BUKAN rahasia jika langkah selalu meninggalkan jejak-jejak. Bagi pemiliknya, jejak hanyalah segala sesuatu yang telah dilahap waktu. Berbeda bagi pencari jejaknya, langkah adalah panutan. Bukannya tidak ada konsekuensi dari pencarian untuk menemukan. Segalanya mesti dibayar dengan entah apa. Mungkin dengan tempuh, membayar jarak. Dengan jawab membayar tanya. Dengan karya membayar sastra. Diam membayar gerak. Makan membayar lapar. Mati membayar hidup, dan seterusnya sampai tidak lagi ada hutang. Sayangnya, segala usaha pembayaran hanya melahirkan hutang-hutang lainnya yang tidak dapat dibayar tuntas.
Jalan sedang menunggu para pejalan, sebab jalan ini masih terlalu lengang. Tapi siapa akan menyerahkan dirinya pada jalan setapak yang dikelilingi ribuan tanda tanya? Biar saja jalan ini lengang, sebab memang demikian adanya. Jalan tidak diadakan hanya untuk segala jenis kenangan yang mesti diingat, tapi juga untuk dilupakan. Tetapi, mengingat atau melupakan, mana yang lebih gampang?
Ini hanya salah satu jalan. Kebanyakan orang lebih memilih menjadi petualang tanpa menginjakkan kaki di tanah. Membiarkan roda-roda menggilas kesempatan kaki menempuh jarak, sampai tulang-tulangnya layu. Dari atas putaran roda, mereka berkata ‘lihatlah betis buyut-buyut yang kekar karena kerja’. Sementara keturunannya seperti Kala, memakan segala sesuatu tanpa bertanya.
Jalan yang kesepian, atau karena pejalan yang sedang masuk ke dalam kesunyian? Semua gerbang tertutup, mesti dibuka. Agar cahaya terlihat dan jalan lebih terang. Pada saatnya tinggal memilih, dimana jalan keluar dari labirin yang menyesatkan juga membingungkan.
Jalan ribuan tanda tanya, mesti dijawab. Satu per satu tanpa ada satupun pertanyaan tertinggal. Jelas itu sulit. Tapi bukannya tidak mungkin. Selalu ada kemungkinan yang ditemukan ketika kaki mulai melangkah. Kemungkinannya adalah berhasil atau tidak mencapai tujuan.
Jalan ini seperti lorong waktu. Mungkin telah banyak yang menempuhnya diam-diam. Lorong waktu yang ditempuh, menghasilkan bayangan masa lalu, juga masa depan. Begitulah pejalan, ada sesuatu yang ditinggalkannya dibelakang, untuk meraih sesuatu di depan. Keduanya dibawa pada masa sekarang.
Mari ucapkan selamat pagi kepada matahari. Selamat malam kepada rembulan. Petik keduanya, lalu jadikan kedua mata. Matahari mata kanan, rembulan mata kiri. Jalan gelap akan lebih terang. Ada masa, keduanya tidak dapat diandalkan menjadi penerang. Jika keduanya tenggelam, yang terbit adalah bintang. Bintang itu bernama: Teranggana.
Siapa Teranggana? Dia melihat tanpa terlihat. Dia mendengar tapi tidak terdengar. Pada aroma dia turut, tapi hidung tidak tahu siapa dia. Jangan putus asa, dia katanya memang tidak dapat dipikirkan. Pikiran tidak mampu mencapainya. Berjalan saja, sampai kita juga menjadi dirinya. Saat itu tanyakan lagi, siapa Teranggana?
Sampai adalah tujuan. Dimana tujuan? Entahlah. Seperti bulir hujan menyatu dengan laut, atau arus sungai dilebur gelisahnya. Mana yang lebih tabah antara ikan atau karang? Ikan tidak bertanya tentang laut, karang tidak bertanya tentang ombak. Ikan tetap berenang, karang tetap diam. Pejalan mestinya tetap berjalan. Sampai atau belum, tidak ada yang tahu. Tidak juga pejalan.
Semuanya seperti delusi. Matahari tenggelam di laut, atau ia hanya pura-pura tenggelam. Matahari konon tidak pernah tenggelam, tapi mata selalu menipu. Biarkan saja alam menulis kehendaknya, dan manusia menjadi pembaca.
Kini tempuh saja jarak, sampai kita berhenti bertanya. Bertanya tentang ruang, bertanya tentang waktu. Juga pertanyaan atas pertanyaan-pertanyaan lainnya. Jalan ini memang penuh tanya. Terakhir, selamat jalan kepada pejalan, saya masih disini membayar hutang. (T)