I Ktoet Soekrata (I Ketut Sukrata) adalah guru, tokoh pendidikan dan budayawan Bali ternama dari Desa Bubunan, Bali Utara, dikenal aktif dalam berbagai kegiatan budaya tahun 1930-an sampai berpulang tahun 1967.
Disamping mengajar di sekolah, di luar sekolah I Ktoet Soekrata juga memimpin group teater bernama ‘Sandiwara Bintang Bali’ yang aktif pentas sampai tahun 1945. ProfDarma Nyoman Putradalam disertasinya — merujuk artikel berjudul ‘In memoriam I Ketut Sukrata tokoh kebudayaan Bali’, Suluh Marhaen 17-9-1967 — menyebut I Ktoet Soekrata sebagai sosok penting dalam kehidupan literasi di Bali.
I Ktoet Soekrata tidak terpisahkan dengan pergaulan dan pergulatan pemikiran lingkar intelektual yang terlibat dalam editorial majalah dan terbitan yang terbit di Bali (tepatnya di Singaraja) tahun 1920-1930an, seperti: Bhawanagara, Surya Kanta, Bali Adnjana. Mereka itu adalah Roelof Goris, I Goesti Poetoe Djlantik, I Goesti Gde Djlantik, I Njoman Kadjeng dan I Wajan Roema, I Goesti Tjakra Tanaja, I Ktoet Widjanagara, I Njoman Mas Wirjasutha, I Goesti Poetoe Djiwa, I Goesti Keto, Poedja, I Gde Panetja, dan lain-lain. Tercatat mulai Juli 1931 I Ktoet Soekrata dan I Ktoet Widjanagara masuk secara resmi sebagai salah satu panitia editorial Bhawanagara.
Ketika kemarin saya menginap di rumah sahabat saya, Pastia Inggas, yang tak lain adalah cucu dari I Ktoet Soekrata, saya coba gali informasi terkait karya-karya I Ktoet Soekrata. Saya menanyai ibunya (menantu dari I Ktoet Soekrata), di sela-sela makan pagi. Dan, keluarlah sebuah sebuah novel berjudul: ‘Wanita djundjunganku: bajangan susila-dharma’.
Novel 91 halaman ini ditulis oleh Sattwika. Berbahasa Indonesia, terbit di Djakarta, oleh penerbit Ali Brothers, menurut katalog online Hathi Trust terbit sekitar tahun 1960-an. Silahkan buka link ini:https://catalog.hathitrust.org/Record/009454610
Setelah kami makan pagi, kami berkomunikasi lewat telepon dengan salah satu putri kandung I Ktoet Soekrata. Ternyata novel ‘Wanita djundjunganku: bajangan susila-dharma’ adalah karya I Ktoet Soekrata. Artinya, Sattwika adalah nama samaran I Ktoet Soekrata. Dalam novel itu terdapat foto perempuan yang tak lain adalah foto salah satu putri I Ktoet Soekrata. Pihak keluarga pun punya informasi tentang latar belakang ditulisnya novel tersebut. Karya tersebut, dikabarkan, dilatarbelakangi oleh seputar kisah masa muda I Ktoet Soekrata.
Mungkin masih ada karya-karya novel lainnya dari I Ktoet Soekrata yang lain? Mesti dilacak di Gedong Kirtya dan perpustakaan lainnya, mungkin harus dilacak di rumah keluarga dan sahabat I Ktoet Soekrata yang kemungkinan mengoleksi karya-karya lainnya. I Ktoet Soekrata dikenal dekat dengan I Gusti Ketut Ranoeh, I Nengah Tinggen, juga mungkin juga ada di perpustakaan pribadi lainnya, seperti perpustakaan Prof Mantra yang juga salah satu mantan muridnya.
Tulisan non-fiksi I Ktoet Soekrata yang saya temukan yang perlu dicatat adalah artikel berjudul: “Standaartaal Buat Bahasa Bali”, dimuat dalam Bhawanegara, nomor 6 (November 1932), Bhawanegara nomor 7 (Desember 1932), dan Bhawanegara nomor 10 (Desember 1933).
Bersama l Gusti Ketut Ranuh, I Ktoet Soekrata (Ketut Sukrata) menulis buku perihal ejaan Bahasa Bali dengan huruf Latin dan huruf Bali. Buku ini merupakan rangkuman hasil dan kesepakatan dari ‘Pasamuhan Agung Bahasa Bali ‘ yang diadakan pada tanggal 23 – 26 Oktober 1957 di Denpasar, diadakan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Bali, dalam rangka mencari format pembelajaran Aksara dan Bahasa Bali serta hal lain menyangkut budaya Bali.
Buku lain karya I Ktoet Soekrata, yang sangat penting: ‘Tundjung mekar: Pepaosan Aksara Bali mangge ring sekolah- sekolah keketus saking daging lontar2’, terbitan Toko Buku Murni, 1962.http://www.worldcat.org/…/tundjung-mekar-pepa…/oclc/68426636
*Catatan Harian, 1 Oktober 2018.