Selamat datang di Wisata Monolog Teater Kalangan!
Kepada kawan-kawan yang merasa asing di rumah sendiri. Kepada kawan-kawan yang sudah teramat jenuh dengan paket-paket wisata; pemandangan khas, unik, asyik bin ajaib; hotel, kafe, restoran, atau mall mewah, murah, meriah, pun dengan diskon promo sana-sini sebagai bentuk perhatian kepada semuanya yang sebenarnya, jika dicek kembali, harganya toh sama saja dengan hari biasa. Tentu, undangan ini jadi begitu penting artinya. Sebab ini wisata bukan sembarang wisata. Ini wisata begitu intim terpencil. Amat jauh dari hingar bingar yel-yel, iklan, baliho bertuliskan Wonderful Indonesia yang dijumpai sehari-hari.
Sebagaimana namanya, wisata ini menyajikan beberapa monolog sebagai menu hidangan yang ditawarkan kepada para wisatawan. Perlu saya garisbawahi sejak awal, konsep wisata monolog sendiri sejatinya baru sebatas rancangan dari tema besar tentang pembacaan terhadap realitas Bali hari ini. Jika dikaitkan dengan produktifitas pariwisata Bali yang makin hari makin gencar memproklamirkan diri sebagai destinasi pariwisata dunia, apakah ada hubungan diantaranya?
Saya sendiri sebagai sutradara amat tergelitik saat menemukan begitu banyak kasus ketegangan yang terjadi akibat dampak pariwisata yang berkembang. Erupsi Gunung Agung misalnya, wacana lebih cenderung digulirkan pada persoalan pariwisata Bali yang akan terpuruk. Hal yang sama juga terjadi pada kasus joged porno yang sempat viral beberapa waktu lalu. Ada saja orang yang beralasan bahwa hal tersebut akan mencemari nama Bali sebagai tempat destinasi pariwisata. Sungguh ironis! Betapa semuanya selalu bermuara pada terpuruknya pariwisata. Seolah-olah, tanpa pariwisata, Bali akan hancur lebur, luluh lanta tak bersisa!
Ini sungguh bukan masalah benar-salah atau setuju-tidak setuju perihal wacana-wacana yang tengah bergulir tersebut. Yang menarik perhatian saya justru keberjarakan kita dalam memahami realitas yang sedang terjadi. Jika mau dikejar, mengapa kita bisa begitu resisten dengan adanya joged porno, sementara begitu banyak kafe-kafe atau kompleks prostitusi yang menjamur di sekitar? Mengapa joged yang notabene, dulunya memang ditujukan untuk tari pergaulan, dimaksudkan untuk membangun hasrat bercinta penontonnya jadi disikapi sedemikian tengetnya? Tak bisakah kita menyempatkan diri untuk berpikir mengapa penari joged bisa menjadi sedemikian porno? Pun ketika status Gunung Agung yang ingin diturunkan. Hanya gara-gara pariwisata saja, gunung siap meletus yang nyata tampak di depan mata ingin dikatakan baik-baik saja. Betapa absurdnya!
Saya tak ingin memperkeruh tulisan dengan merinci persoalan-persoalan tersebut, sebab memang perlu adanya observasi dan riset yang lebih mendalam untuk mengkajinya. Yang ingin saya tekankan adalah paradigma pariwisata modern yang terlampau optimis dengan rasionalitas ilmiahnya, memandang masa depan pasti menuju ke arah lebih baik justru membuat masyarakat lokal menjadi asing di negeri sendiri. Benturan kultur yang dibawa tourist asing dan pandangan dunia yang hilir mudik pertemu-dipertemukan secara tak langsung telah memengaruhi interpretasi penduduk lokal dalam memandang realitas. Parahnya, ini tak terjadi secara organis! Rancangan wisata modern yang cenderung mementingkan kuantitas sebagai indikator keberhasilan ditambah dualitas posisi subjek-objek dan oposisi biner, yang elit dan yang liyan, yang menguasai dan dikuasai menjadikan interpretasi seolah dipreteli, diikat, dan diperkosa oleh pandangan dunia pada umumnya. Tak ada lagi kesempatan buat merabai realitas kita sendiri dengan lebih intim. Keberjarakkan ini, sekali lagi menjadi hal unik dan menarik untuk dipertemukan dalam pentas.
Monolog dalam Wisata
Sebagaimana yang telah diuraikan, konsep keberjarakan dalam pariwisata ini menjadi titik keberangkatan kami menciptakan pentas bertajuk “Wisata Monolog”. Bukan hanya mempertanyakan jarak sebagai sebuah lintasan fisik yang diraba dan dilalui dengan badan indrawi semata, melainkan masuk pada relasi psikologis yang menghadirkan makna antara ruang, teks, dan aktor itu sendiri. Relasi jarak ini, kami percaya saling taut-bertaut-menautkan.
Bagaimana refren yang dipunya penonton sebelumnya juga turut memberi andil dalam memaknai pentas? Bagaimana pengaruh pentas jika penonton ditempatkan dalam sudut pandang berbeda? Mampukah pentas itu sendiri diperbincangkan atau paling tidak, dapat nyempil di pikiran penonton, sama seperti pengalaman yang didapat sepulang wisata meski perjalanan telah usai?
Dalam rangka menjawab semua itu, kami akan membagi penonton dalam dua kelompok besar. Yang jadi wisatawan dan yang jadi liyan. Yang wisatawan akan diberi paket-paket wisata, sebagaimana biasa kita jumpai pada agen-agen travel yang menawarkan destinasi objek wisata. Paket-paket wisata ini, terbagi dalam tiga sesi. Semuanya menampilkan naskah monolog karya Putu Wijaya. Sesi pertama akan menampilkan pameran “Instalasi Ingatan” pertunjukan monolog yang pernah dimainkan Teater Kalangan sebelumnya. Dilanjutkan dengan monolog “AUT”, dimainkan oleh saya sendiri bersama beberapa pemeran pembantu lainnya. Kemudian menampilkan “PIDATO GILA” dimainkan oleh Julio Saputra.
Pada sesi kedua akan menampilkan lima monolog yang dimainkan sekaligus secara bersamaan dengan tempat yang berbeda. Penonton wisatawan akan dipersilahkan memilih salah satu monolog yang ingin ditonton. Adapun kelima monolog itu adalah “MATAHARI TERAKHIR” yang dimainkan oleh Agus Wiratama, “HP” yang dimainkan oleh Ni Putu Purnamiati, “DAMAI” yang dimainkan oleh Manik Sukadana, “TEROR” yang dimainkan oleh Cleo Chintya, dan “SURAT KEPADA SETAN” yang dimainkan oleh A.A.N Anggara Surya. Sedangkan pada sesi ketiga, kembali penonton berkumpul bersama menyaksikan monolog “BALI” yang dimainkan oleh saya sendiri. Dan dilanjutkan dengan bonus berhadiah, menampilkan monolog “MEMEK” yang dimainkan dan disutradai oleh Putu Satriya Koesuma.
Lalu, bagaimana dengan penonton yang menjadi liyan? Adapun paket khusus yang ditawarkan adalah menyaksikan pentas dengan sudut pandang ketiga. Menyaksikan interaksi penonton, aktor, ruang, dan teks pada masing-masing tempat yang berbeda sebagai sebuah keutuhan pentas. Penonton ini, bisa saja menyikapi dirinya sebagai subjek dengan penonton wisatawan dan pentas sebagai objek. Pun terbuka peluang bagi penonton liyan untuk menenggelamkan diri dalam fungsi dan peran yang ditujukan untuk penonton wisatawan.
Bentuk Monolog
Adapun bentuk monolog sendiri dipilih, selain berkenaan dengan acara Festival Monolog 100 Putu Wijaya, juga usaha untuk mengingatkan, betapa keberadaan seni modern seperti monolog masih mengalami ketegangan dengan seni tradisi lainnya. Semakin ironis, ketika monolog masih diinterpretasi pada wilayah penyelenggaraan lomba yang sarat dengan aturan dan standarisasi penjurian. Konsep wisata monolog adalah usaha untuk menarik masuk penonton pada pemikiran dan kegelisahan kami yang tak terlepas dari niatan menginterpretasi teks dan konteks itu sendiri.
Dari delapan monolog yang saya sutradarai, sebagian merupakan monolog yang sudah pernah dipentaskan, sebagian lagi adalah produksi baru Teater Kalangan. Adapun produksi yang baru adalah “Aut”, “Matahari Terakhir”, “Teror”, dan “Bali” Sementara pada monolog produksi lama, saya tak ingin terjebak pada pengulangan pentas. Niatan untuk mengeksplorasi keberjarakan yang diungkapkan sebelumnya, justru membawa saya dan kawan-kawan lainnya pada proses memahami naskah lebih lanjut.
Pada monolog “Pidato Gila”, “HP” dan “Surat Kepada Setan” yang sudah pernah dipentaskan, kami mencoba bermain pada wilayah pengembangan pentas, kemungkinan lain yang sekiranya luput pada produksi sebelumnya, serta penyikapan terhadap ruang yang berbeda. Pada monolog “Damai” yang kami anggap sudah mapan sebagai pentas, kami mencoba bermain-main dalam konteks pra produksi pementasan. Bisakah pra produksi pentas punya makna yang sama nilainya dengan saat pentas itu sendiri atau malah pemaknaan cenderung berbeda, atau bisa tak ada maknanya sama sekali. Dalam rangka membangunkan ingatan, memberi referen terhadap pentas, akan ditampilkan “Pameran Instalasi Ingatan” sebelum penonton memasuki pentas.
Bagaimana semestinya desain pariwisata yang ideal? Bagaimana kita menyikapi realitas yang terjadi? Sampai saat ini, kami pun masih tengah mendiskusikan. Sambil merampungkan pentas hari-H, saya tulis catatan ini. Dalam bahasa yang terbata, ini akan jadi awal titik kami berangkat menuju pentas-pentas selanjutnya. Pada akhirnya, apa yang saya uraikan ini hanyalah sebuah pengantar untuk memasuki panggung Wisata Monolog. Entah itu akan terbaca, terpapar, dan mengena, saya serahkan kembali pada para wisatawan.
Maka dari itu kawan-kawan, sempatkanlah diri untuk hadir pada 26 Desember 2016 pukul 18.30 Wita di Kampus Bawah Undiksha, Singaraja nanti. Pentas ini tak dipungut biaya apapun alias gratis, namun untuk pemesanan kursi, sebisa mungkin hubungi saya terlebih dahulu (081805552079). Sebagaimana tuan dan puan pernah berwisata, tak mungkin pihak travel mempersilakan siapapun masuk apabila kursi di bis yang telah terisi penuh, Bukan? Maka segeralah berkabar! Sebab ini wisata bukan sembarang wisata.
Selamat datang di Wisata Monolog Teater Kalangan! (T)
Singaraja, 2017