JANGAN bayangkan ngaben yang megah tapi rumit di Desa Cempaga. Bayangkanlah satu rangkaian upacara ngaben dengan jumlah warga tetap melimpah, tapi aura yang muncul adalah kesederhanaan.
Desa Cempaga adalah salah satu desa tua dan masuk dalam deretan desa bali aga di wilayah perbukitan di Kecamatan Banjar, Buleleng. Bulan ini warga desa menggelar upacara ngaben massal, yakni ngaben yang dilakukan secara bersama-sama. Puncak upacaranya Rabu, 21 Februari 2018, diikuti oleh 35sawayang berasal dari 15sanggah dadia(keluarga besar).
Sekali lagi, jangan bayangkan ngaben di Desa Cempaga itu satu rangkaian upacara yang rumit, penuh jadwal, dan menghabiskan banyak energi fisik. Tentu saja, karena prosesi dan perlengkapan upacaranya tidak sama dengan ngaben yang biasa dilakukan di desa-desa lain di Bali. Apanya yang berbeda?
Tanpa Bade
Ngaben di Desa Cempaga tidak menggunakan bade atau bangunan menara tempat sawa (mayat atau simbol mayat) yang menjulang tinggi yang biasa diarak ke setra (tempat pembakaran mayat). Warga di Cempaga hanya menggunakan banten khusus yang disebut banten bangun urip.
Desa Cempaga, Kecamatan Banjar satu dari empat desa yang masuk sebagai Desa Bali Aga di Buleleng. Sebagai Desa Bali Aga, desa di ketinggian ini tetap menjalankan tradisi yang diwariskan para leluhur mereka. Salah satu tradisi itu adalah rangkaian upacara ngaben. Ngaben di Desa Cempaga bisa dibilang unik karena prosesi dan perlengkapan upacara tidak sama dengan ngaben pada umumnya.
Warga Desa Cempaga telah mempercayai kalau ritual ngaben dilakukan tanpa menggunakanbadeyang dibakar di areal kuburan (setra-red). Melainkan, ngaben di desa ini hanya menggunakan saranabanten bangun urip.
Banten ini unik. Warga biasanya mempersiapkan (nanding)banten bangun uriphingga tengah malam sebelum puncak upacara. Banten itu dibuat sebagai simbolsawayang dikubur disetra.
Bangun uripini dibuat dengan bahan nasi putih, olahan daging babi bali (babi hitam) dan perlengkapan lain. Nasi berada pada susunan paling bawah sebagai perwujudan liang kubur. Kemudian di atasnya ditaruh berbagai olahan babi lain, seperti sate dan perlengkapan lain, yang disusun sedemikian rupa.
Setelah jadi,bangun uripini terlihat seperti liang kubur. Banten itu kemudian dijejerkan di atasbaleyang sudah dibangun jauh-jauh hari. Pada setiapbangun uripdiletakkan foto keluarga yang sudah meninggal, yang akan di-aben. Di depan masing-masingbangun uripini ditunggui oleh masing-masing sanak keluarga yang diupacarai, termasuk para pelayat dari keluarga di luar desa.
Made Juwika, warga Desa Cempaga yang menjadi ketua panitia upacara, mengatakan tradisi ngaben dengan saranabangun uripini warisan leluhurnya yang belum terpengaruh oleh perkembangan dan upacara ngaben di daerah lain di Bali.
Kata dia, bangun uripitu simbol sawa yang dikubur di setra. “Setelah ritualmungkah, kemudianrohyang akan diupacarai itu di-linggih-kanlewat simbolbangun uripitu sendiri,” katanya..
Tidak Dipusatkan di Setra
Puncak upacara ngaben di Desa Cempaga tidak dilakukan di arealsetra.Prosesi upacara dipusatkan di balai desa. Pada saat upacara pengutangan pun warga tak menuju ke setra. Pada saat upacara pengutangan itu, warga hanya membuang sarana upakara itu ditelutug(ujung wilayah desa). Jadi, selain tak diadakan di setra, upacara ngaben itu juga diisi dengan pembakaran sawa.
“Keunikan ngaben di desa kami dari banten yang digunakanbangun uripdan semua pelaksanaanya di balai desa ini dan tidak ada kesetraapalagi pembakaran juga tidak ada. Setelah puncak pangebanen ini semua saranabangun uripdan sarana lain dibuang ketelutug,” kata Made Juwika.
Hanya Di-puput Balian Desa
Jika di banyak desa lain di Bali ngaben di-puput oleh sulinggih seperti Pedanda, Mpu, atau Rsi, maka di Desa Cempaga semua proses upacara ngaben hanya diselesaikan oleh balian desa (semacam pemangku desa).
Meskipun berbeda, warga di Desa Cempaga meyakini bahwa proses pengabenan itu bertujuan sama dengan ngaben di tempat lain. Yakni mendoakan agar roh dari keluarga yang sudah meninggal mendapatkan tempat yang baik dan menyatu dengan Tuhan, dan senantiasa memberikankerahayuankepada keluarga atau kerabat yang ditinggalkan.
“Semua dipimpin oleh pemangku desa dan prosesi ini tujuannya hanya satu mendoakan dan mengembalikan roh ke asalnya dan sekaligus memohonkerahayuanbagi anak, cucu, dan kerabat yang ditinggalkan,” kata Made Juwika.
“Menek Pangkonan”
Sebelum puncak upacara ngaben, ada tradisi unik yang memberi kesan ngaben di Cempaga memang luar biasa. Yakni tradisiMenek Pangkonan.
Menek Pangkonan adalah sejenis jamuan dengan makan bersama yang dilakukan warga dan undangan penting. Jamuan ini punya makna penting sebagai penyaksidari upacara yang digelar di desa itu.
Semua sarana, seperti nasi, olahan daging babi dan lawar, ditempatkan di atas empat bale angsagan yang dijejer. Pada angsagan pangkonanpaling tinggi untuk pemangku,prajurudesa, dan undangan pejabat pemerintahan. Angsagankedua yang lebih rendah (pengesor) untuk pejabat yang lebih rendah,angsaganketiga dan empatuntuk warga biasa.
“Semua ini ada maknanya. Selain memupuk persaudaranan dan persatuan, ini penyaksi dan jamuan atas undangan yang turut mendoakan pelaksanaan pengabenan di desa kami agar lancar,” kata Perbekel Desa Cempaga I Putu Suarja. (T)