INI kejadian aneh yang dirasa I Made Pasca Wirsutha alias Dekpas Kocok. Suatu kali, ketika sedang memainkan kendang mengiringi tabuh Kebyar Legong di kawasan Kerta Gosa Klungkung, ia seperti trance, kesadarannya melemah. Padahal saat itu ia sedang amat semangat memainkan Kebyar Legong, tabuh masa silam yang nyaris hilang, yang berbulan-bulan digalinya dengan susah payah.
Saat kesadarannya melemah itulah berkelebat tangan seseorang – tangan yang agak keriput milik seorang yang sudah sepuh. Tangan tua itu dengan kuat memegang tangan kekar Dekpas, lalu seperti seorang pelatih kendang, tangan tua itu mengarahkan tangan Dekpas seakan menggiringnya untuk memukul kendang Kebyar Legong dengan benar. Seperti seorang murid yang manis, Dekpas menurut saja, dan Kebyar Legong bergema dengan menakjubkan seolah-olah menggema dari dunia gaib. Tepuk tangan penonton bertalu-talu.
Begitu turun panggung, ia menceritakan kejadian itu pada gurunya, sesepuh Padepokan Seni Dwi Mekar, Nyoman Durpa (semoga beliau bahagia di surga). Saat itu Durpa tersenyum seakan-akan sudah tahu apa yang dialami Dekpas. “Itulah taksu yang diturunkan Bapa Gde Manik. Roh Bapa Gde Manik turun langsung mengajarimu bagaimana mainan kendang Kebyar Legong seperti aslinya di masa lampau.” Seperti itulah kata Durpa sebagaimana diingat Dekpas.
Gde Manik adalah pencipta tabuh dan tari Kebyar Legong. Aslinya tabuh itu berdurasi 90 menit dengan variasi gending yang cepat, agak rumit, namun menyenangkan. Ketika tarian panjang itu dipentaskan di Istana Tampaksiring sekitar tahun 1950-an dan ditonton Presiden Soekarno, tarian itu diminta oleh Soekarno untuk dipangkas. Maka Kebyar Legong pun dipendekkan, lalu diubah namanya menjadi Terunajaya. Setelah disulap jadi Terunajaya, tarian itu kemudian dipentaskan di Istana Presiden di Jakarta. Soekarno senang.
Dekpas adalah seorang seniman karawitan di Buleleng yang punya ambisi besar menggali, merekonstruksi, dan menghidupkan kembali tari dan karawitan asli masa silam yang diciptakan maestro besar di masa lalu. Salah satunya adalah menggali tabuh dan tari Kebyar Legong sesuai dengan aslinya. Ia mendengar kembali rekaman-rekaman dan cerita yang diperoleh dari sejumlah sumber, lalu dibantu sejumlah teman-temannya di Padepokan Dwi Mekar, Kebyar Legong itu sukses ia tampilakn kembali.
Namun ia merasa upayanya masih belum sempurna betul. Ia belum sepenuhnya yakin bahwa ingatan-ingatan masa lalu yang dicatat dan kemudian dituangkan dalam tabuh itu sesuai dengan repertoar aslinya, terutama gebukan kendangnya. Untuk itulah, mungkin, Gde Manik tak tega melihat Dekpas gusar dan galau, sehingga rohnya turun mengajari Dekpas memainkan kendang Kebyar Legong secara aneh dan gaib. Dan Dekpas berusaha terus mengingat bagaimana gebukan kendang gaib Gde Manik saat pentas di Klungkung, namun hingga kini ia belum bisa mengingatnya dengan terang dan jelas.
Setelah kejadian di Klungkung yang aneh dan gaib, Dekpas makin gila. Ia menggali kembali karya-karya Gde Manik, sebanyak-banyaknya, sebanyak yang ia temukan dari cerita seniman-seniman tua di Buleleng dan dari rekaman yang sebagian besar ditemukan atas bantuan temannya di luar negeri, terutama di Belanda. Sampai akhirnya ia berhasil menggali sejumlah karya lama Gde Manik yang nyaris hilang ditelan glamor tetabuhan masa kini.
Salah dua hasil galiannya adalah tabuh Baratayuda dan Sari Anom. Kedua karya itu diciptakan Gde Manik bersama Pan Wandres. Dua tabuh itu diciptakan sekitar tahun 1962, atau mungkin jauh sebelumnya. Bagi Dekpas, dua tabuh itu memiliki ciri yang berbeda dengan ciptaan-ciptaan Gde Manik sebelumnya. Konon seniman sekaligus pengamat seni Prof. Made Bandem juga sangat jatuh cinta dengan tabuh Baratayuda ciptaan Gde Manik itu.
Dua tabuh itulah yang akan ditampilkan dalam Gong Mebarung Buleleng-Denpasar, “Menyurat yang Silam Menggurat” yang Datang di Sasana Budaya Singaraja, Sabtu 14 Oktober 2017, pukul 19.00 wita. Silakan datang.
Rekonstruksi Terus Menerus
Lambat-laun, Pasca Wirsutha alias Dekpas ketagihan melakukan penggalian atau rekonstruksi terhadap karya-karya maestro masa lalu. Dia yang memiliki pergaulan luas, bukan hanya di Buleleng atau Bali tapi juga di luar negeri. Dan pergaulan itu membantunya untuk memenuhi ambisinya menggali seluruh karya-karya tari dan karawitan masa lalu.
Yang penting dicatat, rekonstruksi itu sebagian besar dilakukan secara swadaya, tanpa disertai dana proyek dari lembaga pemerintah atau lembaga swasta. Ia keluar uang sendiri, tenaga sendiri, namun bantuan yang diperoleh dari temen-temannya tak bisa dihargai dengan uang.
Beberapa yang tercatat, ia sudah mengggali Tari Pengeleb dan Pudak Sinunggal yang berasal dari Desa Menyali. Ia juga mereknstruksi Tari Wiranjaya, Cendrawasih dan Palawakya khas dari wilayah Dauh Njung Buleleng. Upaya-upaya itu dibantu oleh sejumlah sanggar dan sekeha gamelan di Buleleng dan Gianyar. Untu Tari Pengeleb ia lakukan bersama Sanggar Cudamani Ubud, untuk Wiranjaya ia bersama Padepokan Dwi Mekar, dan untuk Cendrawasih ia bersama Sekeha Gong Banjar Paketan Singaraja.
Dekpas masih punya ambisi besar melakukan penggalian, seperti penggali sumur sedalam-dalamnya agar bisa menemukan air kebudayaan yang melimpah. Karena masih banyak karya-karya lama yang nyaris hilang dan tak diingat banyak orang. Seperti karya-karya maestro dari Desa Kedis, Merdana. Semisal Tari Tani, Tari Gotong-royong, tabuh Sopir Becak, dan Dayung Sampan. (T)