PARIWISATA Bali sedang terpuruk. Itu karena sejumlah negara memberlakukan travel warning. Konon gara-gara pemberitaan media massa soal Gunung Agung.
Kondisi terkini pariwisata Bali jadi perhatian serius pemerintah. Bahkan Presiden Jokowi sampai nge-vlog di Pantai Kuta untuk memastikan Bali benar-benar aman, biar turis berdatangan.
Pemerintah juga merasa perlu menyebarkan informasi yang bertentangan dengan media arus utama. Tatkala media arus utama memberitakan Gunung Agung meletus, di media sosial pemerintah segera posting foto turis yang berfoto dengan latar belakang Gunung Agung saat menyemburkan asap hitam pekat. Lengkap dengan hastag #BaliIsSafe #BaliAman #YukLiburanKeBali.
Media arus utama tak bisa disalahkan sepenuhnya atas krisis pariwisata di Bali. Mereka hanya menyajikan fakta yang didapat, dalam bentuk berita. Ketika berita itu dijadikan rujukan negara lain menerbitkan travel warning, ya itu urusan domestik negara bersangkutan.
Masalah utamanya mungkin terletak pada istilah-istilah soal gunung api yang seram. Itu menurut saya, lho. Istilah yang seram itu kemudian dikutip media dan diberitakan. Ketika dibaca turis dan diplomat negara sahabat, tentu terasa menakutkan.
Maka hemat saya, istilah seputar gunung api harus diubah. Bagaimana cara mengubahnya? Ya, cari istilah-istilah baru yang nyaman di telinga, terutama di telinga wisatawan.
Menteri Pariwisata Arief Yahya sudah memberi contoh. Beliau menggagas istilah status pariwisata. Seperti halnya Gunung Api, ada empat status yang disematkan. Normal, waspada, siaga, dan awas.
Tatkala Gunung Agung kini menyandang status awas, tak demikian dengan pariwisata Bali. Pariwisata Bali berstatus waspada.
Dengan status waspada, tentu tak ada alasan bagi negara sahabat menerbitkan travel warning, apalagi travel ban bagi warganya yang ingin liburan ke Bali. Sungguh ide yang jenius.
Maka, atas nama pariwisata, beberapa istilah soal aktifitas Gunung Api saya usulkan diubah. Ini demi dolar yang harus mengalir ke dompet kita dan kantong negara.
Istilah tremor misalnya, diganti saja jadi guncangan atau getaran. Atau goyangan, hehehe. Hujan abu vulkanik, diganti saja dengan hembusan debu kotor.
Begitu pula dengan Pengungsi Gunung Agung. Lebih baik istilah itu diganti dengan “Peserta Jambore Gunung Agung”. Saat muncul di media, tentu istilah kedua lebih bersahabat.
Misal media A, menggunakan istilah pertama. Beritanya akan menjadi: “Sebanyak 71 ribu pengungsi Gunung Agung kini menghuni 213 titik penampungan”.
Sementara media B, menggunakan istilah kedua. Beritanya menjadi: “Sebanyak 71 ribu peserta Jambore Gunung Agung kini menghuni 213 titik perkemahan”. Lebih enak dibaca berita kedua kan? Tidak seram.
Apabila istilah-istilah itu diganti, mungkin tidak akan membuat wisatawan khawatir. Apalagi sampai mengguncang pariwisata Bali.
Dengan pengggantian istilah, maka langkah Presiden Jokowi mencabut status tanggap darurat juga tepat. Wong tidak ada warga yang mengungsi. Cuma ada peserta Jambore Gunung Agung yang sedang kemah. Lagipula status pariwisata Bali juga cuma waspada. Jadi tidak perlu ada travel warning. (T)
NB:
- Nanti, kalau ada berita yang menyebutkan Gunung Agung meletus, jangan percaya. Yang benar, Gunung Agung hanya bersin.
- Kalau ada lelehan warna merah keluar dari kawah, jangan khawatir. Itu bukan lava. Itu cuma ingusnya Gunung Agung. #BaliIsSafe #BaliAman #YukLiburanKeBali.