NASKAH BOR mengingatkan pada sejarah bangsa. Ketakutan, suara tembakan, mencekam, bingung, dan semerawut. Kekuatan naskah ada pada narasi. Naskah yang ditulis dengan ugal-ugalan, meledak-ledak dan absurd. Tak mudah dimengerti. Pesan yang ingin disampaikan begitu banyak. Yang pasti naskah BOR mengingatkan apa yang harus diingat. Sejarah.
Dalam dapur penciptaan karya sastra apapun (entah puisi, cerpen, naskah drama/monolog) selalu ada yang menarik. Ada dialektika di dalamnya. Katakanlah ketika melihat sebuah kejadian, imajinasi kita bekerja. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul tentang apa dan bagaimana latar belakang.
Lalu mendekonstruksi dengan bahasa yang halus dan lebih manusiawi. Mencipta dan menyimpan ingatan yang pada akhirnya akan mati, kemudian menulis, adalah cara menyimpannya dan menghidupkannya kembali. Karya sastra tak jauh dari kenyataan. Sastra berfungsi mengawetkan ingatan-ingatan pada suatu zaman.
Naskah BOR: Luka Diingat Kembali, yang Mati Abadi
Naskah BOR menceritakan tentang seorang perempuan mendengar suara tembakan, lalu melihat seseorang (laki-laki) tertembak/terbunuh di pinggir jalan. Sampai akhirnya ia mencoba mendekati tubuh yang terbaring. Orang-orang yang lewat tak peduli. Tak ada yang peduli.
Mungkin hal diatas mengisyaratkan bahwa pada suatu zaman, orang-orang sudah terlalu sering melihat mayat tergeletak sehingga tak peduli lagi. Dalam bahkan dalam naskah, si perempuan mengatakan “Orang-orang lewat melangkahinya begitu saja, mereka menyangka ini hanya kelambu bekas. Bahkan sebuah mobil menyerempetnya dengan berani”. Seolah-olah, yang mati adalah orang yang meresahkan, pantas untuk mati dan memang diingin mati.
Peristiwa tersebut adalah ingatan yang hidup dalam kesadarannya. Si tokoh perempuan bercerita dan memvisualisasikan dalam gerak. Ia menjadi petugas keamanan. Ia menjadi hakim. Ia melihat mayat yang memang ditampilkan dalam pementasan.
Si perempuan akhirnya mengadu ke pos keamanan, melaporkan peristiwa yang telah dilihatnya dengan panik. Tapi petugas tak percaya. Petugas meminta KTP, Surat jalan, Pengaduan, dan mempersilahkan si perempuan mengisi formulir. Dalam naskah, petugas berkata, “ini bukan zaman Petrus lagi, jangan coba-coba bikin kacau….”.
Sebuah situasi yang diselimuti ketidakpercayaan pada warga sipil, penuh kecurigaan, dan watak yang otoriter. Mengingatkan pada zaman orde baru. Petugas keamanan tak mau mendengar pengaduannya. Tak mau menyelesaikannya. Petugas menganggap itu hanya masalah sepele dan enteng. Bisa diselesaikan oleh seseorang saja.
Zaman Suharto membentuk sebuah paradigma, bahwa ketakutan yang luar biasa efektif untuk membunuh dan menciptakan efek atas pembunuhan. ‘Petrus’, misalnya : mayat dibuang di trotoar, tempat umum, gang-gang rumah sebagai efek kejut ketakutan dan dalih keamanan.
Selanjutnya, Kata-kata, “Lalu buka mata, melihat yang kasat mata saja seperti para arsitek dan pedagang”. Pembangunan dan Penanaman modal Asing. Arsitek dan pedagang barangkali adalah simbol dari Suharto yang dikenal sebagai bapak pembangunan dan terbuka luas penanaman modal asing di Indonesia. Negara lebih mementingkan pembangunan daripada harga diri manusia.
Sosok Fasisme
Dalam petunjuk naskah, ada wajah-wajah pemimpin fasis yang ditampilkan. Hitler, Stalin, Mussolini, dan sebagainya? Sebagainya? Apakah boleh memasukkan Suharto? Banyak pemimpin Negara yang dianggap fasis. Mengapa menampilkan sosok fasis? Fasisme, penguasaan atas Negara dengan cara-cara kekerasan dan penindasan untuk suatu tujuan
Naskah BOR, melalui simbol-simbol, sepertinya menunjukkan suatu zaman yang dipimpin oleh pemimpin fasis di suatu Negara. Dalam naskah terdapat semacam renungan yang membuat kita menjadi lemas seketika.
Miasalnya dalam kutipan naskah berikut “……Ini bukan rampok yang mati karena kepeleset di batu marmer di rumahnya sendiri. Ini bukan raksasa yang konyol karena terlalu banyak mereguk kebahagiaan orang lain. Ini bukan konglomerat gurita itu… Berjuta-juta warga yang lapar dan rindu memiliki hak-haknya sendiri yang belepotan di tangan kamu. Itu mayat-mayat yang hidup menjadi hantu, maling, bandit, pemalas, kerbau, dan binatang-binatang buas, mahasiswa bebal, pemadat narkotika, ulama-ulama bejat yang memberontak dengan segala cacat dan kelemahannya di dalam karena putus asa dan bingung……..”.
Krisis moneter. Begitu banyak yang menjadi korban. Fakta sejarah mencatat, selama orde baru berkuasa, banyak dosa-dosa yang dilakukan mulai dari Pulau Buru terkait kader PKI, penembakan misterius (Petrus) yang terkait kriminalitas, daerah operasi militer di Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, sampai penculikan dan kerusuhan Mei 1998.
Dalam naskah ada petunjuk demikian “Suara hentakan sepatu berbaris. Sidang pengadilan”. Suatu simbolis yang satir. Pengadilan ala militer barangkali cocok untuk mendefinisikan tafsir simbolik atas petunjuk dalam naskah. Fasisme selalu identik dengan militerisme. Jerman dengan tentara NAZI, Stalin di Uni Soviet, Mussolini di Italy, Jepang dengan Tenno-Heika. Tak terkecuali Indonesia dengan dwi fungsi ABRI. Militer, dengan segala cara dirasa mampu menegakkan hukum dan ketertiban. Moncong-moncong senjata yang siap memberedel siapa saja.
Selain itu, pada zaman fasis Orba, hegemoni pengetahuan/pendidikan juga terjadi. Misalnya pada kata-kata berikut “Kelas tiba-tiba selesai dan kita tak memperlajari apa-apa. Kesempatan kita ditutup dan kita baru berniat”.
Di sini kita melihat bagaimana sebuah Negara mengambil peran dalam proses pendidikan. Pendidikan seolah-olah berjalan begitu saja, selalu sama, tak ada kebebasan, tak jelas apa yang dipelajari. Kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang lain dilarang.
Proses Kreatif: Imajinasi-mu Abadi
Dalam penggarapan konsep, sutradara tak menghiraukan perintah-perintah yang telah ada dalam naskah. Terlalu rapi. Perintah-perintah justru membuat tidak bebas untuk mengasah kreatifitas. Dan dirasa terlalu boros biaya. Maka, kami mencoba untuk menolak perintah-perintah yang ada dalam naskah monolog BOR. Mencoba mengkonsepkan dengan sesederhana namun tetap wah untuk disaksikan. Kami tidak menghilangkan/memotong sebagian naskah oleh sebab aktris mampu menghafal dengan cepat. Juga, seluruh isi naskah dirasa berkesinambungan. Kata-kata yang liar dan tak semerawut menarik untuk tetap didiengar.
Latihan demi latihan dijalani setiap malam. Konsep dari teman-teman ditampung oleh sutradara. Sutradara tidak begitu banyak mengarahkan aktris, Gamma yang merupakan mahasiswa Basindo untuk koreksi ketepatan tanda baca dan intonasi, serta tempo bicara. Sebab, aktris sudah memiliki keterampilan dalam hal tersebut. Hanya saja, gestur kurang diperhatikan.
Sebenarnya, naskah ini dimainkan oleh dua orang, satu orang melakukan, yang lain mengucapkannarasi. Boleh dimainkan oleh laki-laki maupun perempuan. Namun setelah dicoba, ternyata hasilnya tak seperti apa yang diharapkan. Akhirnya, monolog ini dimainkan oleh satu orang saja. Kami juga menghilangkan alias tidak memakai projector, yang sebagai perangkat pendukung pementasan sebagaimana telah dijelaskan dalam petunjuk naskah. Sebagai gantinya, apa-apa yang ditampilkan dalam projector, kami tetap tampilkan dalam panggung pementasan.
Konsep Panggung kami rancang sederhana. Terbuka. Seperti jalan raya. Kami siapkan plaster hitam sebagai pembatas pangung. Juga plaster putih sebagai garis putus-putus di tengah jalan aspal. Penonton berada pada sisi kanan dan kiri jalan/panggung. Ada lampu dari atas seperti jalan raya pada umumnya. Kami juga menghadirkan semacam papan iklan yang diisi sebagai entah apa (penasaran ya? Nonton aja) pengganti projector.
Dengan konsep panggung demikian, kami mencoba mengajak penonton membangun imajinasinya sendiri.di mana rumah, di mana pos keamanan, di mana pengadilan, dan tempat-tempat lain yang dihadirkan dalam narasi cerita yang kuat. Dan mengimajinasikan peristiwa-peristiwa melalui narasi cerita.
Monolog BOR digarap oleh Komunitas Puntung Rokok. Masih dalam serangkaian “Parade Monolog Teater Muda” dan Serangakaian “Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya”. Dapat disaksikan di depan wantilan Fakultas Bahasa dan Seni. Minggu 24 Desember 2017. Pukul 20.00 WITA. Sesuai yang telah dijadwalkan, akan ada 4 pementas termasuk Komunitas Puntung Rokok, bersama 2 komunitas teater, yaitu : Komunitas Senja 2 naskah, Komunitas Mahima 1 naskah.
Salam Budaya. (T)