Dua jam menaiki pesawat dari Ataturk Airport (Istanbul, Turki) ke Sarajevo International Airport membuat mata saya kelimpanan. Pukul 19.20 waktu Istambul, kota itu masih terang ketika pesawat lepas landas dan Sarajevo juga masih belum gelap betul ketika pesawat yang saya tumpangi mendarat, pukul 20.20 waktu Sarajevo.
Waktu Sarajevo mundur satu jam dari Istanbul dan lima jam dari waktu di Padang (WIB). Jauh hari sebelum melaksanakan program residensi penulis Indonesia dari Komite Buku Indonesia (KBN) yang bekerjasama dengan Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, saya sudah memasang aplikasi perbedaan waktu dunia, termasuk prediksi cuaca, dan saya mengetahui matahari baru akan tenggelam penuh pukul 21.00 waktu Sarajevo.
Mata saya terus serasa kelimpanan dan pikiran melayang ketika melangkah keluar dari pintu pesawat, menuju pemeriksaan paspor dan mulai oyong ketika menyeret koper seberat 20 kg. Lelah perjalanan 11 jam dari Kuala Lumpur International Airport dan transit 16 jam di Istambul mulai terasa.
Ketika transit di Istanbul lelah itu tidak terasa. Barangkali karena terlalu menikmati tur gratis keliling Istambul yang disediakan oleh maskapai penerbangan yang saya tumpangi. Kondisi tersebut mungkin efek jet lag, kata mereka yang sering terbang dan melancong ke negeri-negeri jauh. Maklum, perjalanan paling jauh yang saya tempuh baru dari zona Waktu Indonesia barat (WIB) menuju Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Saya ditunggu di pintu kedatangan oleh salah seorang petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Sarajevo. Di atas mobil berpelat CD (Corps Diplomatique) milik KBRI Sarajevo, saya terus menggosok-gosok mata, berusaha untuk tidak tertidur.
Di sepanjang jalan dari bandara ke tempat penginapan saya di daerah pekuburan Alivakovac membayang film Welcome to Sarajevo (1997) sutradara Michael Winterbotton. Juga instrumen musik GoranBregovic bertajuk Three Letter FromSarajevo yang dibagi dalam pembabakan “Surat Seorang Muslim”, “Surat Seorang Yahudi”, dan “Surat Seorang Kristiani”.
Entah kenapa suasana perang merundung setiap mendengar “Sarajevo”. Barangkali karena waktu kecil dari program-program berita televisi saya kerap melihat gambaran perang di Sarajevo. Juga mungkin karena pertanyaan orang-orang ketika saya mengatakan akanresidensi di Sarajevo: “Bukankah di sana terjadi perang?”
Sarajevo dalam Bingkai Pariwisata
Sampai di rumah tempat saya menginap saya disambut tuan rumah yang baik bernama Nadini. Jauh hari sebelumnya kami sudah berkomunikasi, ia sangat sopan dalam menyambut calon tamunya. Ia mengatakan bahwa saya tamu Indonesia-nya yang pertama. Ia menjelaskan sudut kamar hingga cara pemakaian barang-barang di ruangan yang akan saya huni. Nadini pamit pada saya, ia mengatakan tinggal di apartemen lain, karena ia baru punya bayi. Ia berpesan bahwa kalau saya butuh apa-apa bertanya saja pada ibunya.
“Ibuku hanya berbicara dalam bahasa Bosnia, ia tidak bisa bahasa Inggris, tapi percayalah kalian akan bisa berkomunikasi dengan baik. Ia ramah dan sangat baik,” kata Nadini.
Saya percaya itu. Sebelum tertidur, saya mengetuk kaca jendela Fadila karena mendengar suara azan, saat itu pukul 22.30 malam. Saya bertanya azan tersebut untuk salat apa? Fadila menjawab, meski dalam bahasa Bosnia, tapi saya mengerti jawabannya adalah salat Isya. Saya kembali ke kamar dan terdengar ketukaan dari luar pintu kamar. Rupanya Fadila mengantar sajadah untuk saya.
Bosnia-Herzegovina memang menjadi salah satu pilihan destinasi bagi mereka yang ingin berlibur musim panas. Juga tujuan bagi para peziarah muslim dan kristiani. Masjid, katedral, serta sinagog tua berdampingan dalam satu area kota tua (Bascarsija) Sarajevo. Di beberapa kota lain tata ruangnya juga hampir sama.
Di Mostar misalnya, kota yang berjarak kurang-lebih 130 kilometer dari Sarajevo itu saya melihat salib gigantik tertancap di atas sebuah bukit (Bukit Hum). Beberapa tempat di Bosnia dan Herzegovina memang pernah mengalami tahun-tahun buruk. Keragaman etnis dan keyakinan di negeri tersebut pernah bersabung intoleransi.
Begitu juga dengan Kota Mostar saya kira. Kota yang berdekatan dengan wilayah Kroasia tersebut tak luput dari perang saudara. Percik-percik intoleransi pernah saya baca dari sebuah catatan mengenai simbol keagamaan. Salib gigantik sebagai lambang umat Kristiani yang dibangun pada tahun 2000 dan Stari Most yang dibangun pada masa kekuasaan Ottoman 1557 sebagai perlambang Islam pernah memancing perdebatan.
Tapi dalam perjalanan saya, baik itu Sarajevo dan Mostar, sangat ramah bagi pengunjung. Dentang lonceng gereja bersabung suara azan dari masjid sama-sama terdengar bergema. Tidak ada tipuan bagi pelancong pada saat membeli barang–meski pengemis cukup banyak mangkal di beberapa tempat wisata.
Negara ini memang menjadi tujuan utama saya dalam residensi penulis yang diselenggarakan KBN. Sarajevo menjadi pilihan utama untuk tinggal selama sebulan. Perang periode 1992-1995 adalah ingatan yang mengendap dari masa kecil saya. Siaran berita televisi menyiarkan kehancuran Sarajevo dan daerah-daerah lain di Bosnia-Herzegovina. Bahkan hingga hari ini orang-orang masih memandang negara tersebut dalam masa perang. Terbukti ketika saya mengurus perpanjangan paspor dan pandangan kawan-kawan terhadap negara pilihan saya untuk residensi.
Negara tersebut sudah berbenah meskipun jejak-jejak bekas perang masih terlihat.Sektor pariwisata barangkali menjadi andalan utama mereka. Bangunan hancur terbiarkan dan tembok-tembok bekas hunjaman peluru masih terlihat di sana-sini–mungkin ini merupakan simbol untuk mengatak bahwa perang sangatlah buruk.
Bahkan di daerah sekitar Sarajevo masih ada himbauan untuk tidak melakukan perjalanan sendiri. Semisal daerah pegunungan Trebevic, Bjelasnica, Jahorina yang pernah menjadi lokasi Olimpiade Musim Dingin 1984, ketika daerah ini masih dalam kesatuan Yugoslavia. Ada imbauan untuk melakukan perjalanan bersama profesional karena ditenggarai masih banyak tertanam ranjau darat sisa perang.
Dua puluh tiga tahun pasca Perjanjian Dayton (1-2 November 1995) yang mempertemukan Alija Izetbegovic (presiden Bosnia), Slobodon Milosevic (presiden Serbia), FranjoTudman (presiden Kroasia), dengan negosiator Richard Holbrooke dan Jenderal Wesley Clark (Amerika Serikat) telah membuat Sarajevo berbeda dalam gambaran masa perang.
Jalur-jalur tram dibangun kembali, gedung-gedung diperbaiki, serta situs-situs tua peninggalan Ottoman dan Austro-Hungaria direkonstruksi dari sumbangan berbagai negara lain. Turki, selain negara lain, saya kira banyak membantu perbaikan berbagai situs Ottoman yang hancur akibat perang. Terlihat dari bendera Turki terpatri di panel-panel, di spanduk, dan berkibar di depan beberapa bangunan sekitar Bascarsija.
Wisata sejarah digarap sedemikian rupa di Sarajevo. Tidak hanya mengenai perang 1992-1995 tapi juga mengenai Perang Dunia I. Di salah satu museum dekat Jembatan Latin, lokasi tertembaknya pangeran Austria Franz Ferdinand yang menjadi pemicu Perang Dunia I, foto-foto dipampangkan di bagian dinding. Setiap situs-situs bersejarah panel-panel dengan narasi kesejarahan dituliskan dengan baik. Bahkan beberapa ceruk sisa bahan eksplosif mortar saat Pengepuangan Sarajevo diabadikan dan diberi garis batas.
Konon untuk mengenang mereka yang menjadi korban di masa perang saudara. Wisata sejarah barangkali memang menjadi andalan utama Sarajevo selain wisata alam di daerah lain sekitar Bosnia dan Herzegovina. Semua petunjuk lokasi wisata digarap dengan baik, map-map bagi pengunjung, tur keliling kota gratis, bahkan petunjuk dalam aplikasi ponsel. Tinggal memindai kode QR di panel-panel lokasi makan semua informasi akan terpampang di layar ponsel.
Tak salah kota tersebut dimasukkan oleh Lonely Planet dalam 10 kota yang layak dan harus dikunjungi. Sarajevo memang menyajikan lapisan sejarah unik di mana berbagai simpul kebudayaan dan agam terikat dengan baik hingga kota tersebut disimbolkan sebagai “Jerusalem of The Balkan”.
Sarajevo dan Mostar dan beberapa lokasi sejarah lain di sekitar kota tersebut memang menjadi tujuan saya untuk melihat bagaimana Bosnia dan Herzegovina tumbuh dalam keragaman. Masih banyak lokasi lain pasca perang 1992-1995 yang hendak menjadi tujuan saya menulis. Sebrenica adalah salah satu di antaranya. Tempat di mana pembantaian terhadap 8.000 warga muslim daerah sanah pernah dibantai milisi Serbia di bawah pimpinan Jendral Ratko Mladic. (T)