APA itu pelaba? Asal katanya adalah lābha, artinya: pendapatan; perolehan; hal yang menguntungkan; keuntungan. Arti lebih luas dari lābha: menerima, mendapatkan, mengakuisisi, mendapatkan, memiliki; harta benda.
Istilah pelaba di Bali identik dengan pelaba pura = tanah atau sawah milik pura yang hasilnya dipakai untuk membiayai atau mensupport kegiatan atau ritual pura. Dengan pelaba pura di masa lalu Pura-Pura dibangun dengan self-supporting system yang tidak ngewehin atau membebani penyungsung (krama atau umat) yang berkewajiban melaksanakan ritual-odalan.
Jadi, Pura dengan pelaba-nya ngelengisin-dewek (keluar minyak sendiri), artinya dalam hal ini, ia mampu membiayai dirinya dari hasil pelaba, dan krama “hanya penyelenggara” yang volunteer tanpa dibebani biaya pokok. Krama mendapat bagian hal-hal kecil elementer dan menyumbangkan waktu dan tenaganya.
Belakangan entah kenapa Pura-Pura tua kehilangan pelaba, dan Pura-Pura baru dibangun tanpa pelaba sehingga kegiatan Pura menjadi dirasakan sebagai “beban” karena mudah dan gegabah membangun Pura tanpa pelaba yang wajib ada sebagai persyaratan membangun Pura.
Lontar-lontar acuan membangun parahyangan/pura mewajibkan menyiapkan pelaba kalau membangun Pura baru. Jika tidak ada pelaba maka Pura-Pura yang itu melanggar “pedoman” lontar Indik Ngwangun Parahyangan – Panugrahan Empu Kuturan.
Pelaba adalah supporting-system yang terintegrasi dengan sebuah institusi. Jika membangun atau mendirikan lembaga atau institusi apapun. Itulah yang kita petik dari kewajiban menyiapkan sistem pelaba–pura yang ditulis dalam berbagai lontar Panugrahan Mpu Kuturan (Pedoman-rumusan anugrah Sang Mahasuci Mpu Kuturan).
Dalam konteks sosiologi modern, pelaba adalah ajaran kuno tentang sustainable entrepreneurship, kesadaran untuk menjaga stamina bertumbuh dan mandiri, innovation and economic growth. Ini inherent dijabarkan dalam konsep pembangunan Pura yang mewajibkan ada pelaba pura.
Secara lebih luas, pelaba bukan hanya benda atau aset terlihat, tapi ini sebuah ajaran sustainable entrepreneurship yang berpokok pada “hasil olah pikir” yang memberi kita ketahanan untuk melanjutkan semua aktivitas yang semua berujung memanusiakan kita, tanpa harus merugi secara ekonomi, tidak membebani orang lain tanpa memberi insentif atas keterlibatan mereka dalam kegiatan kita.
Pelaba dalam bahasa Bali Kuno sinonimnya adalah “bukti”. Desa-desa yang bernama “Bukti” itu umumnya adalah kawasan pertanian yang menjadi milik publik yang menjadi stock pangan untuk mendukung semua pengembangan sosial dan aktivitas terkait ritual atau peribadatan krama. Tanah bukti atau pelaba dikelola oleh krama sebagai “milik public” sebesar-besarnya untuk kepentingan bersama.
Pelaba atau “bukti” adalah “asset”. Ia bertumbuh kalau kita kelola. Ia padam atau sirna jika tidak dirawat kelola dengan matang.
Pelaba dan “bukti” yang merupakan “asset” Bali yang tak pernah habis adalah craftsmanship manusia Bali yang demikian teruji, berkualitas, dan mumpuni. Asset yang tersimpan dalam ingatan yang tiada habis untuk diulat, ditenun, didesign-ulang, dimasak, disajikan.
Koleksi Rumah Intaran ini adalah pelaba — selanjutnya kita sebut sebagai pelaba intaran — yang sesungguhnya bisa berkembangbiak, jika kita cermat dan niat sungguh dalam mengembangbiakan dan menyemaikembangkan kembali di tengah masyakarat Bali sekarang.
BUKA
Untuk bisa menghasilkan Pelaba Intaran kita diminta berpeluh dan tangan kita harus bergerak untuk menggemburkan ladang, menanam bambu, pohon, ambengan (ilalang), dan lain-lain, merawat sampai cukup umur, sampai akhirnya kita petik dan ulat-pintal menjadi “karya-karya pelaba”. Untuk bisa menghasilkan Pelaba Intaran ini kita tidak hanya dilatih untuk lincah dan cekat tangan, tapi terampil mengingat dan menjaga ingatan, bagaimana cara mengulat dan menanam.
Pelaba Intaran ini sebuah kilas balik merawat ingatan akan tradisi mendalam craftsmanship manusia Bali. Undagi, meranggi, tukang ulat, tukang penek, dan lain-lain, semua “artisan” itu, sekarang terancam menciut.
Perayaan Pelaba Intaran ini menjadi ruang untuk “merayakan kembali” dan ruang bertanya: Asset besar ini perlu kita rawat atau kita biarkan saja mengirap-lenyap lindap seiring satu-satu berpulangnya para “artisan” sepuh kita? (T)