PUNYA tampang Boyolali, memang agak menyusahkan. Tampang ini tidak bisa menyembunyikan rasa heran, ketika melihat sesuatu yang baru. Hal itu terjadi pada saya.
Saya memang bukan orang Boyolali asli. Saya hanya darah campuran. Kalau orang Madura punya istilah “Madura Swasta”, maka saya masuk golongan “Boyolali Swasta”.
Bapak saya, orang Boyolali tulen. Lahir dan besar di Boyolali. Ibu saya, lahir dan besar di Bali. Sementara saya, lahir dan besar di Bali juga. Meski lahir di Bali, saya mewarisi tampang Boyolali.
Soal tampang Boyolali, seperti kata Bung Prabowo, ada benarnya juga. Tampang saya bukan tampang orang kaya, bukan tampang yang bisa leluasa masuk hotel mewah. Saya, biarpun cuma Boyolali Swasta, juga sering dikira penjaga toko atau penjaga kantin.
Suatu ketika, saya sedang beli celana, entah kenapa salah seorang pembeli justru menanyakan ukuran pada saya. Padahal waktu itu saya juga sedang beli celana.
Malahan minggu lalu, waktu saya nongkrong di kantin kantor Dinas Tenaga Kerja, saya dikira penjaga kantin. Seorang pengunjung tiba-tiba datang minta dibuatkan kopi sambil menyodorkan uang Rp 5.000 pada saya. Padahal waktu itu saya sudah pakai celana jeans, sepatu kets, dan baju polo produksi distro lokal. Eh kok masih disangka penjaga kantin.
Tampang miskin danndesoini secara tak langsung memengaruhi sifat saya. Saat melihat hal-hal yang baru dan luar biasa, saya tak bisa menyembunyikan rasa kekaguman saya.
Sekitar tahun 2005 lalu, saya ke Jakarta untuk ikut acara pramuka di Taman Rekreasi Wiladatika. Beberapa teman dari kota sudah datang lebih dulu. Kami kemudian menuju Buperta Cibubur dengan berjalan kaki.
Dari Taman Wiladatika menuju Buperta, kami harus melewati jembatan akses Tol Jagorawi. Saat lewat di atas jembatan itu, saya begitu takjub melihat jalan tol yang begitu lebar. Spontan saya berkata, “Wow jalannya lebar sekali.”
Demi mendengar kata itu, rekan yang saya ajak berjalan, langsung tertawa terpingkal-pingkal. Mereka menjelaskan bahwa jalan itu disebut jalan tol. Saya pun kembali spontan berkata, “Oh ini yang namanya jalan tol.” Lagi-lagi ucapan saya itu membuat mereka tertawa.
Tapi, biar tampang Boyolali itundeso, banyak orang Boyolali yang pekerja keras. Sampai meraih jabatan yang lumayan tinggi. Malahan adalhoorang “Boyolali Ori” yang jadi ajudan menteri.
Omong-omong soal tampang Boyolali, Bung Prabs juga perlu tahu bahwa orang Boyolali itu tampangnya bolehaja ndeso. Tapi orang dengan tampang Boyolali sering bernasibbejo.
Saya salah satu yang sering bernasibbejo. Saat ke Jakarta, saya beberapa kali menginap di hotel bintang empat. Tentu saja gratis gara-gara menang lomba.
Saya juga pernah masuk dan menginap di hotel Saint Regis lho Bung Prabs. Bukan yang di Jakartasih, tapi yang di Bali. Syukur waktu itunggakdiusir satpam gara-gara tampang saya yangndesoini. Ya setidaknya sudah ada orang Boyolali yang pernah menginap di hotel mewah itu.
Betul kata Bung Prabs bahwa gedung-gedung di Jakarta itu menjulang tinggi, mewah-mewah. Sebagai orangndeso, saya juganggaknyaman tidur di hotel yang tinggi-tinggi itu.
Sayakokmerasa lebih nyaman tidur di lantai bawah. Apalagi kalau menginap di lantaibasementhotel yang ada di Jalan Samanhudi Jakarta itu. (T)