DAYA tarik wisata di Bali seperti tidak ada habisnya. Mulai dari pantai, gunung—pendakian—hingga wisata air terjun. Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, meyimpan surga dunia yang masih sangat alami. Salah satunya adalah Air Terjun Sekumpul.
Selasa, 14 November 2017. Saya, Dziky, Fahmi, dan Chalim, mencoba mengeksplor wisata Bali Utara untuk sedikit menghilangkan kejenuhan setelah aktivitas perkuliahan yang padat. Kami berangkat dari Singaraja sekitar pukul 16:30 waktu setempat dan sampai di lokasi sekitar pukul 17:30 WITA. Satu jam perjalanan menggunakan motor. Kira-kira 20 km dari Kota Singaraja.
Air Terjun Sekumpul, sesuai namanya, terdiri dari sekumpulan air terjun, dengan jumlah mencapai tujuh air terjun yang letaknya terpisah-pisah dan berjauhan. Tujuh air terjun tersebut tersebar di tebing-tebing yang tinggi dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang masih sangat hijau sehingga akan menyejukkan mata Anda. Benar-benar menakjubkan. Air terjun ini mendapat julukan dari warga asing dengan nama Sevent Point Waterfall. Sedangkan warga setempat menyebutnya Air Terjun Pemuatan.
Dari ketujuh air terjun tersebut, hanya ada dua air terjun yang agak mudah untuk didatangi. Dua air terjun itu cukup unik. Disamping letaknya yang berdekatan, mulai dari ketinggian dan debit air masing-masing berbeda. Dan saya serta kawan-kawan, karena waktunya tidak tepat, hanya bisa mendatangi dua air terjun saja.
Bagian ini yang menarik. Untuk melihat dan berfoto ria, merasakan cipratan air, Anda harus menyiapkan tenaga yang ekstra sekali. Kenapa? Karena Anda harus menuruni ratusan anak tangga yang curam di beberapa tempat, jalan licin, suasana hutan yang mencekam, diam—hanya suara gemuruh air, jangkrik, orong-orong dan serangga hutan lainya yang terdengar—sesekali juga suara ayam hutan, tebing-tebing yang angkuh dan juga menyeberangi sungai yang arus dan kedalamannya lumayan (sepaha orang dewasa).
Namun suasana alami pedesaan, aktifitas warga—petani—, terassering, pepohonan yang hijau, hawa sejuk yang akan menghilangkan lelah Anda ketika dalam perjalanan.
Memang membutuhkan usaha yang lumayan untuk dapat menikmati air terjun setinggi kurang lebih 80 meter itu. Suara deburan air yang jatuh membentur bebatuan, percikan air yang membuat cipratan menciptakan suasana syahdu dan menenangkan hati. Sebuah harmoni alam. Pepohonan yang rindang, asri, akan membuat siapa pun jatuh hari pada Air Terjun Sekumpul. Saya pribadi mengakui ketakjuban saya terhadap Air Terjun Sekumpul ini. Wajib bagi Anda yang suka jelajah alam untuk mengunjungi air terjun ini.
Waktu sudah petang. Kabut yang ditimbulkan dari gerojokan sudah mulai membumbung ke atas menutupi jalan dan sekitarnya. Sudah saatnya kembali, pikir kami. Kami kembali ke atas sebelum hari benar-benar petang. Sebenarnya kurang puas, akan tetapi waktu sangat cepat berlalu. Untuk kembali ke atas pun bukan tanpa hambatan, menaiki ratusan anak tangga yang curam, ditambah dengan gerimis rintik-rintik, membuat jalanan cukup licin.
Bergetar kaki kami. Tersendat napas kami (ngos-ngosan). Bagi yang mempunyai penyakit asma, saya sarankan untuk mempersiapkan obat-obatan atau peralatan yang lengkap.
Jujur, hati saya gusar. Hari semakin petang dan masih banyak anak tangga yang harus didaki untuk sampai ditempat kami memarkir kendaraan. Satu demi satu anak tangga kami naiki. Dengan sisa tanaga, kami mencoba mengatur napas dengan benar agar tubuh tetap seimbang.
Kami sampai di atas. Lega. Kami menghirup udara dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Bahkan saya sudah sendari tadi menjatuhkan tubuh disebuah batu dekat papan pengumuman. Ketegangan mulai terjadi disaat Fahmi ingin memasukkan kameranya. Tas kecil tempat kamera tidak dibawanya.
“Ya Allah…” ucapnya.
Kami bertiga menatapnya.
“Tasku mana? Tasku ketinggalan di bawah.” katanya sambil memegang kepala.
Kami mulai tegang. Hari makin gelap. Suara gesekan sayap orong-orong yang aneh mulai terdengar menyeramkan. Bukit yang semula hijau kini hitam angkuh. Hutan pada malam hari.
“Ayo temani aku buat kembali ke bawah.” bujuknya.
Saya diam.
“Lim, temani Fahmi kebawah!” Dziky menyahut.
“Tunggu dululah, Bro. Aku masih mengatur napas ini.”
“Ah… keburu makin gelap ini.” Fahmi mulai panik.
Saya tetap diam. Tak bisa ngomong. Bahkan tak berani membayangkan keadaan di bawah sana.
“Ayolah!” Fahmi mulai mendesak.
“Ya sudah ayo.” Chalim bersedia.
Saya lega. Mereka berdua—dengan sisa tenaga dan keberanian yang masih ada—nekat kembali ke bawah dengan bekal senter handpone. Sedangkan saya dan Dziky, menunggu di atas dengan hati yang gusar. Jika nanti mereka berdua—sejam tidak kembali—saya akan panggil warga untuk membantu mencari mereka berdua, pikirku. Saya tidak tahu keadaan di bawah seperti apa, jadi saya tidak dapat menceritakan proses mereka mengambil tas yang tertinggal. Mungkin, mereka tegang, takut, atau sejenisnya. Anda dapat membayangkannya sendiri.
Pukul 18:30 mereka belum sampai di atas. Saya kembali tegang, tidak tahu dengan Dziky, yang jelas dia masih asyik dengan kameranya. Tepat pukul 19:00, mereka berjalan terseok-seok saling rangkul satu sama lain. Chalim terlihat ngos-ngosan, Fahmi lebih parah rupanya. Saya lega. Saya bersyukur mereka kembali.
Itulah tadi, catatan perjalanan kami di Air Terjun Sekumpul. Sebuah air terjun yang memberikan kesan keindahan dan ketegangan bagi saya. Untuk itu, jika Anda mau berkunjung ke Air Terjun sekumpul ini, saya sarankan untuk memulai perjalanan sekitar jam 07:00 – 08:00 pagi. Jangan seperti kami.
Okey. Semoga bermanfaat. (T)