2 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Pentas monolog Pelacur di Romprok Kopi Kertas Budaya, Jembrana

Pentas monolog Pelacur di Romprok Kopi Kertas Budaya, Jembrana

Ini Undangan: Saya, Si “Pelacur”, Bermain Lagi…

Devy Gita by Devy Gita
February 2, 2018
in Esai
51
SHARES

 

“Senang? Bagaimana bisa senang kalau diperkosa? Saya juga manusia biasa, meskipun PELACUR!” (Monolog Pelacur, Putu Wijaya)

Eksistensi seorang pelacur seharusnya tidak usah dipertanyakan lagi. Bukan hal mengapa dia ada? Namun, siapa yang membuat dia ada? Selama dirinya masih dicari dan dibutuhkan untuk memuaskan selangkangan-selangkangan berduit, dia tidak akan berhenti bekerja.

Pelacur bukanlah sebuah cita-cita. Manusia mana yang dengan bangganya berkoar jika kelak saat besar dia ingin menjadi pemuas dahaga diatas ranjang?  Nihil. Pilihan karena kosongnya pilihan lainlah yang membuat para perempuan tersebut merentalkan vagina mereka. Apa karena bekerja sebagai pelacur membuat mereka menjadi bukan manusia? Siapa bilang?

Mereka tetaplah manusia, dengan jumlah anggota tubuh yang sama dengan manusia lain. Mempunyai akal, pikiran dan hati, hal yang dimiliki juga oleh makhluk yang disebut manusia, bukan? Tetapi, mengapa perlakuan yang mereka terima berbeda? Mengapa untuk menafkahi keluarga, mereka menyembunyikan identitas?

Sebagai warga, pelacur juga punya hak yang sama untuk mendapatkan keadilan atas ketidakadilan yang mereka terima dari oknum panutan masyarakat yang seharusnya menegakkan keadilan itu sendiri.

Paradoks di atas dituangkan dalam sebuah pementasan monolog dalam rangka  Festival Pelajar Jembrana dalam naskah monolog yang berjudul Pelacur karya Putu Wijaya pada tangggal 8 Oktober 2017 lalu di Rompyok Kopi Rumah Kertas Budaya Jembrana.

Setelah 2 bulan, sang sutradara, Wulan Dewi Saraswati memutuskan untuk mementaskan naskah ini sekali lagi dalam Festival Monolog 100 Putu Wijaya pada pertengahan Desember 2017 dengan tetap mempercayakan saya, Devy Gita, untuk memerankan si Pelacur.

Mengambil naskah yang sama dengan aktor yang sama pula merupakan sebuah pemuasan dahaga berkreatifitas dan bereksperimen dalam sebuah produksi pementasan teater khususnya monolog. Dalam sebuah naskah, berbagai interpretasi tentang bagaimana membawa naskah ini ke atas panggung bermunculan.

Mulai dari setting panggung, kostum pemain, iringan musik yang digunakan, visualisasi pendukung, sampai gesture dan mimik pemain saat di atas pangung.  Sehingga menjadi wajar jika saat sebuah naskah dieksekusi menjadi pementasan satu dan lainnya walaupun dimainkan oleh aktor yang sama akan terasa berbeda.

Hal inilah yang menjadi latar belakang dipilihnya naskah pelacur dengan aktor yang sama untuk kembali dipertontonkan pada hari Selasa, 19 Desember 2017 nanti di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja.

Berkaca dari evaluasi penampilan sebelumnya yang di tonton kembali berkali-kali dan menerima banyak kritik membangun, pementasan kali ini memberikan beban yang lebih besar kuantitasnya bagi aktor maupun sutradara.

Pada pementasan pertama, persiapan pentas kurang dari 7 hari. Mulai dari pemahaman naskah hingga publikasi dan gladi. Apalagi saat pementasan terjadi beberapa kendala tidak terduga yang membuat pementasan terlihat kurang maksimal dan tidak memberikan kepuasan bagi sutradara maupun pemain.

Proses pra-produksi untuk pementasan kali ini mendapatkan porsi waktu yang lebih Panjang. Persiapan dan latihan dilakukan tidak terjadwal karena kesibukan masing-masing dari sutradara dan aktor yang harus menunaikan kewajiban untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Latihan dimulai sore hingga malam hari sambil menyiapkan mapping dan publikasi untuk memeriahkan pementasan.

Mekipun pementasan monolog memerlukan tim dan persiapan pra-produksi yang tidak sebanyak produksi – produksi teater lain, kami tetap melakukannya dengan serius. Detail sangat diperhatikan, sutradara juga memberikan kebebasan pemain untuk bereksplorasi terhadap naskah.

Namun karena saya, si pemain, belum memiliki jam terbang tinggi dalam hal pementasan monolog, kesabaran dan arahan sutradara menjadi hal yang krusial. Beruntung, pemain dan sutradara memiliki kedekatan dan dalam frekuensi yang sama sehingga proses latihan berjalan dengan baik.

BACA JUGA: Pelacur, Repetisi Ingatan Perempuan dan Hak yang Dibungkam

Untuk publikasi dan musik penyemarak pementasan, tangan-tangan kreatif Carolina Ajeng (Akar) dan Dea Chessa dipercayakan. Mengambil konsep recall memory dengan menggabungkan potongan – potongan stimulus dari emosi masa lalu dan keadaan sekarang, sutradara dan pemain ingin memberikan penampilan berbeda dari pementasan Pelacur sebelumnya yang sangat sederhana.

Pra-Produksi Monolog pelacur dikerjakan keroyokan oleh perempuan-perempuan untuk perempuan. Mengingat kami bernaung dibawah payung Komunitas Mahima yang aktif bergerak dan menyuarakan The Power of Women melalui seni pertunjukan dan sastra, kami sekaligus ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa kami adalah perempuan yang memiliki semangat, potensi dan kemampuan untuk menghasilkan sebuah karya yang layak dinikmati oleh penikmat seni pertunjukan teater.

Juga, kami mengharapkan mampu memberikan percikan rasa kepo bagi orang-orang yang tidak tahu menahu tentang pertunjukan monolog sehingga mereka penasaran dan datang berbondong – bondong menonton dan bersenang-senang bersama. (T)

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologrenunganseni pertunjukanTeater
Devy Gita

Devy Gita

Tinggal di Denpasar. Lulusan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja ini kini sedang memanjakan hobinya main teater dan menulis cerita

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Teater Sadewa memainkan "Tragedi di Atas Ranjang" di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Art Centre, Kamis 29 Juni 2017
Ulasan

Ulas-mengulas “Tragedi Di Atas Ranjang” – Catatan Kecil dari Bangku Penonton

TIDAK hanya sanggar tradisional, Pesta Kesenian Bali ke-39 juga memberi kesempatan sejumlah komunitas teater di Bali untuk unjuk kebolehan. Namun ...

February 2, 2018
Foto: Eka Prasetya
Opini

Bandara dan Lumba-Lumba

SEPERTI sebuah siklus, isu bandara internasional di Buleleng mencuat lagi. Isu ini biasanya mencuat setahun menjelang pesta politik. Entah itu ...

February 24, 2018
Net
Esai

Abrakadabra! Apakah Soekarno Langsung jadi Hebat? – Mendidik Anak Lewat Rupiah Baru

ORANG Indonesia, khususnya para penghuni dunia maya, memang cerewetnya minta ampun. Segala hal dikomentari dengan kemampuan analisis seadanya. Kalau disuruh ...

February 2, 2018
Diskusi sampai pagi di Omah Laras, Singaraja
Khas

Diskusi Sampai Pagi di Omah Laras – Dari Budaya Layar hingga Seni Pasca ‘65

Anak-anak muda dan mahasiswa pegiat literasi di Singaraja, Bali, kian bertambah. Kini diwadahi oleh Omah Laras, berlokasi di Jalan Kutilang ...

April 6, 2019
Jun Bintang
Kilas

Kata Jun Bintang, “Tidak Semua Cewek Bisa Jujur”

Awal tahun 2020 juga dimanfaatkan sebagai momen baik untuk meluncurkan karya oleh solois asal Gianyar, I Made Juniartha alias Jun ...

January 13, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Ilustrasi tatkala.co | Vincent Chandra
Esai

Di Nusa Penida, Ada Gadis Menikah dengan Halilintar

by I Ketut Serawan
March 1, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1418) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In