PANTAI pasir putih, air laut biru cerah, ombak mencumbu karang berwarna hitam. Ketiganya terlalu indah untuk tidak dipedulikan. Keindahan menjadi semacam keterikatan. Mengapa segala yang indah justru mengikat?
Semestinya pertanyaan itu kita tanyakan kepada mata. Sebab matalah yang bertanggung jawab atas tugas melihat. Hanya saja, mata kadang tidak adil, ia selalu memilih yang indah dari pada yang tidak indah. Ketidakadilan bahkan menjadi sifat salah satu organ manusia. Jadi dari mana keadilan itu mesti lahir?
Pramoedya berkata ‘sejak dari dalam pikiran’. Pikiran macam apa yang dapat melahirkan keadilan? Saya sulit menjawab pertanyaan itu. Tetapi dahulu saya pernah diajarkan tentang sifat pikiran oleh seseorang. Salah satu sifatnya disebut Wasitwa. Berasal dari kata Wasa yang berarti pencipta, memelihara dan melebur. Karena darinyalah segalanya tercipta, maka pikiran berada di luar ciptaannya. Maksudnya, pikiran menguasai ciptaannya. Maka tidaklah salah jika ada yang berkata bahwa pikiran adalah penguasa, sebab ia mampu mengendalikan dan sekaligus memerintah. Sebagai catatan, barangkali penting untuk mengingat bahwa mencipta, memelihara, melebur adalah sifat-sifat dewa.
Ketika melihat laut saya selalu membayangkan bahwa laut adalah analogi dari pikiran. Laut tidak tenang di permukaan. Tapi tentu laut pikiran bisa ditenangkan juga diheningkan. Caranya aneh, dengan diam. Hati-hati jika hendak mendiamkan tubuh, karena pikiran lebih sulit didiamkan. Alam pikiran mesti didiamkan [heneng]. Untuk apa? Konon untuk mencapai keheningan [hening]. Apakah ‘hati’ adalah keheningan itu?
Sampai pada kata hening, saya melihat langit. Warnanya biru cerah, ada awan putih yang bentuknya macam-macam. Macam-macam bentuk itu lahir dari pikiran, sebab alam pikiran menyimpan pengetahuan. Langit disebut akasa, dan di dalam akasa ada suara. Meski suaranya tidak saya dengar karena dikalahkan suara debur ombak, entah kenapa saya meyakini langit juga sedang bersuara. Telinga saya yang tidak mampu mendengarnya. Hanya saja, langit tidak segelisah laut. Meski keduanya saling berhadap-hadapan.
Mendung datang entah darimana. Langit berubah gelap. Gerimis turun seperti benang yang berkelindan menjalin langit dan laut menjadi satu. Betapa kagetnya saya, ketika melihat warna laut sama gelapnya dengan warna langit. Ombak masih berdebur, langit kini bergemuruh. Saya gagal memahami, mana yang lebih tenang di antara keduanya. Mana yang lebih indah dari pada keduanya. Alam selalu menang atas pikiran-pikiran yang saya bangun dari segala yang ditunjukkan dan mampu saya lihat. Sayangnya alam pula yang merobohkan bangunan-bangunan itu. Sampai disana, saya mengingat pelajaran di awal. Pikiranlah yang mencipta sekaligus melebur. Apakah pikiran saya sendiri telah melebur bangunan pikiran yang telah tercipta?
Pada saatnya nanti maka pikiran pun mesti ditiadakan. Pikiran mesti dihilangkan. Pikiran hilang bukan karena lupa. Mata juga menghilang nanti. Tidak ada lagi rupa dan warna yang bisa dinikmati. Tapi bukan karena buta semua itu hilang. Segala yang terlampau halus, tidak dapat dipikir-pikirkan. Meski segalanya terlihat nyata, tapi sulit menyebutkan nama kenyataan itu.
Pada debur ombak, pada guruh langit, juga kepada ikan-ikan dan nelayan. Saya bertanya tentang laut dan langit. Siapa yang merindui siapa? Dan jika hujan terlanjur berbunga, dimanakah kita? Mati tanpa menghilang, hidup tidak hanyut dalam suka duka. (T)