HIDUP di pengungsian itu berat. Kamunggakakan sanggup.Nggakpercaya? Tanya saja sama pengungsi Gunung Agung.
Tatkala Gunung Agung dinyatakan awas pada September 2017, kehidupan warga yang terdampak praktis tersendat. Mereka harus menjadi pengungsi dengan kondisi morat-marit.
Hidup di pengungsian itu berat. Lihat saja para pengungsi yang harus hidup morat-marit. Selama di pengungsian, tidak ada penghasilan. Hanya bisa duduk berpangku tangan, menunggu jatah beras mingguan.
Mencari sumber penghidupan, nyaris tak bisa. Maklum, kebanyakan pengungsi bekerja jadi petani, atau pemelihara sapi. Mau bertani, tidak bisa karena lahan tani ada di radius terlarang.
Mau pelihara sapi juga tidak bisa. Sapi sudah habis, dijual murah-murah karena panik. Hasil jualan sapi, jangan ditanya. Sudah habis untuk bekal selama mengungsi.
Kini, tatkala status Gunung Agung diturunkan menjadi siaga, pengungsi memilih berbondong-bondong pulang kampung. Bagi mereka, pulang adalah hal utama. Lima bulan meninggalkan kampung halaman, tentu waktu yang teramat lama.
Saat sampai di kampung, pengungsi harus menghadapi hal tak kalah berat. Di kampung, mereka masih belum punya sumber penghasilan. Ternak tak ada. Lahan pertanian mangkrak karena berbulan-bulan tak digarap.
Mengolah lahan kembali produktif, perlu biaya. Apalagi kalau mau memelihara sapi kembali. Tentu perlu modal yang tidak sedikit. Masalah itu pula yang kini dihadapi para pengungsi.
Kadek Darna contohnya. Pengungsi asal Dusun Belong, Desa Ban ini, tengah dirundung dilema. Pertama, ia bersyukur sudah diizinkan pulang kampung semenjak status Gunung Agung turun. Kedua, ia bingung karena di kampung tidak ada yang bisa dikerjakan.
Kini dia hanya bisa berharap dari lahan desa yang sudah digarap keluarganya turun temurun. Rencananya dia akan memelihara jagung, yang biaya tanamnya relatif murah.
Lalu, dimana cari modal? “Utang,” kata Darna dengan lugas. Di mana cari utang? “Rentenir,” lanjutnya. Kali ini ia bicara dengan nada pelan.
Rentenir hanya satu-satunya cara mendapat modal dengan murah. Pinjam di bank, mustahil. Sebagian besar bank menolak memberi pinjaman pada petani.
Pinjam di koperasi, juga tidak mungkin karena tidak ada koperasi di sana. Pinjam di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) juga mustahil, karena LPD sedang limbung. Dalam kondisi begitu, praktis Rentenir jadi kunci.
Maka, saat sampai di kampung halaman, Kadek Darna harus siap-siap menemui rentenir. Bersiap menanam utang, yang entah kapan akan lunas.
Nasib pengungsi seperti Kadek Darna, pastiah bergantung pada perhatian pemerintah. Setelah status Gunung Agung diturunkan, pemerintah jangan hanya berkutat pada upaya memulangkan pengungsi semata. Bagaimana pengungsi menata kehidupan di kampung, jangan sampai tak terpikirkan.
Alangkah eloknya jika pengungsi yang pulang kampung masih dapat bantuan sembako. Setidaknya selama tiga bulan, sampai mereka bisa menata kehidupan.
Lebih elok lagi, jika mereka diberi bantuan. Petani dibantu pupuk dan bibit. Peternak dibantu bibit ternak. Pedagang dibantu modal usaha.
Lalu duitnya dari mana? Dengar-dengar ada bantuan Rp 100 miliar untuk pemulihan pariwisata Bali. Pakai duit itu saja. Ketimbang memulihkan perekonomian pengusaha pariwisata, kan lebih baik memulihkan perekonomian pengungsi. (T)