LONTAR koleksi Pusat Dokumentasi Bali cukup banyak sangat-sangat meragukan. Judul dan isi beberapa tidak sesuai. Beberapa lainnya tidak jelas sumbernya, beberapa penulisan Bali-nya sangat amatir dan tidak bermutu.
Berikut dua contoh koleksi lontar di Pusat Dokumentasi Bali yang sangat mengecewakan:
- Judul lontar: ‘Buddha-gama’
Isinya berbeda sama sekali, yaitu ‘Usada Wong Beling’, yang tidak ada hubungan dengan ajaran Buddha, tetapi berisi tata cara ‘ngemban’ (merawat/menjaga) orang hamil.
Penyalin lontar ini, saya hampir yakin, punya kesengajaan menipu pembeli (mungkin Pusdok mengupah atau membeli) lontar ini. Pada halaman pertama, kalimat pertama berbunyi sebagai berikut: “Buddha-gama”. Kalimat selanjutnya tidak ada hubungan dengan judulnya, malah yang disalin selanjutnya, menjadi isi lontar ini, adalah ‘Usada Wong Beling’.
Silahkan lontar bisa dilihat dan baca di link ini:
https://archive.org/stream/buddha-gama/buddha-gama-400ppi#page/n0
- Judul lontar: Siwa Budha
Lontar ini tidak lain dari salinan buku berbahasa Indonesia. Halaman depan lontar ini menyebutkan: “Pengertian Siwa Budha”, selanjutnya tertulis “sangatlah menarik perhatian kita untuk mengetahui perkembangan… ” Dstnya.
Silahkan lontar bisa dilihat dan baca di link ini:
https://archive.org/stream/siwa-budha/siwa-budha-550ppi#page/n0
Ini hanya 2 buah contoh kegegabahan pihak kurator atau pengepul lontar yang diserahi tugas memperbanyak koleksi tanpa melakukan pengecekan isi. Apakah ini unsur abai atau ada unsur kesengajaan? Wantah Dewa-Widdhi ngaksi.
Lontar-lontar lain yang sangat-sangat berpotensi memunculkan konflik adalah beberapa lontar yang merupakan babad, prasasti, atau lontar yang disebut prasasti atau babad, tapi isinya adalah karya baru yang sangat meragukan. Tidak disertai keterangan apapun kalau babad, purana, atau yang disebut prasasti tersebut sumber dan tahun penulisannya. Penulisan ini memang terkesan ada kesengajaan menyamarkan isi lontar agar terkesan kuno.
Pembaca awam umumnya berasumsi, bahkan banyak percaya begitu saja, bahwa apa yang ada di lontar berasal dari ratusan tahun silam. Bagi kalangan awam lontar adalah sesuatu yang kuno. Padahal tidak sepenuhnya benar. Banyak lontar berjudul babad, purana, dan prasasti, muncul di tahun 1950-an, 1960-an, 1970-an, bahkan penulisan babad keluarga tertentu ada yang ditulis ulang tahun 1990-an yang tak lain revisi lontar sebelumnya, atau rangkuman lontar ditambahi data efigrafi hasil penelitian sarjana Belanda, dimasukkan dalam lontar tersebut, sehingga terkesan kuno dari segi bahasa dan juga isi.
Secara pribadi saya belajar banyak dari lontar-lontar koleksi Pusat Dokumentasi, tapi pesan saya: Jangan 100% mempercayai isi lontar-lontar tersebut, sebaiknya baca tuntas, lalu carikan lontar pembanding, setidaknya bisa dicek koleksi Gedung Kirtya atau tepat lainnya.
Ada beberapa yang sangat bermutu baik di Pusat Dokumentasi Bali, contohnya adalah lontar-lontar koleksi Gedung Kirtya yang kini tersimpan di Pusat Dokumentasi Bali (dulu kabarnya dipinjam dan belum dikembalikan ke Gedung Kirtya sampai kini) dan lontar-lontar tua lainnya, serta salinan para tokoh penulis yang sangat bisa dipertanggungjawabkan isinya, terlihat dari kolofon dan penulisannya yang konsisten menggunakan ‘pasang pageh’, disertai keterangan babonnya.
Secara umum saya bisa katakan 10% lontar dan atau salinan lontar serta transkrip lontar koleksi di Pusat Dokumentasi Bali meragukan, 90% bisa kita jadikan bagian pembelajaran yang berarti dan penting, sekalipun harus tetap dibandingkan dengan lontar sejenis dari tempat lain.
Apa yang perlu dikerjakan? Apa solusinya?
Koleksi lontar di Pusat Dokumentasi Bali sebaiknya dikurasi ulang, agar koleksi yang ada mempunyai kejelasan asal dan proses penyalinan, serta ditambahkan lontar bersumber dari lontar kuno (salinan lontar), karya baru atau buku, disebutkan dengan jelas siapa yang menjadi penyedian/pedagang/penulis lontar itu secara singkat.
Kerja ini adalah kerja detektif melacak kembali dari mana lontar-lontar itu diperoleh dan siapa yang menjadi penyalinnya, untuk kejelasan data naskah. Walaupun beberapa lontar ada keterangan penyalinan, pada kolofonnya, tapi tidak semua masyarakat bisa memahaminya.
Bagi para peneliti dan mahasiswa yang memakai acuan lontar-lontar atau transkrip di Pusat Dokumentasi Bali, sebaiknya melakukan perbandingan dengan lontar-lontar atau transkrip yang disediakan di Gedung Kirtya atau perpustakaan lainnya.
Ketidaktersediaan informasi terkait asal-usul lontar, ketidakberesan kuratorial, ketiadaan sinkronisasi kembali judul dan isi, serta tiadanya pengecekan isi di masa awal pengumpulan lontar sebagai tambahan koleksi Pusat Dokumentasi Bali, berpotensi menyesatkan pembacanya (yang umumnya krama Bali). Mahasiswa atau peneliti yang kurang peka atau tidak melakukan cross-checking isi, jika memakai lontar-lontar tersebut, berpotensi menyebarkan ketidakvalidan isi lontar-lontar yang isinya kurang meyakinkan tersebut.
*Catatan Harian, Sugi Lanus, 21 Agustus 2018.