Sekitar tahun 2010 saya bersama sejumlah teman berencana menerbitkan kumpulan puisi dan esai tentang Tabanan. Saya yang bertugas mengumpulkan puisi dan tulisan menghubungi sejumlah teman penyair dan penulis. Salah seorang yang saya hubungi adalah penulis yang benar-benar saya kagumi dan segani sejak SMA ketika saya baru hanya mengenal dia lewat serial “Sekuni” di Bali Post.
Dia, IBM Dharma Palguna. Saya harus mendapatkan tulisannya. Mungkin karena kekaguman saya maka saya secara subjektif menganggap tak akan punya jiwa buku itu jika tak ada tulisan dia.
Selain memang lahir di Tabanan, IBM Dharma Palguna juga sempat menetap beberapa tahun di sekitar jalan arteri Kediri-Pseiapan, mungkin tepatnya tak jauh-jauh dari Pasar Kodok sekarang. Namun saat saya menghubunginya dan minta tulisan, ia sudah menetap di Lombok.
Dan karena kendala sejumlah hal, buku itu tak jadi terbit. File naskah teman-teman masih saya simpan dengan harapan suatu saat akan saya terbitkan secara swadaya. Namun hingga IBM Dharma Palguna pulang ke tanah wayah, 27 Oktober 2017, harapan saya tak terkabulkan. Saya sangat bersalah dan berdosa.
Saya tak tahu apakah dua tulisan ini sudah pernah diterbitkan dalam buku atau di media lain. Untuk itu, saya unggah dua esai Gus Pal ini agar bisa dibaca, terutama oleh teman-temannya di Tabanan. Selain dua esai, saya juga menyimpan sejumlah puisi Gus Pal yang rencananya juga akan diikutkan dalam buku itu. (Made Adnyana Ole- redaksi)
PELANGI DI TENGAH PASAR
Oleh: IBM. Dharma Palguna
Saya hanyalah seorang bocah yang belum tahu bahwa Tabanan itu adalah ibu kota sebuah kabupaten yang juga bernama Tabanan. Setiap kali saya diajak ke Tabanan, maka melalui mata kanak-kanak, otak saya merekam sebuah gambar yang sampai sekarang pun masih jelas saya ingat. Rekaman gambar itu tentang seorang lelaki saparuh umur yang selalu berjalan kaki mengelilingi kota dengan pakaian terbuat dari karung yang compang-camping. Lelaki itu mengalungi lehernya dengan potongan-potongan besi dan seng, melilit kepalanya dengan tali, sementara rambutnya yang tak terurus sudah menyerupai warna tanah.
Tanpa bertanya pun pikiran kanak-kanak saya sudah tahu bahwa beliau beda. Ia sangat asyik dengan dirinya. Barangkali ia tahu dirinya sering diperhatikan oleh orang-orang. Namun ia tidak pernah saya lihat mengganggu orang. Tanpa bicara beliau telah berhasil menunjukkan kepada khalayak, bahwa dirinya lain daripada yang lain. Ia tidak menuntut pengakuan atas perbedaan itu, tapi ia langsung mendapatkannya. Ia diakui buduh (gila).
Rekaman peristiwa “hebat” itu terjadi sekitar akhir dekade 60-an. Saya katakan hebat karena sampai sekarang rekaman itu masih ada dalam file memori saya, sedangkan peristiwa lain yang terekam pada periode yang sama sudah lama terhapus.
Puluhan tahun setelah rekaman gambar itu, saya dibuat semakin menjauh dari Tabanan oleh karena perjalanan hidup memang berkehendak begitu. Di mana pun saya tinggal, dan peristiwa apa pun yang saya alami diberbagai tempat yang baru, semua itu ternyata tidak menghapus kemelekatan gambar itu di otak saya. Selalu ada momen yang menyebabkan gambar itu muncul ke permukaan pikiran. Dan setiap kali gambar itu muncul, selalu membawa sensasi. Oleh karena itu, saya tidak pernah menyikapi kemunculan gambar itu dengan tidak serius. Saya betah merenung lama-lama untuk menghormati warisan masa kecil itu.
Dan sore ini ketika mengetik tulisan ini, saya tidak di Tabanan. Saya sedang larut dalam perenungan tentang beliau yang status sosial dan status mental kejiwaannya diakui beda itu. Hanya saja saya tidak lagi melihat beliau sebagai dirinya, tapi sebagai satu fenomena budaya yang kompleks. Beliau saya posisikan sebagai wakil dari orang dalam yang menjadi orang luar (outsider). Ia menjadi orang luar bukan murni atas kemauannya sendiri, dan juga bukan karena pemaksaan oleh orang-orang dalam. Oleh karena itu, beliau adalah satu contoh kasus ekstrem. Terlalu ekstrem bahkan untuk isu yang ingin saya angkat dalam tulisan ini.
Siapakah “orang luar” itu?
Orang luar ternyata bukan hanya mereka yang datang dari perbedaan, tapi juga mereka yang datang dari persamaan. Baik yang datang dari persamaan maupun yang datang dari perbedaan, mereka sama-sama ada di daerah “perbatasan”. Mereka sama sekali tidak lagi ada di dalam, tapi sejatinya juga tidak benar-benar ada di luar.
Yang datang dari perbedaan, contohnya orang suku lain, orang agama lain, orang ras lain, orang berbahasa lain, dan seterusnya. Untuk selanjutnya kelompok ini tidak akan kita dibicarakan.
Pembicaran kita batasi pada orang luar yang datang dari persamaan. Misalnya dari dalam keluarga besar, dari soroh (klan), dari dalam desa adat, dan seterusnya. Dalam sejarah sosial budaya Bali selalu ada orang atau kelompok orang yang ke luar atau dikeluarkan dari kumpulannya, namun secara geografis mereka masih ada di tempat yang sama.
Untuk sekadar menyegarkan ingatan kita angkat beberapa kata kunci yang berhubungan dengan kasus ini. Astra adalah satu istilah yang diberikan kepada orang atau kelompok orang yang telah dilepaskan dari identitas ke-wangsa-annya (brahmana) karena sesuatu dan lain hal. Pelepasan identitas dalam kasus Astra ini kebanyakan adalah pemaksaan sepihak dari “orang dalam”. Kasus seperti ini sekarang hampir tidak lagi terjadi di Bali. Tapi orang Bali yang ada di Lombok Barat mengetahui bahwa kasus seperti ini bukan sesuatu yang susah dicarikan contohnya.
Ada juga pelepasan identitas tanpa pemaksaan, tapi untuk menyikapi keadaan genting tertentu. Misalnya nyineb wangsa. Kata nyineb berarti menenggelamkan, mengakhiri, menghilangkan, menyembunyikan, menutup dan sejenisnya. Dalam sejarah Bali konon sering terjadi sekelompok orang sengaja menenggelamkan identitas wangsanya, dan kemudian memakai wangsa orang kebanyakan untuk sebuah penyamaran agar selamat dari perburuan para musuh. Dalam sejarah Bali, dan juga sejarah bangsa-bangsa apa saja, permusuhan adalah tema paling menonjol.
Astra dan Nyineb Wangsa barulah dua contoh tentang “orang luar” yang datang dari dalam. Dan beliau yang ada dalam rekaman masa kecil saya itu, yang sama sekali tidak saya kenal siapa dia, adalah juga orang luar yang datang dari dalam. Tapi kasusnya beda. Sangat berbeda bahkan! Astra dan nyineb wangsa dilakukan oleh orang-orang yang secara psikologis tidak disebut buduh. Beliau itu dengan sangat gampang disebut gila, hanya karena isi dan cara berpikirnya beda.
Saya berhenti mengetik sampai di sini. Khawatir renungan saya tentang beliau berubah menjadi “lamunan” budaya ala akademisi. Tapi saya tidak lagi cemas tentang dikotomi orang luar dan orang dalam itu. Karena kehidupan sekarang, dari kehidupan bernegara sampai kehidupan beragama, dikendalikan oleh Pasar dan Harga.
Pendekatan Pasar sangat beda dengan pendekatan tradisi, atau adat. Pasar tidak membedakan “orang dalam” dan “orang luar”. Pasar menerima siapa saja yang membawa “sesari” berupa uang untuk ditukarkan dengan barang dan jasa. Di dalam pasar bertemu berbagai perbedaan tanpa menimbulkan konflik, karena perbedaan-perbedaan itu diikat oleh Harga dan tawar menawar seperlunya.
Ada apa dengan Tabanan? Kota yang satu ini sering disebut Kota Pelangi. Perbedaan warna pelangi itu nampak indah, mungkinkah karena filosofi Pelangi itu sama dengan filosofi Pasar dan Harga? []*
BATU BOLONG
Oleh: IBM. Dharma Palguna
Berjalan kaki dari pantai Yeh Gangga ke Tanah Lot pada sore hari. Matahari di barat. Bayangan yang rebah ke arah timur menjadi pemandu arah. Jejak kaki yang berbaris di belakang jangan hiraukan. Satu sapuan ombak sudah cukup untuk menghapusnya. Kalau ada orang membuntuti dari jauh, mereka akan kehilangan jejak.
Kalau jejak kaki itu seumpamanya karma, mohonlah pada Baruna, dewa laut, untuk memotongnya persis pada sumbunya, sehingga perjalanan tidak lagi dibebani oleh karma suka dan karma duka. Sampaikan permohonan dalam hati dengan bahasa tubuh. Karena bahasa mulut akan terbenam oleh suara angin dan ombak. Kalau tidak bertemu dengan Baruna, karena mungkin tidak ada janji bertemu di kehidupan ini, pikul sajalah suka dan duka itu dengan tidak sekali-sekali mengeluh. Karena memang begitu bunyi kutukannya, setiap kali pemikul mengeluh maka beban itu akan bertambah berat satu setrip.
Maka selamat berjalan. Buatlah langkah menjadi ringan! Indahnya tamasya justru karena tanpa beban. Jika perjalanan ini sebuah tamasya, nikmatilah keindahan langit sore dan canda ombak. Tapi jika ini adalah sebuah perjalanan membayar hukuman karena lahir sebagai orang yang diwajibkan membayar hutang kepada pemberi hidup, maka kuatkanlah langkah agar bisa melunasi utang jarak dengan bayaran tempuh. Kumpulkan keringat, jadikan itu tirtha penglukatan sendiri. Waspadalah, di kanan ada ombak yang sekali-sekali bisa menyeretmu ke tengah. Di depan ada beberapa loloan yang dalam, siapa tahu ada buaya siluman sedang mengintip. Di kiri selain tegalan dan persawahan, juga ada dua kuburan desa. Jangan tergoda untuk beristirahat di kuburan sebelum tiba di depan Batu Bolong yang dituju.
Kuburan itu memang yang terindah dalam pemandangan sore tepi laut. Bukankah kebenaran dongeng memberitahu kita bahwa para penempuh perjalanan sore-hidup yang beristirahat di kuburan tak pernah lagi pulang. Kata dongeng itu, mereka menjadi pelayan Bathari Durga di sana, dan tidak melanjutkan perjalanan, sehingga tidak sampai di Batu Bolong.
Konon itulah sebabnya mengapa ombak di sana galak-galak karena cemburu. Keindahan dirinya yang menjadi inspirasi bagi kebanyakan pengarang, menjadi tercampakkan karena janji-janji alam kubur lebih memikat hati orang-orang yang letih menempuh sore-hidup.
Pernah mendengar rumor mengapa matahari buru-buru membenamkan diri di ufuk barat setiap sore? Karena Dewa Surya yang penuh pengertian ingin segera memberikan kesempatan kepada malam untuk menampilkan yang terindah dari dirinya. Begitulah, katanya, yang terindah dari malam adalah tembok pembatas Pura Dalem dengan kuburan. Banyak peristiwa, banyak cerita, dan banyak keajaiban terjadi di tembok yang tebalnya hanya sejengkal orang dewasa itu.
Makanya bergegaslah berjalan dan usahakan sebelum gelap sudah sampai di Batu Bolong. Kalau tidak, akan banyak sekali godaan yang memikat dan mengikat. Jangan sampai seperti mereka yang tergoda istirahat di salah satu kuburan itu, akhirnya jangankan sampai di Batu Bolong, mereka bahkan tidak pulang-pulang.
Makanya berjalanlah terus. Usahakan agar sampai. Bukankah perjalanan ini adalah kewajiban. Hutang harus dibayar. Hutang jarak dibayar tempuh! Hutang hidup bayar katanya dengan yadnya. Berjalan inilah yadnya yang pertama sebelum ada yadnya-yadnya yang lainnya. Nanti setelah hutang kelahiran lunas, terserah, mau istirahat di mana. Saksikan dulu keajabiban Batu Bolong.
Dan Batu Bolong itu benar-benar batu yang bolong. Duduklah di depan batu yang bolong itu. Jangan lagi mempertentangkan, apakah pertapaan ombak membolonngi batu sebesar bukit itu, atau pertapaan batu yang membolongi dirinya sendiri dengan ikhlas terus menerus berabad-abad di tabrak-tabrak ombak. Cara berpikir mempertentangkan bukanlah cara bertapa yang baik. Masuklah ke dalam bolongan itu, cari tempat sebisa mungkin untuk tetap duduk di sana. Dan arahkan pandangan ke timur. Jangan terkejut, dari bolongan batu itu, Tanah Lot akan nampak beda dengan Tanah Lot dilihat dari Tanah Lot. Tahu kenapa? Karena orang yang melihat itu sudah menjadi orang baru yang berbeda dengan dirinya sebelum melakukan perjalanan sore itu.
Teka-teki nyaris terpecahkan. Bagaimana caranya masuk ke dalam kerapatan dan kepadatan Batu? Begitu bunyi teka-teki mistis yang disembunyikan di lipatan-lipatan naskah tua. Batu Bolong bukanlah jawaban, karena Batu Bolong bukan cara, tapi ia adalah jalan. Karena itulah, teka-teki “nyaris” terpecahkan.
Tapi jangan! Nanti kita tidak akan punya misteri lagi jika semua teka-teki kita jawab! []***