbang mensukakan (ungeschichtlicht).
— Nietzsche, On The Genealogy of Morals (1887)
TULISAN ini sebenarnya agak terlambat untuk diterbitkan, sebab spiritnya tentu saja akan lebih kuat jika muncul bersamaan atau minimal mendekati 30 September. Keterlambatan ini disebabkan beberapa minggu belakangan saya agak “mager” menulis karena disibukkan dengan berbagai aktivitas yang menguras tenaga dan pikiran, tentu saja juga uang. Meski kemudian tulisan yang hadir di hadapan pembaca tatkala ini sudah berbentuk draft, tinggal dipermak dan dihaluskan sesuai segmentasi pembaca yang dituju, namun toh setiap kali berusaha mengedit, mata ini lelah dan lalu terpejam tak sadarkan diri menuju “pulau kapoek” yang termashyur itu.
Bagi saya pribadi, peringatan tragedi ‘65 cenderung menjadi “ritus” atau praktik “retjeh” jelang angka keramat 30 September atau 1 Oktober. Alih-alih menghasilkan kesadaran tentang masa depan, bak jamur di musim hujan, agenda rutin yang diwariskan dari generasi ke generasi itu tidak lebih dari usaha untuk mengkapitalisasi dendam dan beban masa lalu. Namun melihat beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, tangan saya kembali “gatal” untuk menyuarakan isi hati yang sempat mandeg. Berbekal doa “man jada wajada”, saya kembali bergairah melanjutkan tulisan ini. LoL.
Tulisan ini dikembangkan dari sebuah makalah yang sempat saya seminarkan pada 30 September 2017 lalu dalam sebuah acara yang bertajuk Tragedi Nasional 1965 di Kementerian Agama Kabupaten Buleleng. Ada dua alasan kenapa ide pokok tulisan ini ingin saya bagikan kepada pembaca tatkala.
Pertama, pada hari Minggu, 1 Oktober, bertempat di Ruang FHIS 1, mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha menggelar acara Clio Club, yakni sebuah acara diskusi bulanan mendiskusikan isu kontemporer. Tema yang diangkat berkenaaan dengan menguatnya sentimen etnis dan agama pasca Orde Baru. Oleh sebab itu perlu dicarikan solusi mengingat dampak sistemik yang ditimbulkannnya telah mengarah kepada disintegrasi bangsa. Dalam proses diskusi itu, beberapa pertanyaan mahasiswa mengarahkan fokusnya pada tragedi 1965.
Kedua, di saat yang bersamaan, Mahasiswa Jurusan PKN mengadakan Nonton Bareng Film G 30 S PKI yang sempat menjadi “konsumsi” wajib era Orde Baru. Suara teriakan para jenderal yang diberondong peluru, tarian bunga Gerwani dan dialog para aktor seakan menyediakan ruang nostalgia indoktrinasi Orde Baru. Bahkan, ketika PKI sebagai sebuah institusi telah hancur, roh nya yang telah memfosil tetap bergentayangan, menghantui generasi hari ini melalui kapitalisasi “politik praktis” dalam dinamika sosial Indonesia kontemporer.
Historiografi Indonesia sejauh ini masih mewarisi jejak mentalitas oposisi biner. Maksudnya bahwa ia dipahami secara dikotomis, melibatkan pertarungan wacana antara golongan baik melawan golongan jahat, golongan hitam melawan golongan putih. Khususnya pada peristiwa masa lalu yang dianggap “noktah”, narasi 1965 adalah contoh yang bisa diketengahkan sebagai proto tipe dari kegagalan metodologi Indonesia sentris yang dipancangkan sejak Seminar Sejarah I tahun 1957 di Yogyakarta dalam memberikan pencerahan terhadap gejolak sosial politik dan kebudayaan.
Cara pandang normatif seperti itu pada akhirnya hanya akan melahirkan kebencian antara generasi-generasi yang dilahirkan para “korban” dengan keturunan dari para “pelaku”. Pelaku atau dengan kata lain kelompok pemenang akan menggunakan instrumen masa lalu untuk melegitimasi kedudukannya seraya mengkerdilkan eksistensi “korban”. Di sisi lain, kelompok pecundang selalu mencari celah untuk mencuri perhatian sambil menunggu momen yang tepat untuk meng “coup” kelompok pemenang.
Saya pribadi cukup jenuh dengan reproduksi tulisan atau diskusi seputar ’65, sebab meskipun telah lepas dari rezim despotis Orde Baru yang segera direspon dengan menghasilkan counter narasi, ulasannya masih seputaran siapa pelaku dan siapa korban. Nampaknya belum ada usaha yang serius dari para akademisi Indonesia untuk menghasilkan historiografi yang berimbang tentang 1965 sehingga mampu mencairkan ketegangan-ketegangan di masyarakat.
Daripada sibuk mengurusi perkara siapa dalang peristiwa ’65, saya cenderung melihat konstelasi politik nasional pasca Orde Baru sudah seharusnya mewujudkan rekonsiliasi, yakni usaha mempertemukan masa lalu pihak pemenang dengan masa lalu pihak pecundang.
Hal tersebut sangat mendesak dilakukan karena pihak pemenang maupun pecundang biasanya cenderung hanya mengingat perlakukan buruk lawan politik di masa lalu. Jika PKI atau yang di-PKI-kan serta para eksil dikategorikan sebagai pecundang dan kelompok militer adalah pemenang, maka sesuai analogi di atas, yang terjadi adalah PKI memiliki kecenderungan mengingat perlakukan buruk golongan militer pasca 1965, sedangkan mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab moral menceritakan perlakuan terhadap lawan-lawan politiknya sebelum 1965.
Begitu juga sebaliknya, kelompok militer cenderung membatinkan perlakuan PKI sebelum 1965 tanpa ada niatan mengungkap apa yang telah mereka lakukan kepada PKI setelah 1965.
Dalam bahasa Gen Z, rekonsiliasi antara pihak pemenang dan pecundang di atas bisa dianggap CLBK, “Cinta Lama Belum Kelar”. Dua sejoli yang terlibat cekcok masa lalu dan berpisah. Pada suatu kesempatan di masa depan, mereka dipertemukan. Hasilnya, mereka “balikan” karena merasa masih saling mencintai. Semua borok, luka dan perlakuan negatif satu sama lain di masa lalu dinegosiasikan dan dikompromikan, lalu dimaafkan tetapi tidak untuk dilupakan. Ia tetap menjadi kenangan dan arsip masa lalu yang kekal.
Rekonsiliasi sebagai alternatif atas dendam masa lalu yag membatin didasarkan pada alasan bahwa sentimen anti komunis masih hidup meskipun Orde Baru telah ambruk. Hal tersebut nampak dalam realitas politik nasional Indonesia kontemporer dimana tagline “bahaya laten komunis” yang sempat populer di era Orde Baru seringkali digunakan sebagai berita tendesius dengan tujuan membunuh karakter moral lawan politik.
Dia hadir bukan sebagai kenyataan masa lalu, namun sekedar “hoaks” yang disebarkan berulang-ulang sehingga dianggap sebagai kebenaran. Langgengnya sentimen anti-komunis ini secara tidak langsung telah menghalangi gagasan menangani kejahatan kemanusiaan di masa lalu, khususnya pembunuhan massal terhadap PKI atau orang yang di-PKI-kan.
Terhambatnya ide ini sesungguhnya mempersulit proses demokratisasi masyarakat Indonesia di era reformasi, sebab kepedulian terhadap kejahatan kemanusiaan di masa lalu dan rekonsiliasi antara para pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dalam banyak hal merupakan bagian yang diperlukan. Hal ini untuk meyakinkan bahwa masa lalu tidak lagi merupakan beban, dalam arti tidak lagi menghantui masa kini. Selain itu, diharapkan tak ada lagi kelompok sosial yang diperlakukan secara diskriminatif karena tuduhan kesalahan masa lalunya itu. (T)